Konten dari Pengguna

Hari Kemerdekaan: Merayakan dan Mempertanyakan

Okta Firmansyah
Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
17 Agustus 2024 10:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Okta Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Murid-murid SD dan SMP melaksanakan upacara bendera di lereng gunung Merapi, Balerante, Klaten, Jawa Tengah. (Foto: Fahmi Wijaya)
zoom-in-whitePerbesar
Murid-murid SD dan SMP melaksanakan upacara bendera di lereng gunung Merapi, Balerante, Klaten, Jawa Tengah. (Foto: Fahmi Wijaya)
ADVERTISEMENT
Di negeri ini, ada kebiasaan unik jelang perayaan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus setiap tahunnya. Kebiasaan ini beruwujud perdebatan yang biasa dipicu oleh pertanyaan yang rasanya sangat retoris, “Benarkah kita telah merdeka?”
ADVERTISEMENT
Jika dipikir secara lugu, maka jawabannya jelas adalah iya. Benar bahwa Indonesia telah merdeka dari kolonialisme secara formal, baik secara de facto maupun de jure. Benar telah merdeka selama 79 tahun per 2024. Namun jika dipikir secara kritis, maka pertanyaan retoris tadi dapat melahirkan berbagai spekulasi jawaban panjang yang bernada keadilan sosial.
Kekayaan yang terkonsentrasi hanya ke segelintir orang di negeri ini menjadikan sebagian besar orang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Laporan Global Wealth Report tahun 2018 menyebut bahwa 1% orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan Nasional. Sementara 10% orang terkaya di negeri ini menguasai 75,3% total kekayaan Nasional. Lantas bagaimana dengan 90% sisanya? Jika mengacu data dari Badan Pusat Statisik (BPS), penduduk Indonesia di tahun yang sama (2018) berjumlah 265 juta jiwa. Artinya, 238,5 juta jiwa adalah 90% penduduk Indonesia yang hanya menguasai 24,7% kekayaan Nasional. Dari data ini bisa dilihat bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia memang semakin menganga. Bahwa segala upaya pembangunan Indonesia yang bercorak oligarkis kini sejatinya hanya mengakomodasi dan dinikmati oleh orang kaya yang hanya segelintir itu. Hal ini semakin diperparah dengan disahkannya Undang-Undang Omnibus Law pada 2020 yang semakin memanjakan orang-orang kaya negeri ini.
ADVERTISEMENT
Maka wajar saja jika 90% penduduk Indonesia diproyeksikan akan semakin kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, karena distribusi pembangunan dan kekayaan Negara yang semakin tidak berkeadilan sosial. Jangankan untuk pendidikan, kesehatan, dan transportasi (yang di negeri ini masih dianggap kebutuhan tambahan), untuk kebutuhan dasar saja, seperti makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal, pemenuhan itu menjadi sulit luar biasa. Ini adalah kondisi kesenjangan sosial yang amat nyata yang sering menjadi dalih, “Benar bahwa kita belum sepenuhnya merdeka!”. Kondisi yang kontradiktif dari kemerdekaan ideal yang mengamanatkan keadilan sosial tanpa pandang bulu.
Ilustrasi orang miskin kota (Foto: Wilfredo Rafael Rodriguez Hernandez)
Di lain hal, ada dalih lain yang bisa dijadikan pembenar bahwa Indonesia belum sepenuhnya merdeka dalam maksud yang retoris di awal tadi. Korupsi, misalnya, yang semakin dinormalisasi di negeri ini. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di tahun 2023 yang dirilis oleh Transparency International Indonesia, memperoleh skor 34 dan Indonesia menduduki peringkat ke 115. Skor yang rendah ini menunjukkan bahwa agenda demokrasi dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak menunjukkan perbaikan. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi Undang-Undang KPK menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 yang meletakkan KPK sebagai bagian dari lembaga eksekutif, hingga pemberlakuan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK dan sepak terjang Firli Bahuri sebagai ketua KPK 2019-2023 yang banyak menuai kontroversi adalah beberapa penyebabnya. Sementara di sisi lain, para koruptor justru mendapat perlakuan istimewa di lingkungan sosialnya. Ada banyak mantan napi koruptor yang diperbolehkan dan terpilih sebagai senator. Ada pula yang diangkat sebagai imam masjid yang ikonik milik perintah provinsi di salah satu ibu kota provinsi di Sumatera. Dengan kata lain, tidak ada hukum legal-formal maupun hukum sosial yang sungguh-sungguh yang dijalankan guna membuat jera pelaku korupsi. Hal yang terjadi justru sebaliknya, korupsi semakin dapat dilakukan secara permisif.
Aksi tolak pelemahan KPK (Foto: Chandra Siagian)
Ada pula dalih lain yang bisa juga menjadi argumen pembenar bahwa negeri ini hanya merdeka di tataran formal saja. Misalnya, berbagai pembatasan bahkan pembungkaman pendapat atau ekspresi kritis oleh elit negeri ini melalui beragam aparatusnya yang menambah keyakinan bahwa negeri ini memang belum merdeka sepenuhnya. Ihwal kondisi kemandirian bangsa di banyak bidang juga menebalkan keyakinan tadi. Baik kemandirian di bidang pangan, energi, teknologi, atau di bidang pengetahuan, yang kini semuanya semakin jauh dari angan-angan. Kondisi-kondisi yang turut memantapkan bahwa betul Indonesia telah merdeka tapi dalam kadar kurang dari sebagian.
ADVERTISEMENT
Karena berbagai kondisi ini, pertanyaan retoris di awal tadi selalu mendapat tempat saat negeri ini bersiap-siap merayakan kemerdekaan. Saat 17 Agustus dibicarakan. Persis seperti pernyataan larangan bagi umat muslim untuk mengucapkan selamat Natal di momen perayaan Natal, yang selalu mendapat tempat bagi siapa saja yang menjadikan isu moderasi beragama sebagai proyek politik di negeri ini.
Kemerdekaan di negeri ini memang perlu dirayakan sebagai upaya mengingat dan menghormati jasa pahlawan bangsa. Sekaligus diperlukan sebagai menambatkan harapan semoga esok negeri ini bersahaja dan semakin menjadi baik dengan memperhatikan semua anak bangsa. Namun perayaan saja akan menjadi non sense tanpa upaya sungguh-sunguh mengatasi berbagai kondisi tadi.
Jangan sampai kemerdekaan di negeri ini menjadi sebatas perasaan-perasaan di antara, seperti kebebasan dan kertidakbebasan, keadilan dan kesenjangan, merdeka dan kebergantungan. Perasaan-perasaan yang terus bercampur yang membuat linglung, alih-alih kemajuan.
ADVERTISEMENT