Konten dari Pengguna

Menyikapi Retorika Demokrasi Santun

Okza Wijaya
Peneliti di Sygma Research and Consulting fokus pada kebijakan publik, ekonomi politik dan demokratisasi
25 Oktober 2024 13:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Okza Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tangkap Layar Youtube Biro Pers, Media, dan informasi Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Tangkap Layar Youtube Biro Pers, Media, dan informasi Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Dalam sistem demokrasi, kritik adalah salah satu pilar utama yang berfungsi untuk memastikan pemerintah tetap akuntabel dan transparan. Namun, di awal pidato pelantikan Prabowo Subianto, muncul narasi tentang pentingnya kesantunan dalam berdemokrasi, yang dalam beberapa pandangan, dapat dianggap sebagai upaya untuk meredam kritik publik. Retorika ini menimbulkan kekhawatiran tentang apakah hal ini sebenarnya adalah langkah menuju "demokrasi semu" yang membatasi kebebasan berekspresi di bawah dalih kesopanan dan stabilitas politik.
ADVERTISEMENT

Demokrasi Semu dan Pembatasan Kritik

Pseudo-demokrasi, atau demokrasi semu, adalah istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan sistem politik yang secara formal memiliki elemen-elemen demokrasi seperti pemilihan umum, kebebasan berbicara, dan partisipasi politik, tetapi dalam praktiknya, elemen-elemen tersebut dibatasi secara sistematis. Menurut Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy: Toward Consolidation, "demokrasi yang sejati adalah yang memberi ruang bagi perbedaan pendapat, kritik, dan kebebasan untuk berbicara tanpa takut akan pembalasan atau represi." Dalam sistem demokrasi semu, institusi demokrasi bisa jadi hanya berfungsi sebagai simbol tanpa esensi yang sebenarnya.
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die. Mereka menjelaskan bagaimana demokrasi dapat terkikis secara perlahan melalui perubahan aturan main yang sah tetapi mengekang partisipasi politik, termasuk upaya untuk mendiskreditkan atau membungkam kritik yang dianggap "tidak sopan." Narasi seperti ini dapat dijadikan alat oleh para pemimpin untuk membatasi ruang diskusi dan kritik terhadap kebijakan pemerintah dengan alasan menjaga kesantunan.
ADVERTISEMENT

Retorika Kesantunan sebagai Alat Kontrol Politik

Dalam konteks politik Prabowo Subianto, ajakan untuk berdemokrasi secara santun dapat dilihat sebagai upaya meredam kritik yang lebih keras dan tajam. Padahal, kritik yang keras sering kali muncul karena ketidakpuasan yang mendalam terhadap kebijakan pemerintah. Seperti yang dikemukakan oleh John Stuart Mill dalam On Liberty, "bebas dari kritik bukanlah hak istimewa bagi pemerintah dalam sistem demokrasi. Justru kritik yang terbuka adalah yang menjaga pemerintah tetap akuntabel."
Jika kita melihat pengalaman negara-negara lain, seperti yang dijelaskan oleh Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, pembatasan kebebasan berpendapat dengan dalih menjaga kesantunan dapat mengarah pada penurunan kualitas demokrasi. Zakaria berpendapat bahwa negara-negara yang mulai mengekang kebebasan berpendapat sering kali bergerak ke arah otoritarianisme, di mana hanya kritik yang dianggap aman dan sopan yang diperbolehkan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang memberikan kebebasan penuh bagi rakyat untuk menyampaikan pendapatnya, bahkan ketika pendapat tersebut disampaikan dengan keras dan kritis.
ADVERTISEMENT

Pentingnya Kritik Terbuka dalam Demokrasi

Kritik yang terbuka dan bebas adalah esensi dari sebuah demokrasi yang sehat. Amartya Sen, dalam bukunya Development as Freedom, berpendapat bahwa "kebebasan untuk mengkritik adalah bagian dari kebebasan substantif yang memungkinkan masyarakat untuk membuat pilihan yang benar dalam demokrasi." Kritik yang kuat dan kadang-kadang keras sangat penting untuk menjaga akuntabilitas pemerintah dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan keprihatinan mereka secara bebas.
Selain itu, Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America juga menekankan bahwa "demokrasi yang dinamis adalah yang memungkinkan terjadinya perdebatan publik secara bebas, tanpa adanya ketakutan akan pembatasan atau hukuman dari pihak yang berkuasa." Dalam konteks ini, ajakan untuk menjaga kesantunan bisa menjadi alat untuk menghalangi kritik yang sah terhadap pemerintah, terutama jika kesantunan dijadikan syarat untuk diizinkannya kritik.
ADVERTISEMENT

Ancaman Demokrasi di Era Teknologi dan Media Sosial

Dalam era modern, dengan adanya teknologi dan media sosial, kritik terhadap pemerintah semakin cepat dan meluas. Namun, seperti yang dikemukakan oleh Cass Sunstein dalam Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media, ada kecenderungan bagi pemerintah atau kelompok elit untuk membingkai kritik sebagai tindakan yang "tidak sopan" atau "tidak pantas," terutama dalam platform media sosial. Hal ini sering kali diikuti dengan langkah-langkah untuk membatasi konten yang dianggap terlalu kritis atau tidak sesuai dengan norma kesopanan yang ditetapkan.
Jika pemerintah di bawah Prabowo terus mendorong narasi tentang "demokrasi yang santun" tanpa mempertimbangkan substansi dari kritik yang disampaikan, maka Indonesia berisiko jatuh ke dalam demokrasi yang terbatas. Kebebasan berekspresi akan dibatasi tidak hanya oleh undang-undang, tetapi juga oleh norma sosial yang diciptakan oleh elit politik untuk mengontrol narasi publik.
ADVERTISEMENT

Jalan Keluar: Demokrasi yang Seimbang

Untuk mencegah erosi demokrasi, pemerintah harus memperjelas batasan antara menjaga kesopanan dan membungkam kritik. Ajakan untuk berdiskusi secara santun memang penting untuk menjaga kedewasaan dalam debat politik, tetapi ini tidak boleh digunakan sebagai tameng untuk menolak atau membungkam kritik yang sah. Habermas dalam teori Public Sphere menekankan pentingnya ruang publik yang terbuka bagi perdebatan yang kritis, di mana kritik keras sekalipun harus diberikan tempat yang layak.
Indonesia, sebagai negara demokrasi yang sedang berkembang, memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan dinamis dalam mengelola kritik. Seperti yang dikemukakan oleh Larry Diamond, "demokrasi yang sejati adalah yang memberi tempat bagi suara-suara yang berbeda, termasuk suara-suara yang kritis dan menantang kekuasaan." Hal ini penting agar Indonesia dapat terus berkembang sebagai negara yang demokratis dan menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan kebebasan berekspresi.
ADVERTISEMENT
Panggilan Prabowo untuk menjaga kesantunan dalam demokrasi, meskipun mungkin memiliki niat yang baik, harus dipahami dalam konteks yang lebih luas. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memberikan ruang bagi kritik terbuka tanpa syarat yang berlebihan terkait kesopanan. Kritik yang tajam dan keras adalah bagian dari dinamika politik yang sehat dan diperlukan untuk menjaga akuntabilitas pemerintah. Dengan demikian, Indonesia perlu waspada terhadap retorika yang bisa mengarah pada demokrasi semu, di mana kebebasan berekspresi dan kritik justru dibatasi atas nama kesantunan.