Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jalan-jalan Nonton Konser RHCP: Santai Saja, Singapura
29 Maret 2023 10:40 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Paksi Raras Alit tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepulang nonton konser RHCP di National Stadium Singapura, saya memilih pisah rute dengan rombongan. Selepas stasiun MRT Lavender, saya menyelinap ke gang-gang gelap kecil di balik gedung-gedung, alih-alih jalan kaki di trotoar lebar dan nyaman.
ADVERTISEMENT
Selama di Singapura yang selalu rapi dan mewah, saya selalu menaruh kecurigaan di manakah mereka menyembunyikan “halaman belakangnya”? Masyarakat miskinnya? Di mana para kelas terpinggirkan tinggal? Dalam struktur sebuah kemewahan negara yang masyarakatnya kaya, pasti terdapat kelas marginal.
Kecurigaan saya berlandaskan dalil Ana-Belen Cano, pakar urban poverty, yang mengatakan kemiskinan urban di kota-kota industri merupakan akibat dari kombinasi proses seperti pembentukan standar hidup yang nyaman, peningkatan individualisme, proses fragmentasi sosial, dan dualisasi pasar tenaga kerja (dualisasi sosial) yaitu kesenjangan antara mereka yang sejahtera dan mereka yang tetap terpinggirkan, dikucilkan.
Benar saja, ketika langkah saya meliuk di belakang kafe dan hotel yang sedang tidur, terlihat di gang-gang penduduk bergerombol di tepian, makan, bercengkerama, main hp, dan bahkan tidur di atas kardus. Inilah konsekuensi kekuasaan. Untuk melanggengkan kekuasaan niscaya butuh penindasan. Prinsip masyarakat tanpa kelas hanyalah utopia.
Saya menyambangi segerombolan orang di pojokan tempat sampah untuk nimbrung ngerokok. Di situlah saya temukan “pojok-pojok pemberontakan” perokok. Singapura memberlakukan larangan merokok sangat ketat dengan hukuman denda tinggi hampir di segala penjuru. Para perokok, yang biasanya didominasi oleh pelancong Indonesia, mesti menyelinap di pojok-pojok pemberontakan tadi untuk sekadar menghisap tembakau dengan tenang.
ADVERTISEMENT
Di malam hari, para kaum “halaman belakang” Singapura ini kiranya sedang santai mengambil jeda menawar peraturan, sebelum esok harinya harus membaur menjadi kaum yang serba rapi dalam ritme industrialis super ngebut Singapura. Warga di sini adalah warga serba cepat. Mereka adalah kaum yang terburu-buru, tidak santai, serba efisien dalam beraktivitas.
Di trotoar, mereka jalan ngebut. Jika naik ekskalator di MRT, anda harus berdiri mepet sisi kiri pegangan, karena sisi kanan diperuntukkan untuk orang yang tetap ngegas berjalan. Kemrungsung, eskalator yang jelas-jelas otomatis berjalan ke depan saja tetap dirasa kurang cepat dan berusaha disalip.
Dengan efektivitas kecepatan bergerak seperti itu, mereka tidak sempat bahkan untuk menyapa (apalagi ngobrol) dengan orang lain. Obsesi Singapura akan kecepatan dan ketepatan diimbangi dengan fasilitas-fasilitas yang menunjang ritme tersebut. Kereta cepat tepat waktu.
Bus berhenti di halte dengan ketepatan yang bisa diprediksi. Restoran menyajikan makan dengan secepat kilat agar orang tidak antre terlalu lama. Mengobrol sambil bekerja saja dianggap memperlambat waktu. Apalagi merokok. Jeda sebat sakududan barangkali dianggap kebiasaan pemalas.
ADVERTISEMENT
Kesan sebagai masyarakat yang individualis lantas tampak kentara karena di antara waktu senggang yang sempit mereka (menunggu bus atau MRT) mereka memilih memasang earphone, agar tidak perlu buang waktu mengobrol, atau diajak bicara orang lain.
Jadi tidak bisa disalahkan juga ketika para pelancong Indonesia yang notabene adalah masyarakat yang suka leha-leha santai, suka grapyak ngobrol dengan sesama (bahkan ngobrol dengan orang asing di empat umum) menganggap orang Singapura sebagai bangsa yang tidak ramah.
Tentang asumsi ketidakramahan ini, saya dan rombongan mengalami culture shock di sebuah kafe di China Town. Belum lagi hidangan di piring tandas terkudap, sudah ada waiters yang menyambangi meja kami berniat mengangkat piring tersebut. Sontak, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi basa-basi, kami agak tersinggung.
Perilaku tanpa suba sita itu terulang lagi saat muncul petugas cleaning servis yang tanpa kula nuwun jongkok di bawah meja kami untuk memunguti kotoran di kafe. Beberapa detik kemudian, dia datang lagi membawa sapu dan pengki lantas menyapu di sela-sela kaki.
ADVERTISEMENT
Bagi kami orang Jawa, menyapu ketika masih ada tamu di rumahmu, adalah hal yang tidak sopan, saru, dan malati. Hal itu dianggap sangat kasar di Jawa, sekaligus mengisyaratkan (sanepa) pengusiran tamu.
Pekerja kafe itu tergesa karena restoran sedang ramai dan agar kami tidak berlama-lama nongkrong di kafe itu, sehingga mekanisme pengusiran (tidak halus) diberlakukan karena orang yang nongkrong lama di sebuah kafe mungkin dianggap sebagai inefisiensi dalam bisnis. Sungguh negeri yang serba terburu-buru. Mbok santai saja. Kecepatan dan ketergesaan itu meningkatkan stres, lho.
Terbukti tingkat stres di Singapura itu tinggi. Survei lembaga riset Gallup, yang berbasis di Amerika Serikat menyebut orang Singapura kurang memiliki emosi yang positif sehingga kehidupannya tidak bahagia.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian dari Cigna, yang mensurvei 1001 pekerja di Singapura, didapatkan bahwa meskipun pendapat sangat tinggi di sana, namun 94% pekerja di Singapura menderita stres berat. Angka tersebut di atas rerata tingkat stres pekerja di seluruh dunia yang hanya 86%.
Kalau di dalam teori musik, jeda atau berhenti dalam sebuah ritmis justru merupakan pembentuk irama harmonis. Mungkin orang-orang Singapura perlu membiasakan diri berhenti sejenak, sebat merokok, agar lebih santai dan tidak stress. Jangan lupa pula untuk ngobrol basa-basi nggak penting ngrasani orang lain. Karena yang tidak penting itu kadang lalu menjadi penting dalam hidup.