Konten dari Pengguna

Tantangan Bidang Hukum Pemerintahan Prabowo Subianto ke Depan

Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
6 Oktober 2024 8:52 WIB
·
waktu baca 16 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Prabowo Subianto memberi sambutan saat Hari Lahir PKB ke 26 di Jakarta Convention Center, Selasa (23/7/2024). Foto: Youtube/ DPP PKB
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Subianto memberi sambutan saat Hari Lahir PKB ke 26 di Jakarta Convention Center, Selasa (23/7/2024). Foto: Youtube/ DPP PKB
ADVERTISEMENT
Ada dua isu krusial yang akan dihadapi Pemerintahan Prabowo Subianto ke depan. Pertama tantangan pada tataran basic policy dan yang kedua tantangan pada tataran enachment policy atau law enforcement (penegakan hukum). Pada tataran basic policy, menyangkut political will penyelenggara negara. Pertanyaannya adalah, ke arah mana kebijakan politik hukum Indonesia mau di bawa?
ADVERTISEMENT
Pada tataran enachment policy seberapa jauh komitmen para aparat penegak hukum serta dukungan pemerintah untuk mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan, berkepastian hukum dan bermanfaat bagi tercapainya tujuan negara yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Keduanya tantangan ini harus disikapi oleh pemerintahan Prabowo Subianto ke depan. Karena ini sangat berpengaruh dalam upaya Indonesia untuk mencapai tujuan negara termasuk dalam mewujudkan Indonesia menjadi negara yang demokratis.
Tulisan ini ingin mengajak kita semua untuk sekadar berbagi pengetahuan tentang situasi kekinian yang dihadapi bangsa ini dalam bidang hukum dan format seperti apa yang harus dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto ke depan.

Tataran Basic Policy

Pada tataran pembuatan peraturan perundang-undangan (basic policy), tampak bahwa telah terjadi pergeseran terhadap pilihan ideologi dan filosofi. Pembuatan peraturan perundang-undangan di negara mana pun di dunia harus disesuaikan dengan cita-cita negara itu didirikan. Norma-norma hukum yang dilahirkan harus diselaraskan dengan mimpi-mimpi para the founding fathers bangsanya. Indonesia sudah menetapkan 4 (empat) tujuan negara yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
ADVERTISEMENT
Tujuan negara itu akan diwujudkan dengan dasar filosofi Pancasila yang oleh Bung Karno disebutnya sebagai Filosofische Grondslag. Inilah kemudian dijadikan sebagai ideologi negara Indonesia. Semua peraturan perundang-undangan yang dilahirkan harus berpangkal pada Ideologi Pancasila.
Saat ini pada tataran basic policy para pembuat undang-undang telah jauh meninggalkan Pancasila sebagai Gerundnorm, sebagai weltanschauung, sebagai landasan filosofi pembentukan semua norma hukum di Indonesia.
Kondisi itu dapat diumpamakan seperti sebuah pagelaran nyanyian kolosal tanpa partitur, tanpa tangga nada, tanpa notasi, yang tidak saja menyebabkan lagu menjadi sumbang (discordant) tetapi lebih jauh juga lagu kehilangan jiwanya, kehilangan rasa, kehilangan rohnya, atau dalam bahasa musik kehilangan groove-nya.
Sebagain besar bidang hukum Indonesia khususnya dalam norma politik bernegara dan bidang hukum ekonomi Indonesia hanya baru berhasil mencangkok (transplantasi) substansi hukum dari negara-negara yang berbasis pada filosofis negara-negara penganut demokrasi liberal dan filosofi ekonomi kapitalis.
ADVERTISEMENT
Politik hukum yang dijalankan selama beberapa dekade ini, hanya mampu mentransplantasikan subtansi hukumnya, tapi belum mampu mencangkokkan struktur dan kultur hukumnya. Ibarat sebuah pohon kita baru mampu mencangkokkan ranting dan dahan hukum, tapi tak menyediakan tanah serta iklim yang tepat bagi tumbuh dan berkembangnya sistem hukum Indonesia yang bersandar pada Ideologi Pancasila.

Tataran Enactment Policy

Pada tataran enactment policy peraturan perundang-undangan yang dilahirkan kerap kali menjadi aksesoris, menjadi hiasan, menjadi macan kertas, singa ompong yang tak memiliki kekuatan untuk melindungi tumpah darah Indonesia, apalagi memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Norma hukum dalam bidang politik, sebut saja peraturan perundang-undangan Pemilu (Pilpres, Pilkada dan Pileg) telah menimbulkan kegaduhan. Saling sikut, saling caci dan saling menyakiti antara sesama partai dan peserta pilpres, pilkada dan pileg. Dalam bidang pertanahan, norma hukum yang dilahirkan tak benar-benar mengacu pada hukum adat seperti dasar hak-hak atas tanah yang diletakkan oleh UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dalam bidang hukum investasi, hukum perbankan, hukum pajak, hukum pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup dan lain sebagainya tak mampu mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri dalam pemanfaatan sumber-sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh negerinya sendiri.
Demikian juga halnya dalam lapangan Hukum Perdata, Hukum Dagang dan Hukum Hak Kekayaan Intelektual, potensi ekonomi yang dimiliki negeri ini tak mampu mengantarkan bangsa ini menjadi negeri merdeka yang mandiri dan berdaulat, baik secara ekonomi maupun secara politis dalam pergaulan Internasional.
Carut marut dalam praktik penegakan hukum hari ini adalah sebagai bukti bahwa praktik law inforcement di negeri ini masih belum sepenuhnya bebas, dalam arti lembaga peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan masih dintervensi oleh kekuatan “non hukum”.
ADVERTISEMENT
Situasi ini tak jarang menghasilkan keputusan yang jauh dari rasa keadilan. Mereka-mereka yang memiliki kewenangan untuk mengadili, kerap kali mendapat “tekanan” sehingga mereka harus menafsirkan sendiri dan mencari model penyelesaian sendiri dengan tat acara sendiri untuk mewujudkan keinginan kelompok dan orang-orang tertentu.
Tidak ada panduan, tidak ada yang dapat menjadi panutan, tidak ada koordinasi. Praktik penegakan hukum tidak lagi berada di bawah payung judikatif, tapi berada di bawah bayang-bayang legislatif dan bahkan eksekutif ditambah dengan kekuatan para konglomerat, kelompok organisasi agama, partai, dan kelompok sosial budaya lainnya yang menghasilkan kelompok kepentingan yang berujung pada terbentuknya oligarki. Istilah-istilah baru dalam bahasa politik pun muncul seperti politik identitas dan buzzer yang seharusnya istilah itu tak muncul karena memang tak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Kekacauan dalam sistem politik ini berpangkal pada aturan hukum yang juga bersumber dari produk politik. Akhirnya ibarat sebuah pertunjukan kesenian, peristiwa ini dapat digambarkan sebagai pertunjukan musik orkestra tanpa konduktor, tanpa dirigen. Hasilnya nada-nada lagu itu menjadi sumbang, falls atau dalam bahasa musik disebut pitching.

Politik Hukum Indonesia: Mau Dibawa ke Mana?

Meminjam lirik lagu Armada Band, “mau dibawa ke mana hubungan kita?” Mau dibawa ke mana politik hukum negara kita, mau di bawa ke mana pilihan politik hukum Indonesia?”.
Sebagian besar peraturan perundang-undangan Indonesia dikembangkan dari pranata Hukum Barat baik yang berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental maupun yang berasal dari sistem hukum Anglo Saxon. Kedua sistem hukum ini berbeda dengan Sistem hukum asli Indonesia yang tumbuh selama berabad-abad di negeri ini. Sistem hukum yang oleh Van Vollen Hoven disebutnya sebagai adat recht yang meliputi: goddienstigweten, volks instelingen en gebruiken.
ADVERTISEMENT
Masuknya peradaban Barat ke Indonesia menjadikan Indonesia hari ini tidak saja terjebak dalam arus pilihan politik hukum yang pragmatis, tetapi lebih jauh telah meninggalkan prinsip yang asasi dalam pilihan politik hukum Indonesia yakni meninggalkan Pancasila sebagai paradigma ideologis/filosofis pembangunan hukum di Indonesia. yang dapat dikonsepkan sebagai the paradicmatic values of Indonesian culture and society.
Pemberlakuan Hukum Peninggalan Kolonial Belanda dan ratifikasi berbagai Konvensi Internasional menyebabkan Indonesia kehilangan jati diri bangsanya. Tuntutan untuk mengadopsi hukum asing itu tidak semata-mata karena ingin menyahuti tuntutan kepentingan hukum di dalam negeri Indonesia, tetapi lebih dari itu, hal ini terjadi karena banyaknya tekanan-tekanan dunia internasional terhadap Indonesia yang tidak hanya terbatas pada bidang hukum bisnis, lingkungan hidup tapi merambah juga ke hukum dalam bidang politik
ADVERTISEMENT
Inilah awal dari ketidakadilan negara-negara maju terhadap Indonesia – yang juga terjadi untuk negara-negara ketiga lainnya-yang oleh Prof. Hikmahanto Juwana dikatakannya sebagai alat penjajahan baru negara-negara maju terhadap negara berkembang, yang tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi tetapi merambah ke aspek politik dan ideologi.

Pergeseran Nilai Ideologi Pancasila

Pertarungan dunia ke depan, tidak lagi semata-mata didasarkan pada penguasaan sumber daya alam atau sumber daya manusia yang melimpah.Tidak juga didasarkan pada penguasaan alat-alat perang dan penguasaan teknologi kedirgantaraan dan penguasaan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Inteligence). Pemenang dalam pertarungan dunia ke depan adalah negara mana yang paling banyak menebarkan pengaruh ideologi negaranya dan oleh masyarakat dunia diterima sebagai nilai yang patut untuk dipedomani. Ideologi itu dapat ditanamkan melalui lagu dan musik, film dan berbagai aktivitas budaya lainnya yang disebarkan melalui media dengan menggunakan platform digital.
ADVERTISEMENT
Ajaran ekonomi kapitalis telah diterima baik oleh sebagian besar negara di dunia, begitu juga sistem demokrasi liberal juga dianggap sebagian besar negara di dunia sebagai sebuah sistem yang dapat mengantarkan rakyat kepada kesejahteraan.
Itulah kemudian yang menyeruak ke dalam negeri Indonesia. Hasilnya nilai-nilai nilai-nilai ke-Indonesia-an yang tercakup dalam Pancasila, selama lebih dari 7 (tujuh) dekade Indonesia merdeka menjadi bergeser.
Nilai ketuhanan tak lagi dimaknai sebagai dasar penyusunan norma hukum, bahkan ada yang ingin mengusulkan agar Indonesia membuat aturan yang membolehkan perkawinan sejenis setelah perkawinan antar umat yang berbeda agama di putus oleh pengadilan dan diterima pencatatannya dalam sistem administrasi perkawinan di Indonesia. Demikian juga dengan nilai kemanusiaan, tak sepenuhnya utuh dijadikan dasar dalam penyusunan undang-undang dalam berbagai bidang sosial dan budaya. Terkait perlindungan terhadap fakir miskin dan anak-anak telantar, peluang dan kesempatan kerja, kesempatan pendidikan yang masih memperlihatkan adanya diskriminatif. Akibatnya peluang untuk mendapat pendidikan pada lembaga pendidikan yang berkualitas hanya dinikmati oleh orang-orang yang berpunya.
ADVERTISEMENT
Nilai persatuan juga semakin meredup akibat dari norma hukum kita yang tak lagi memberi penguatan tentang arti penting persatuan bangsa. Apakah kebijakan negara dalam menangani konflik Aceh pada masa lalu dan konflik di Papua hari ini sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai persatuan?
Nilai kerakyatan, musyawarah dan mufakat juga sudah bergeser jauh dari apa yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini. Mahalnya biaya demokrasi dan menyeruaknya politik uang tak terlepas dari tercerabutnya nilai yang terkandung dalam sila ke-4 dari Pancasila ini. Semakin hari sistem pendidikan politik kita semakin memburuk. Karena dengan kasat mata sebelum “pertarungan” pemilu dimulai, rakyat sudah mengetahui siapa pemenangnya dengan melihat pada posisi keuangan para calon dan siapa para pendukung keuangan yang ada di belakangnya serta seberapa jauh sang calon bisa berkolaborasi dengan kelompok oligarki.
ADVERTISEMENT
Nilai keadilan juga mengalami degradasi yang menukik ke kedalaman yang jauh dari apa yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini. Pertumbuhan ekonomi di atas 5% hanya dinikmati oleh kelompok tertentu. Jumlah penduduk yang menempati kelas ekonomi menengah ke atas semakin sedikit jumlahnya sebaliknya angka penduduk miskin semakin bertambah jumlahnya.
Begitupun persoalan kemiskinan ini tampaknya tak begitu berpengaruh dalam stabilitas negara untuk beberapa tahun ke depan. Karena masyarakat sudah terbiasa bertahan hidup tanpa dukungan negara. Akan tetapi yang perlu diwaspadai adalah praktik ”ketidakadilan”. Ketidakadilan ini jika dibiarkan terus berlangsung sewaktu-waktu ini akan memicu gejolak baru dalam masyarakat. Potensi ketidakadilan ini sudah mulai tampak pada periode kepemimpinan Jokowi. Hukum sudah “dikutak-katik” sedemikian rupa untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan tertentu. Sumber-sumber kekayaan negara didistribusikan kepada kelompok-kelompok yang menjadi kroni-kroni para oligarki yang berperan dalam penyelenggaraan negara di negeri ini. Ini adalah tugas berat pemerintahan Prabowo Subianto ke depan untuk mengembalikannya pada posisi yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT

Kembali ke UUD 45 dan Hukum Adat

Kegagalan dalam pilihan politik negara selama ini adalah karena bangsa ini terjebak pada pengalaman masa kolonial dengan pola pikir kapitalis dan liberal. Padahal itu telah dilawan dan diperjuangkan oleh Van Vollenhoven dan Ter Haar dengan mengedepankan hukum adat yang berakar pada nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia. Akan tetapi pasca kemerdekaan itu tak lagi dijadikan sebagai model pembentukan hukum nasional. Pilihan politik hukum pragmatis secara terus menerus telah dilakukan oleh lembaga pembuat undang-undang pasca kemerdekaan,
Kembali kepada UUD 45 tanggal 18 Agustus 1945 adalah pilihan yang arif sekalipun sulit dengan struktur keanggotaan legislatif yang ada saat ini. UUD 45 hasil amandemen ke-4 telah menciptakan lemahnya pengelolaan manajemen negara dalam sistem kehidupan nasional. UUD 45 hasil amandemen ke-4 yang dijadikan dasar penyusunan undang-undang dalam bidang kepartaian dan sistem pemilu dan peraturan organik lainnya telah menghasilkan – tanpa mengurangi rasa hormat kepada anggota legislatif yang lain yang memiliki kualitas baik-sebagian besar kualitas SDM lembaga legislatif yang lemah sebagai lembaga pembuat undang-undang.
ADVERTISEMENT
Tak adanya bekal yang cukup kuat dan tangguh kalangan anggota legislatif yang bekerja di sektor legislasi nasional yang selama ini banyak mengajukan usulan Rancangan Undang-undang tak juga dibekali dengan hasil-hasil riset akademik, lebih dari itu rekomendasi kalangan Perguruan Tinggi tak selalu disikapi dengan arif oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam penyusunan Undang-undang.
Konsepsi hukum Adat Indonesia yang sejak lama didasarkan pada putusan fungsionaris hukum adat-Teori Beslissingen Leer yang dikembangkan oleh Ter Haar-adalah sangat sejalan dengan konsepsi yang ditawarkan oleh sistem hukum Anglo Saxon. Oleh karena itu pula, memadukan antara kedua kutub yang berbeda itu untuk dipertemukan dalam rangka kebijakan pembangunan hukum Indonesia menurut hemat kami adalah suatu langkah yang arif guna memberi arti bagi hukum Indonesia Asli sebagai hukum yang hidup.
ADVERTISEMENT
Caranya adalah, mengangkat kembali ”nilai-nilai hukum yang hidup” dalam masyarakat Indonesia yang plural, yang beragam, yang Bhinneka, melalui langkah-langkah metodologis yang lazim dikenal dalam ilmu hukum, dengan mengacu pada paradigma filosofis Pancasila.
Oleh karena itu harus ada keberanian untuk melihat kenyataan bahwa hukum bukanlah suatu benda kaku, karena hukum dibuat sengaja oleh manusia sebagai political will penguasa untuk mengatur kepentingan rakyat dalam negaranya. Karena itu hukum tidak hanya dirumuskan sebagai norma-norma atau doktrin-doktrin akan tetapi juga memuat asas-asas yang secara implisit tersembunyi di belakang atau berada di balik norma hukum itu.
Dengan konstruksi demikian maka hukum menjadi lebih artifisial daripada natural, seperti pohon yang tumbuh dari biji. Keberanian untuk melihat hukum sebagai konstruksi sosial yang berpangkal pada pilihan politik hukum atau politik kebudayaan dan karenanya hasil konstruksi itu boleh diubah dengan konstruksi baru. Perubahan-perubahan pada hukum positif lazim terjadi di tengah-tengah masyarakat yang terus berubah, akan tetapi tetap mengacu pada nilai-nilai ideologi-filosofi yang tidak berubah. Peristiwa demi peristiwa direkam dan dijadikan catatan yang kemudian direfleksikan dengan merujuk pada nilai-nilai ke-Indonesia-an untuk merumuskan masa depan Indonesia yang dirumuskan dalam norma hukum positif.
ADVERTISEMENT

Semangat Pluralisme

Salah satu kebijakan yang perlu ditempuh dalam pembangunan hukum adalah terciptanya suatu tatanan hukum yang dapat menjembatani kepentingan masyarakat Indonesia yang saling berhimpitan dalam masyarakat yang majemuk yang berdampak pada pluralisme hukum. Jadikanlah perbedaan sebagai asset, sebagai kekayaan bangsa dan dengan begitu potensi pengembangan kaedah hukum Indonesia akan semakin mendekat menuju cita-cita kemerdekaan.
Keanekaragaman budaya termasuk keanekaragaman hayati tercipta secara simetris dengan keanekaragaman etnik dan keanekaragaman bahasa, tetapi kita mempunyai alat pemersatu yang tidak dimiliki oleh banyak negara etnik di dunia yakni bahasa, Bahasa Indonesia.
Pendekatan keberagaman, ke-Bhinneka-an, sebagaimana dipilih oleh pendiri bangsa ini sebagai lambang Negara Indonesia patut dijadikan rujukan bahwa kehidupan bersama dalam dunia yang plural ini haruslah ditujukan untuk kebahagiaan bumi dan langit, kebahagiaan bersama.
ADVERTISEMENT
Perbedaan dalam kehidupan di dunia di alam global sebenarnya adalah suatu rahmat. Menyimpang dari teori ilmu sosial, tanpa ragu kutipan premis Al Quran dapat dijadikan rujukan:
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu (Al Hud 118)
Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikanNya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (Al Maidah 48). Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa (Al Hujarat 13).
Ketiga ayat Al Quran di atas telah menyentakkan kesadaran manusia, bahwa jika sesungguhnya Tuhan menghendaki, ia dapat menjadikan manusia di muka bumi ini menjadi umat yang satu. Kemahakuasaannya tidaklah mungkin Tuhan tidak dapat menciptakan umat manusia menjadi satu entitas, akan tetapi sekali lagi mengapa begitu banyak pikiran-pikiran yang muncul untuk menghilangkan keberagaman itu dengan membawa-bawa nama Tuhan? Padahal kalau Tuhan menghendaki, Dia bisa melakukan itu? Bukankah Tuhan juga yang mengatakan perbedaan itu adalah rahmat, agar manusia dapat berinteraksi?
ADVERTISEMENT
Pesan apa sesungguhnya yang tersembunyi dari ketiga ayat di atas, terselibnya azas yang disebut sebagai “spirit of pluralism”. Perbedaan itu fitrah hasil ciptaan Tuhan yan g Maha Kuasa. Indonesia telah lama menerima perbedaan itu yang dituangkan dalam adagium Bhinneka Tunggal Ika dan disahuti dengan baik oleh Pancasila sebagai “mietsaqon khalidza” atau meminjam istilah Mahfud MD Pancasila adalah modus vivendi atau kesepakatan luhur bangsa Indonesia.
Rakyat Indonesia di bawah naungan negara harus mampu berkompromi untuk menyelamatkan bumi Indonesia dan menjadi contoh negara-negara lain yang terus menerus berperang karena perbedaan ras dan agama. Kita harus menghentikan eksploitasi bumi yang berlebihan yang mengatasnamakan tuntutan Ekonomi Global dengan menggunakan instrumen hukum Indonesia.

Penutup

Indonesia ke depan harus mampu melahirkan undang-undang nasional yang konsisten dengan nilai-nilai kultural masyarakatnya, nilai-nilai yang disebutkan sebagai nilai-nilai dengan paradigma budaya dan sosial Indonesia yang asli (The original paradigmatic values of Indonesian culture and society) yang terabstraksi dalam Pancasila.
ADVERTISEMENT
Pancasila yang telah diterima sebagai landasan ideologi bangsa dan negara haruslah dijadikan sebagai landasan filosofis, sebagai grundnorm, sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam pembentukan hukum nasional.
Hukum positif Indonesia saat ini, sebagian memperlihatkan norma hukum yang tidak commit nationally dan ini menguatkan tesis Robinson, yang mengatakan sejak zaman Kolonial Belanda Indonesia telah memulai langkahnya untuk masuk ke alam ekonomi kapitalis dan menjadi tumbuh subur pada masa orde baru (kepemimpinan Soeharto).
Ini juga yang diingatkan oleh Arief Budiman (dengan anggapannya Indonesia adalah negara kapitalis malu-malu) bahwa Indonesia telah menjadi negara kapitalis dan juga memupuskan harapan the founding fathers Bung Hatta (yang diteruskan oleh Mubyarto dan Adi Sasono, Sri Edy Swasono, Sri Tua Arif dan Dawam Rahardjo) untuk membangun cita-cita ekonomi kerakyatan.
ADVERTISEMENT
Ini dapat diukur dari berbagai ketentuan normatif yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan yang lahir di Indonesia dewasa ini terutama dengan terkoreksinya pasal 33 UUD 45 melalui amandemen, dengan begitu dapat ditangkap dan dipastikan ke mana sebenarnya arah dan jalan politik ekonomi Indonesia mau dibawa. Bangunan ekonomi seperti apa sebenarnya yang sedang diciptakan melalui pilihan politik hukum Indonesia dewasa ini.
Pilihan politik hukum yang pragmatis-belajar dari berbagai kasus transplantasi Hukum di Indonesia dalam berbagai babakan sejarah-yang cenderung meninggalkan nilai-nilai filosofis Pancasila akan membawa pengaruh secara simultan pada kehidupan ekonomi, politik, dan bidang sosial budaya lainnya (sebagai sub sistem dalam sistem kehidupan Nasional), jika hukum yang dibangun cenderung ke arah demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis.
ADVERTISEMENT
Pertarungan ideologi Pancasila dengan ideologi lain-demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis-ini akan menguatkan tesis Fukuyama dalam bukunya The End Of History yang mengatakan dunia ini akan berakhir dengan kemenangan demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis. Tesis Fukuyama ini sekaligus meyakinkan Ian Bremer dalam Bukunya The End of The Free Market yang menyimpulkan bahwa pemenang dalam pertarungan pasar bebas berujung pada bangkitnya Kapitalisme Negara dan itu sekaligus merupakan ancaman jangka panjang bagi perekonomian Indonesian termasuk juga ancaman bagi ekonomi dunia.
Mengacu pada pandangan Fukuyama dan Bremer, sudah seharusnya Indonesia kembali kepada khittah 18 Agustus 1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali kepada Pancasila dan UUD 1945, kembali pada penguatan NKRI, kembali menghayati keberagaman (Bhinneka Tunggal Ika) dengan modifikasi terhadap sistem pemerintahan dan perubahan terhadap lembaga-lembaga negara atau badan-badan negara yang dirasakan tidak mampu lagi mengantisipasi perkembangan peradaban global, dalam pilihan politik hukum
ADVERTISEMENT
Pilihan politik hukum Indonesia dengan mengacu kepada nilai-nilai Pancasila ke depan adalah sebuah pertunjukan nyanyian kolosal yang memerlukan partitur dan orkestra yang mengalunkan simfoni merdu yang memerlukan konduktor. Jika Pancasila oleh Yudi Latif dipandangnya dapat membentuk Negara Paripurna, agaknya itu hanya dapat diwujudkan jika nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan secara kontekstual untuk menjawab relevansi kebutuhan masa kini dan mendatang, sekalipun dapat dimengerti bahwa masa lalu itu terjadi bukan kesalahan pada ideologi yang dipilih, tapi penyelewengan ideologi oleh penyelenggara negara, karena lemahnya karakter kepemimpinan.
Meminjam pemikiran Otto Bauer yang selalu dikutip oleh Bung Karno, negara ini terbentuk atas komunitas karakter yang berkembang dari komunitas pengalaman bersama. Jadi terbentuknya bukan secara alami karena budaya dan bahasa yang sama, tapi karena pengalaman yang sama, hasil proses sejarah.
ADVERTISEMENT
Itulah sebabnya Bung Karno selalu menekankan Nation Building, Indonesia sudah menjadi bangsa tetapi proses menjadi bangsa untuk dapat bertahan harus diusahakan terus menerus, kalau tidak dipelihara dan disikapi secara tepat akan terjadi penguapan.
Inilah tugas berat Presiden Prabowo Subianto dalam bidang pembangunan hukum Indonesia ke depan. Majulah Indonesiaku, majulah Negeriku. Kita Indonesia. Kita Pancasila.