Konten dari Pengguna

Setelah Pengakuan Belanda atas Kemerdekaan RI

Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
19 Juni 2023 15:33 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Parlemen Belanda bersidang tanggal 14 Juni 2023. Perdana Menteri Belanda Mark Rutte hadir. Pada persidangan itu atas nama Pemerintah Belanda Rutte mengumumkan secara resmi sekaligus pengakuan tanpa syarat tentang hari Kemerdekaan Indonesia dari Belanda adalah pada 17 Agustus 1945.
ADVERTISEMENT
Pengakuan Rutte itu sebagai tanggapan terhadap pertanyaan Anggota Partai GroenLinks mengenai pengakuan resmi terhadap kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang itu Rutte juga berjanji akan berdiskusi dengan Presiden Indonesia guna mencapai interpretasi bersama mengenai hari kemerdekaan Indonesia tersebut.

Penegasan Fakta Sejarah

Secara ploitis pengakuan tersebut tidak hanya sekadar menegaskan fakta sejarah yang tak terbantahkan, yang selama ini, terdapat perbedaan pendapat di Belanda. Sebagian pendapat publik yang berkembang di Belanda masih memegang teguh bahwa kemerdekaan Indonesia itu adalah tanggal 27 Desember 1949.
Tanggal itu adalah tanggal pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Walaupun selama ini Raja Belanda Willem Alexander selalu mengirimkan telegram kepada Pemerintah Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Itu tentunya sebagai pengakuan secara de facto bahwa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
ADVERTISEMENT
Dubes Belanda untuk Indonesia Lambert Grijns juga menegaskan ada banyak alasan kuat mengapa mereka akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia itu tanggal 17 Agustus 1945. Demikian dikutip dari kumparanNEWS yang mengutip dari media Belanda NU (16/6/2023).
Pengakuan Rutte di depan sidang Parlemen Belanda itu akan mengakhiri silang pendapat bahwa Indonesia benar-benar merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Pengakuan itu juga sekaligus mencerminkan penghormatan dan pengakuan Belanda terhadap sejarah dan kedaulatan Indonesia.

Makna Pengakuan bagi Kedua Negara

Presiden Indonesia Joko Widodo dan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte berjalan selama pertemuan mereka di Istana Presiden di Bogor. Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Jokowi atas pengakuan pemerintah Belanda itu, meminta masukan dari Menlu terkait makna pengakuan itu bagi kedua negara, juga terkait dampak negatifnya hari ini terhadap tindakan kolonialisme Belanda di Indonesia pada masa lalu.
Terkait itu, jurnalis Kompas Egidius Patnistik menulis (Kompas, 16/6/2023), “Selama masa kolonial dan Perang Kemerdekaan, terjadi banyak kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia yang belum diselesaikan dengan baik. Dengan pengakuan itu, diharapkan terbuka jalan untuk menyelesaikan isu-isu tersebut, termasuk memberikan keadilan bagi korban, menuntut pertanggungjawaban, dan merehabilitasi para veteran. Secara strategis, pengakuan itu memiliki potensi besar untuk mendorong proses rekonsiliasi dan meningkatkan hubungan bilateral antara kedua negara”.
ADVERTISEMENT
Bagi kepentingan nasional pengakuan ini bisa menjadi menu pembuka guna melakukan dialog yang lebih intens dan kerja sama yang lebih erat di masa depan. Ada banyak kerja sama yang dapat dibangun terutama dalam bidang pendidikan dan hukum. Jadi tidak hanya berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan industri semata. Harus diakui sistem hukum kita sepenuhnya berasal dari pewarisan sistem hukum yang ditinggalkan oleh Kolonialisme Belanda.
Keabsahan bangsa ini meneruskan warisan hukum Belanda, dinukilkan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45 sebelum amandemen). Itu jugalah sebabnya mengapa KUH Perdata, KUH Dagang, HIR dan RBG (khusus dalam lapangan Hukum Acara Perdata) berlaku hingga hari ini. Akan tetapi tidak berhenti sampai di situ.
ADVERTISEMENT

Kontrak dengan Sultan

Ilustrasi. Foto: Getty Images
Banyak hukum yang dibuat secara kontraktual yang kemudian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Pemerintah Hindia Belanda yang menaungi para pengusahanya, terutama dalam bidang perkebunan, kereta api, telepon, dan air bersih yang pada waktu itu mengikat kontrak dengan sultan dan raja-raja di Indonesia juga harus menjadi bagian yang harus didiskusikan secara intens.
Di Kesultanan Sumatera Timur misalnya, Kesultanan Deli, Serdang, Langkat, Asahan, Batu Bara, termasuk dengan Raja Siantar, Raja Tanah Jawa, terdapat Kontrak Konsesi pemakaian tanah-tanah Kesultanan/Kerajaan untuk pembukaan lahan-lahan perkebunan besar.
Pasca kemerdekaan melalui UU No.86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda, negara telah “meraih keuntungan” dengan mengambil alih perkebunan itu menjadi perusahaan milik negara. Kompensasi dibayar oleh Pemerintah Indonesia kepada perusahaan Belanda, tapi tak ada kompensasi apapun kepada pihak Kesultanan dan Raja-Raja di Sumatera Timur.
ADVERTISEMENT

Dukungan Sultan Berbuah Duka

Tak dapat disangkal bahwa kemerdekaan Indonesia dan perjuangannya melawan penjajahan merupakan bagian integral dari identitas nasional Indonesia. Pengakuan Belanda dapat menjadi elemen penting dalam pendidikan sejarah dan memori kolektif masyarakat Indonesia. Raja-raja se-Sumatera telah memberikan dukungan penuh terhadap kemerdekaan Indonesia.
Empat bulan setelah berkumandang kemerdekaan Republik Indonesia di seantero dunia, pada bulan Desember 1945 Sultan Deli mendapat telegram dari panitia Kongres Pemangku Adat se-Sumatera. Isinya adalah untuk menghadiri pertemuan raja/sultan/pemangku adat se-Sumatera pada tanggal 21-23 Desember 1945di Padang Panjang.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama tiga hari itu, Toeankoe Sulthan Oesman Alsani Perkasa Alam, Sultan Negeri Deli selaku Ketua Kongres menyampaikan dalam pidato penutupan kongres kalimat:
ADVERTISEMENT
Ini adalah bukti autentik di mana Sultan Deli dan Pemangku Adat se Sumatera mendukung penuh terbentuk dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, padahal waktu itu Deli adalah sebuah Kerajaan, sebuah Negara yang memiliki kedaulatan sendiri.
Enam bulan setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya pada tanggal 3 Februari 1946 di Medan diadakan Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI). Rapat itu dihadiri oleh raja dan sultan se-Sumatera Timur termasuk yang hadir Sultan Siak.
Di tengah rapat itu para raja dan sultan meminta waktu untuk mengadakan rapat tertutup dan menunjuk Sultan Langkat Sultan Mahmud Abdul Djalil Rahmat Shah sebagai juru bicara dan menyatakan kebulatan tekad dan dukungan yang tegas terhadap Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pernyataan itu disampaikan di hadapan wakil Pemerintah Republik Indonesia Gubernur Sumatera Teuku Mohammad Hasan dan dr. Muhammad Amir, Wakil Gubernur Sumatera, Residen Sumatera Timur Tengku Hafaz dan Ketua KNI Sumatera Timur Mr. Luat Siregar sebagai pimpinan sidang, Abdul Karim MS, Muhammad Yusuf, dr Tengku Mansyur, Tengku Damrah dan Tengku Bahriun.
Mewakili kalangan Raja-Raja hadir; Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, Raja Purba Tuan Mogang Purba Pakpak, Raja Si Lima Kuta Tuan Padiraja Purba Girsang, Raja Siantar Tuan Sawadim Damanik, Raja Raya Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging dan Raja Tanoh Jawa Mr. Tuan Kaliamsyah Sinaga.
Dari Kesultanan Melayu hadir Sultan Langkat, Sultan Deli, Sultan Asahan, Putera Mahkota Serdang Tengku Rajih Anwar, Raja Indrapura (Batu Bahara), Raja Bilah, Yang Dipertuan Kuwaloh dan Ledong dan utusan dari Sibayak, Tanah Karo.
ADVERTISEMENT
Hasil Musyawarah KNI membentuk Panitia Bersama untuk mempersiapkan proses demokratisasi di wilayah pemerintah Swapradja. Mr. Mahadi dan Muhammad Yunus Nasution dipilih sebagai ketua dan koordinator yang bertugas untuk mnengawasi jalannya proses pemerintahan di wilayah itu sambil menunggu penggabungan dengan Pemerintahan Republik.
Akan tetapi buahnya justeru satu bulan berikutnya semua Sultan dan Raja-Raja yang hadir dalam rapat itu serta sanak saudara dan kerabatnya “dibantai” tanpa ampun dan di Kesultanan Asahan sebagian jenazahnya dikubur dalam satu lubang.

Jasa Tanpa Penghargaan

Suasana di sebuah pabrik kulit di Batavia, Hindia Timur Belanda, sekarang Jakarta, Indonesia sekitar tahun 1920. Foto: Hulton Archive/Getty Images
Banyak peristiwa terekam dan tidak terekam yang memperlihatkan peran para sultan se-nusantara tak terkecuali di Sumatera Timur dalam mewujudkan negeri yang merdeka. Pada tahun 1959, Sultan Deli menolak untuk pembentukan Negara Sumatera Timur. Bukti kecintaan dan kesetiaan Deli terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi perlakuan negara tak sebanding dengan pengorbanan para Sultan. Pasca kemerdekaan aset dan harta kesultanan/kerajaan dirampok dan dijarah. Bahkan terhadap tanah-tanah yang dikonsesikan kepada perusahaan Belanda diambil alih begitu saja tanpa konpensasi.
Tindakan pengambil alihan aset Kesultanan, bagi pihak Kesultanan, keluarga dan kerabat termasuk kawulanya (rakyatnya) ini adalah sebuah malapetaka. Di Deli rakyat tak lagi punya lahan pertanian untuk bercocok tanam, yang dulu diizinkan untuk bercocok tanam palawija pada satu musim tanam pada saat tanah-tanah tidak ditanamai tembakau (masa bera). Banyak korban dan keluarga Kesultanan yang yang menderita akibat kebijakan nasionalisasi ini.

Pemulihan Hak-Hak Kesultanan

Oleh karena itu pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Pemerintah Belanda harus juga dimaknai sebagai pemulihan kembali hak-hak Kesultananl. Jangan justeru lepas dari penjajahan Belanda dilanjutkan dengan penjajajahan oleh bangsa sendiri.
ADVERTISEMENT
Keadilan bagi Kesultanan dan rakyatnya harus menyatu dalam pengakuan itu. Jika tidak, itu adalah perbuatan yang tak bisa dimaafkan oleh Kesultanan dan kawulanya kepada Pemerintah Belnada dan Pemerintah Indonesia yakni, kekeliruan mengembalikan obyek tanah yang disewakan itu kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Sebab kebenarannya adalah tanah-tanah itu dikonsesikan oleh Sultan kepada Onderneming Perkebunan Belanda. Oleh karena itu tanah-tanah itu harus dikembalikan kepada Sultan/Raja-Raja sebagai subyek hukum yang mengikat kontrak dengan pengusaha perkebunan Belanda.
Pemerintah Belanda harus mendukung pengembalian aset itu kepada pihak Kesultanan. Pemerintah harus mengakui kekeliruannya mengembalikan aset tanah itu kepada Pemerintah Indonesia. ltulah sistem hukum kontrak yang diwariskan oleh Pemerintah Belanda dan menjadi hukum bagi Perusahaan Perkebunan Belanda dengan Pihak Kesultanan.
ADVERTISEMENT
Permintaan maaf, atau kompensasi harus disampaikan oleh Pemerintah Belanda kepada pihak Kesultanan dan mendorong Pemerintah Indonesia untuk mendudukkan secara adil hak-hak keperdataan yang dimiliki opleh Pihak Kesultanan.
Oleh karena itu menjadi penting untuk diingat bahwa pengakuan tanggal kemerdekaan ioleh Pemerintah Belanda itu bukanlah akhir dari perjalanan bangsa ini dalam hubungannya dengan Pemerintah Belanda. Indonesia harus memanfaatkan momentum tersebut untuk mendorong kesejahteraan rakyatnya seraya mendudukkan secara adil hak-hak rakyat dan Kesultanan yang diambil alih atas nama Nasionalisasi.
Pemerintah Indonesia harus memasukkan langkah-langkah penyelesaian hak-hak Kesultanan/Raja se Sumatera Timur itu dalam agenda pemerintahannya. Langkah itu sesuai dengan Amanah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni untuk mencapai tujuan nasional yang salah satu di antaranya adalah: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, dengan berpijak pada asas vestedright bahwa hak-hak keperdataan yang dulunya melekat pada tanah-tanah yang dikonsesikan oleh Sultan kepada Perusahaan Perkebunan harus diteruskan pasca Indonesia merdeka.
Pihak perusahaan yang mengelola aset peninggalan perusahaan Belanda, hari ini Kementerian BUMN harus meneruskan hak-hak yang dulu diberikan kepada pihak Kesultanan. Negara c.q Pemerintah c.q Kementerian BUMN pasti akan jauh lebih bisa memberikan rasa keadilan daripada pemerintah Kolonial Belanda.

Jangan Menciptakan Penjajahan Model Baru

Pasukan Belanda di Sumatra, Indonesia membangun jembatan darurat selama operasi melawan pejuang Republik pro-kemerdekaan pada 4 Januari 1949. Foto: Keystone/Getty Images
Oleh karena itu bagi para sultan penting untuk melanjutkan dialog dan negosiasi dengan Pemerintah Belanda mengenai dampak dari pemakaian lahan-lahan itu pada masa lalu dan pengembaliannya kepada pihak Pemerintah Republik Indonesia, pasca pengakuan Kemerdekaan RI yang disampaikan oleh Mark Rutte dalam sidang Parlemen Belanda tanggal 14 Juni 2023 yang lalu.
ADVERTISEMENT
Hal ini adalah pandangan dari sisi lain makna sebuah kemerdekaan. Negara harus mengupayakan untuk mencapai keadilan bagi korban kolonialisme untuk mencegah terulangnya penjajahan model baru di masa depan.
Saat ini pihak Kesultanan merasa “terjajah” oleh bangsa sendiri. Perusahaan BUMN telah melakukan tindakan yang tidak memperlihatkan rasa hormat yang mencerminkan bangsa yang bermartabat yang menjunjung tinggi rasa keadilan atas lahan-lahan eks Konsesi Kesultanan Deli yang dahulu digunakan oleh Deli Maatschappij, Deli Cultuur Maatschappij, Deli Rubber Maatschappij, Senembah Maatschappij, Deli Spoorweg Maatschappij, Telefonken Maatschappij, Ajer Bersih Maatschappij dan lain sebagainya.
Saat ini para penghuni yang mendiami rumah-rumah peninggalan Deli Spoorweg Maatschappij dipaksa pindah dan lahan-lahan disewakan oleh PT KAI kepada para pengusaha-pengusa kafe dan restoran. Padahal Sultan Deli sebagai pemilik aset itu tak pernah melakukan itu selama bertahun-tahun kepada rakyat yang mendiami dan bermukim di rumah-rumah peninggalan Deli Spoorweg Maatschappij Itu. Itulah yang terjadi di sepanjang Jalan Muhammad Yamin di Medan saat ini.
ADVERTISEMENT

Penyelesaian Menyeluruh Persoalan Bangsa

Luka dan trauma yang dirasakan oleh Sultan/Raja-Raja di Sumatera Timur dan para Ahli Warisnya hari ini pasca pembantaian bulan Maret 1946, harus diselesaikan oleh pemerintah.
Jika hari ini Pemerintah menuntut permohonan maaf kepada Pemerintah Belanda, maka Pemerintah RI juga harus lebih awal meminta maaf kepada Kesultanan dan Rakyat Melayu di Sumatera Timur atas kegagalannya menjaga Sultan dan kerabatnya pada peristiwa pembantai etnik Melayu pada bulan Maret 1946.
Pemerintah juga harus memberikan kompensasi dan pemulihan hak-hak keperdataan Puak Melayu di bawah naungan Kesultanan Melayu yang diambil alih untuk dan atas nama Nasionalisasi.
Ada banyak persoalan kebangsaan yang belum selesai di Republik ini. Sultan dan Rakyatnya yang dengan setia bergabung dengan republik harus diapresiasi dengan baik oleh negara. Pemerintah tak boleh bertindak semena-mena yang memposisikan Kesultanan dan Kawulanya seperti orang yang tak memiliki jasa di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Di Sumatera Timur, tidak akan pernah ada perkebunan yang luas, jaringan telepon, jaringan kereta api dan air bersih tanpa kerja keras pihak Kesultanan membuka, merawat dan mempertahankan investasi pihak pengusaha perkebunan, perusahaan kereta api, perusahan telepon dan perusahaan air bersih di wilayahnya.
Mengapa hari ini kesultanan/raja-raja dan kawulanya tak pernah dianggap sebagai bagian yang perlu mendapat perlindungan hukum dan memiliki hak prioritas untuk disejahterakan?
Tanah yang sudah diperuntukkan kepada masyarakat Melayu di bawah naungan Yayasan Melayu Raya pun tak kunjung selesai setelah lebih dari 20 tahun, sejak terbitnya SK Kepala BPN tahun 2002 dan 2004. Terlalu banyak pejabat yang “bermain-main” dan merendahkan keberadaan para Sultan dan masyarakatnya.
Terlalu jemawa para petinggi dan penguasa di daerah memaknai keberadaan dan posisi Kesultanan/Raja-Raja di Sumatera Timur atau mungkin juga Raja-Raja di Nusantara, selain di Kesultanan Yogyakarta.
ADVERTISEMENT

Merdeka dan Melindungi Segenap Tumpah Darah Indonesia

Presiden Indonesia Joko Widodo (kiri) dan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte berjabat tangan saat melakukan pertemuan di Istana Presiden di Bogor. Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 mungkin merupakan tonggak penting bagi bangsa ini. Penting bagi menjalin hubungan kedua bangsa yang kini sam-sama berdaulat. Namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana pengakuan kemerdekaan itu benar-benar memerdekakan rakyat.
Negara melalui Pemerintah harus benar-benar bertindak dan berbuat untuk mensejahterakan rakyat. Benar-benar hendak melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dan menghapuskan segala bentuk penjajahan di muka bumi. Termasuk menghapuskan penjajahan oleh bangsa sendiri. Jangan biarkan anak bangsa sendiri menjadi korban kebijakan pemerintah bangsa sendiri.
Akankah negara saat ini sudah berada pada jalan sebagaimana dimaksudkan oleh the founding fathers bangsa ini? Pertanyaan kritis ini harus dijawab. Guna memperbaiki hubungan keintiman antara Kesultanan dengan Pemerintah yang sama-sama di bawah naungan negara NKRI.
ADVERTISEMENT
Selama ini pihak Kesultanan merasakan keintiman yang tidak sempurna. Kita terus hidup dan dibanyang-bayangi oleh perasaan “pura-pura intim”.
Jika ingin menarik simpati untuk kepentingan politik menjelang pilkada, pileg, pilpres, para politisi, calon presiden, calon gubernur, calon bupati dan wali kota, calon anggota DPD, calon anggota DPR, mereka ramai-ramai berduyun-duyun mendatangi para sultan/raja-raja dan tak jarang pula disertai dengan acara seremoni pemberian gelar adat.
Akan tetapi setelah berkuasa mereka tak pernah lagi ada memperlihatkan sikap keberpihakan. Kita menjadi hypokrit dan menipu diri sendiri serta mencederai bangsa sendiri.
Negeri ini memerlukan dialog yang terbuka. Terbuka untuk semua mereka yang berjasa terhadap bangsa ini. Hanya dengan begitu, rasa keadilan bisa diwujudkan dan Indonesia menjadi negeri yang aman dan nyaman untuk ditinggali oleh siapapun. Semoga!
ADVERTISEMENT