Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kawa Daun: Ngopi Alternatif dari Sumatera Barat
9 Oktober 2023 7:44 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Okta Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ini kawa daun yang disajikan dalam batok kelapa. Kawa berarti kopi. Kawa diserap dari bahasa Arab, qahwah yang berarti kopi. Alhasil, kawa daun adalah kopi daun. Yakni minuman yang dibuat dari daun kopi. Kopi ini khas dari Sumatera Barat, khususnya dari Kabupaten Tanah Datar.
ADVERTISEMENT
Daun kopi yang pilih umumnya yang telah menguning dan tidak terlalu tua. Biasanya daun yang dipakai adalah daun kopi arabika karena diyakini menghasilkan cita rasa yang tidak terlalu pahit. Daun-daun itu kemudian dipetik, bukan dipungut karena gugur.
Setelah dipetik, daun kopi dirangkai dengan bilah bambu, ditusuk satu per satu seperti halnya membuat tusukan sate. Ini dilakukan untuk memudahkan proses pengeringan. Pengeringan daun kopi bisa dengan berbagai cara.
Ada yang dijemur, ada pula yang diasapi, juga ada yang disangrai di atas perapian. Daun-daun yang telah kering kemudian diremas-remas hingga hancur. Hasilnya barulah diseduh dengan air panas, serupa menyeduh teh. Warnanya pun persis minuman teh dalam kadar yang ringan, kecokelatan.
ADVERTISEMENT
Jika meminum kawa daun tanpa campuran bahan lain, rasa kawa daun cenderung gosong dengan aroma yang mendominasi adalah berasap (smoky) dan sedikit berbau tanah (earthy). Setidaknya cita rasa itu yang saya peroleh saat meminum kawa daun.
Karena cita rasa yang demikian, maka menjadi maklum bila sebagian orang kadang perlu merekayasa cita rasa kawa daun dengan menambahkan gula batu, gula aren, kayu manis, atau rempah-rempah dan bahan-bahan lainnya, agar rasanya semakin sesuai selera.
Kawa Daun dan Koffiestelsel
Banyak orang menyakini bahwa kawa daun lahir dari peristiwa kelam kolonialisme Belanda tahun 1847, yakni koffiestelsel. Saat itu kopi sebagai salah satu komoditi ekspor yang diminati, ditanam dengan cara mengeksploitasi tanah dan penduduk lokal. Selain diwajibkan menanam kopi, seluruh hasil panen kopi juga wajib disetor ke Belanda untuk dijual ke pasar global.
ADVERTISEMENT
Belanda akan menghargai kopi dengan harga yang sangat murah. Bahkan kadang tanpa perlu dibayar. Karena ambisi akan kopi ini pula, Belanda juga memperlakukan kerja rodi untuk membangun infrastrukur demi menunjang pergerakan karung-karung kopi. Akibatnya, dilaporkan banyak penduduk lokal yang mati, baik karena kelelahan maupun kelaparan. Kekejian koffiestelsel yang juga disebut sistem tanam paksa ini berlangsung hingga awal abad ke-20.
Di Sumatera Barat, masa itu orang Minang sama sekali tidak pernah bisa menikmati secangkir kopi yang ia tanam, yang diseduh dari biji kopi. Belanda tidak membolehkan kopi dikonsumsi oleh penduduk lokal bahkan untuk biji kopi cacat sekalipun. Belanda berupaya memonopoli komoditi kopi di pasar global.
Kopi adalah supremasi dagang Belanda. Belanda juga mengonstruksi kopi sebagai penanda derajat sosial yang tinggi yang dimitoskan hanya dimiliki oleh orang kulit putih. Sementara orang kulit berwarna, seperti orang Minang kala itu, dianggap rendahan, karenanya dianggap tidak pantas meminum kopi yang diseduh dari biji kopi. Alhasil, orang Minang mesti membiasakan diri dengan kawa daun.
ADVERTISEMENT
Namun keyakinan kawa daun lahir dari rahim koffiestelsel dibantah oleh Prof. Gusti Asnan, sejarawan dari Universitas Andalas. Menurutnya kawa daun tidak lahir dari koffiestelsel. Asnan (2020) berpendapat budaya kawa daun lahir jauh sebelum Belanda masuk ke Minangkabau. Belanda masuk ranah Minang abad ke-19. Sementara pada abad sebelumnya, abad ke-18, orang Minang sudah mengenal biji kopi sejak orang Amerika datang membeli biji kopi di sana. Saat itu, orang Minang telah menyadari bahwa biji kopi adalah sesuatu yang bernilai, yang dapat diminum sekaligus dapat dijual.
Lebih bernilai dari daun kopi yang sebelumnya pula telah terbiasa dikonsumsi orang Minang sebagai minuman. Secara singkat, Asnan memungkasi pendapatnya bahwa kopi dikenal orang Minang bukan karena dibawa Belanda, melainkan karena orang Minang yang berkontak dengan orang Arab saat berhaji, dan membawa kopi sebagai oleh-olehnya.
ADVERTISEMENT
Tetapi kita bisa saja menaruh curiga pada pendapat Asnan ini, sebab pendapat ini didasarkan pada arsip yang ditulis oleh orang Belanda sendiri. Ini membuka peluang menjadikannya sebagai historiografi yang bias. Mengapa? Karena ada banyak teks yang diproduksi demi menyokong wacana tertentu, termasuk wacana kolonial.
Dalam kasus ini, bisa jadi arsip yang dipakai Asnan adalah teks yang politis yang difungsikan untuk menguatkan persepsi tentang “kebaikan” Belanda, bahwa kebiasaan minum kawa daun bukan karena kondisi yang dipaksakan oleh kekejian Belanda, tetapi karena kebiasaan lokal yang suka rela dihidupi di sana. Seolah-olah demikian adanya, hingga lokalitas ini patut dirayakan. Karena kemungkinan ini ada, maka perlulah kegiatan penelitian untuknya.