Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Dilema Belanja: ke Toko Kelontong atau Warung Besar?
30 September 2023 21:54 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Okta Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya sering mendengar ajakan, “Belanjalah di toko kelontong. Sebab dengan begitu, Anda turut membantu membiayai sekolah anak-anak pemilik toko tersebut”. Ajakan ini kiranya amat bijaksana. Terlebih bila ajakan ini dilanjutkan secara kontradiktif dengan, “Tapi bila Anda belanja di supermarket, maka Anda akan membantu para pemilik, pemegang saham, direksi, atau manajer supermarket menambah mobil baru”.
ADVERTISEMENT
Lanjutan ini semakin menguatkan ajakan di awal bahwa memang sudah sepatutnya kita mengutamakan berbelanja di toko kelontong, warung kecil, atau apa pun jenis dan namanya, ketimbang berbelanja di supermarket, minimarket waralaba, atau warung berskala besar lainnya yang bekerja dalam model bisnis yang besar pula, sekaligus menggurita dan cenderung monopolistik.
Tapi rasanya ajakan ini perlu diperiksa ulang. Sebab kadangkala, “Dengan berbelanja di toko kelontong, justru anak sendiri yang tidak bisa sekolah”. Mengapa? Karena harga jual di toko kelontong cenderung lebih mahal ketimbang di minimarket waralaba atau supermarket. Karenanya pula, ajakan ini perlu diperiksa ulang.
Upaya pemeriksaan di sini, bukan berarti hendak menunjukkan keberpihakan pada para pemain besar dan sejenisnya dalam bisnis ritel, atau berupaya melemahkan posisi dan daya tawar toko kelontong, melainkan untuk berspekulasi tentang bagaimana baiknya menyikapi ajakan ini.
ADVERTISEMENT
Antara Toko Kelontong dan Warung Besar
Di toko kelontong yang biasanya hadir di tengah-tengah komunitas, tidak hanya jual-beli yang dapat berlangsung di sana, melainkan pula berlangsung interaksi sosial yang lebih intim dan personal. Di toko kelontong, penjual dan pembeli dapat bertukar informasi. Tidak semata informasi soal harga atau stok barang, melainkan juga informasi tentang kabar kerabat terkini atau bahkan tentang rencana-rencana masa depan yang bersangkutan.
Keintiman ini memungkinkan relasi yang dibangun melebihi relasi antara penjual dan pembeli, yakni menjadi hubungan antar tetangga. Karenanya toko kelontong sering kali dianggap sebagai bagian integral dari sosial-budaya komunitas yang digerakkan warga lokal.
Berbagai kemungkinan ini berbanding terbalik jika berbelanja di minimarket waralaba atau supermarket (seterusnya akan disebut warung besar). Di sana, pengalaman belanja adalah pengalaman yang anonim. Tidak ada keintiman di sana. Interaksi terbatas pada persoalan ekonomis.
ADVERTISEMENT
Kalau toh ada seseorang yang merasa “tidak anonim” atau merasa menjadi bagian dari “keluarga” warung besar, sebab layanan tambahan yang ia terima, maka perasaan ini kiranya sementara atau bisa dikatakan palsu, karena dibangun atas dasar strategi bisnis warung besar agar seorang menjadi pelanggan yang loyal, yang itu artinya sama dengan keuntungan ekonomi yang terus menerus bagi warung besar.
Di tengah kelebihan kulturalnya, toko kelontong justru lemah dalam hal kompetisi harga jual barang-barang di sana. Harga jual barang-barang di toko kelontong relatif lebih mahal ketimbang di warung besar. Di warung besar, harga yang relatif lebih murah semakin dilengkapi dengan kelengkapan barang yang ditawarkannya. Di warung besar semua serba ada, termasuk soal fasilitas dan kenyamanan bagi fisik saat berbelanja.
ADVERTISEMENT
Sementara, di toko kelontong, tidak semua barang yang diinginkan tersedia. Memang, tidak semua toko kelontong demikian, dan sebaliknya juga tidak semua barang-barang warung besar lebih lengkap dan dihargai relatif lebih murah. Persoalan ini sungguh tidak bisa digeneralisir. Meski begitu, kontras harga antara keduanya tetaplah terasa nyata, setidaknya dalam pengalaman belanja saya.
Ada beberapa sebab yang membuat warung besar menawarkan harga yang lebih kompetitif. Di antaranya adalah kemampuan warung besar membeli barang dalam jumlah besar. Dengan kata lain, kapital warung besar lebih mapan ketimbang toko kelontong. Pembelian dalam jumlah yang besar, biasanya akan dikenakan harga grosir. Selain itu, warung besar juga memiliki akses langsung ke pemasok pertama atas barang yang mereka inginkan. Akses ini memungkinkan mereka untuk membeli barang dengan harga yang lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Sementara toko kelontong, kadang kala tidak memiliki kapital sebesar warung besar serta akses ke pemasok pertama. Toko kelontong sering terjebak pada leveransir, atau pihak kedua, ketiga, bahkan keempat. Di mana masing-masing pihak akan mengambil keuntungan dalam rantai pasokan barang. Itu artinya, toko kelontong akan membeli barang dalam jumlah kecil dan dengan harga berlipat-lipat lebih mahal.
Karenanya, toko kelontong akan menjual barangnya cenderung lebih mahal daripada warung besar yang mampu membeli barang tidak melalui leveransir. Toko kelontong perlu mematok margin keuntungan yang lebih besar untuk menjaga bisnis mereka tetap bertahan dan menguntungkan.
Selain persoalan skala usaha, sebab lainnya, bisa disinyalir dari persoalan biaya operasional. Warung besar dapat menyebar biaya overhead mereka seperti sewa toko, listrik, gaji karyawan, dan lain-lain, ke sejumlah besar penjualan. Penyebaran biaya ini memungkinkan warung besar mengurangi biaya per unit barang, sehingga harga jual cenderung lebih murah.
ADVERTISEMENT
Sementara bagi toko kelontong, biaya operasional akan relatif lebih tinggi karena jumlah penjualan barang mereka yang lebih rendah. Setidaknya sebab-sebab inilah yang menjadikan toko kelontong lebih lemah dalam hal harga barang yang kompetitif, sekalipun unggul dalam hal intimasi sosial dengan pembeli.
Bagaimana Bersikap?
Lantas bagaimana baiknya kita bersikap atas perbedaan harga barang antara toko kelontong dan warung besar? Di satu sisi, jika berbelanja di toko kelontong, kita akan turut menggerakkan roda ekonomi warga lokal dan komunitasnya. Atau dengan klise, sebagaimana disebut di awal tulisan ini, “turut membantu membiayai sekolah anak-anak pemilik toko kelontong”.
Tapi di sisi lain, berbelanja di toko kelontong, setidaknya bagi saya, “Akan membuat anak sendiri tidak bisa sekolah”, sebab perlu mengeluarkan uang lebih untuk pembelian barang di toko kelontong. Apalagi jika berbelanja di toko kelontong di sini, dilakukan terus-menerus dan kita “merasa” tidak perlu menawar harga barangnya dengan bekal argumen yang jamak didengar dalam nada keadilan sosial, “Di supermarket, Anda tidak sama sekali tidak mau menawar harga barang yang Anda incar.
ADVERTISEMENT
Tapi mengapa untuk warung kecil yang ngos-ngosan, Anda justru mati-matian menawar harga?”. Belum lagi soal ketidakpastian harga. Toko kelontong bisa saja menodong harga tinggi kepada pembeli yang dirasa asing.
Sementara hal lainnya, jika kita ngotot berbelanja di warung besar, maka kita akan turut memotong napas bisnis toko kelontong yang sudah ngos-ngosan. Disebut memotong, karena toko kelontong nyaris tidak mempunyai kapital dan daya saing sekuat warung besar. Selain itu, dengan berbelanja di warung besar, kita telah mereproduksi pertentangan kelas dan mengawetkan ketimpangan sosial. Di sinilah dilema itu muncul.
Dilema yang membuat sulit untuk mengambil sikap. Karena kesulitan ini, maka alhasil, semua akan kembali ke penilaian dan kemampuan kita masing-masing sebagai pembeli. Bagaimana menilai dengan bijak dan memilih tempat berbelanja yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran masing-masing. Baik itu kebutuhan sosial dan moral maupun kebutuhan hidup yang fisikal.
ADVERTISEMENT
Tapi yang solid dari keadaan ini adalah, setidaknya kita bisa melihat fakta kecil yang parsial, bahwa kapitalisme kini telah diupayakan dari akar rumput, dari tetangga kita yang berwirausaha toko kelontong; bukan melulu top down, dari pemodal besar dan orang-orang yang berkuasa dalam sirkuit ekonomi politik sebagaimana yang orang menjalankan minimarket waralaba dan supermarket.