Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Benarkah Soekarno Pencipta Kata Petani sebagai Akronim Penyangga Tatanan Negara?
email: [email protected]
6 Juni 2020 18:37 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Soekarno adalah sosok presiden yang dikenal cukup dekat dengan petani. Marhaenisme, ideologi yang dia gagas, disebut-sebut terinspirasi dari seorang petani bernama Marhaen yang Soekarno temui di era 1926-an. Sedangkan versi lain menyebut, petani itu bernama Aen atau Aeng.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, pada beberapa pekan terakhir di media sosial Soekarno ramai disebut-sebut sebagai penemu kata ‘petani’ yang merupakan akronim dari Penyangga Tatanan Negara Indonesia. Bagi para petani, sebutan itu tentu sangat membanggakan, apalagi yang menyematkannya adalah presiden pertama Indonesia.
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip), Singgih Tri Suistiyono, mengatakan tak tepat untuk mengatakan bahwa petani adalah kata yang diciptakan Soekarno dari akronim penyangga tatanan negara. Apa yang dikatakan oleh Soekarno di awal-awal 50-an mengenai kepanjangan petani tersebut adalah sebuah retorika untuk mengambil hati para petani. Seperti yang sudah jamak diketahui, Soekaro memang sangat suka membuat akronim-akronim seperti Berdikari dari berdiri di ata kaki sendiri,Trikora dari Tri Komando Rakyat, Jasmerah dari jangan sampai melupakan sejarah, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Begitupun dengan petani sebagai Penyangga Tatanan Negara Indonesia, hal itu menurutnya sekadar mencocok-cocokkan saja. “Saya kira yang disampaikan Bung Karno itu akronim yang cara bahasa Jawanya itu, digathukke mathuk, artinya dipasang-pasangkan,” kata Singgih Tri Sutrisno ketika dihubungi, Senin (1/6).
Sampai sekarang pun, banyak orang yang masih suka membuat akronim-akronim semacam itu, baik untuk memuji, menarik perhatian, atau bahkan untu saling ejek. “Jadi karena kreativitas Bung Karno zaman dulu ya, kan beliau memang dikenal suka membuat akronim-akronim semacam itu,” lanjutnya.
Berasal dari Bahasa Sanskerta
Kata petani sebenarnya sudah ada jauh sebelum Soekarno membuat akronim Penyangga Tatanan Negara Indonesia. Kata petani berasal dari kata tani, yang merupakan bahasa sanskerta. Dalam bahasa sanskerta, kata tani berarti tanah yang ditanami.
ADVERTISEMENT
“Kalau dalam bahasa Jawa artinya palemahan sing ditanduri. Jadi palemahan itu artinya pertanahan atau tanah, sing ditanduri itu yang ditanami,” jelas Singgih.
Ketika mendapat imbuhan ‘pe’ di depannya, maka kata tani yang awalnya merupakan kata benda akan menjadi subjek. Seperti pelaut yang berasal dari kata laut, setelah mendapat imbuhan ‘pe’ maknanya berubah menjadi orang yang bekerja di laut. Atau pedagang, yang berarti orang yang pekerjaannya dagang atau berdagang.
“Sama, petani juga seperti itu, artinya orang yang bekerja di tani atau di tanah yang ditanami. Atau bisa juga orang yang pekerjaannya mengolah tanah untuk ditanami,” lanjutnya.
Bahasa sanskerta memang banyak diadopsi di kehidupan masyarakat Indonesia, seiring besarnya pengaruh India sejak awal Masehi baik melalui jalur perdagangan maupun melalui agama Hindu dan Buddha. Sehingga bahasa sanskerta cukup banyak memperkaya kosa kata bahasa di tengah masyarakat, terutama masyarakat Jawa.
ADVERTISEMENT
“Makanya kemudian sekitar zaman Majapahit, bahkan zaman Kediri, itu kan yang berkembang tidak hanya murni bahasa sanskerta, tetapi bahasa Jawa kuna atau bahasa kawi. Di sini kata tani juga diserap oleh bahasa Jawa kuna,” ujarnya.
Untuk menyebut orangnya atau pelakunya, dalam bahasa Jawa disebut among tani, atau orang yang mengolah tanah untuk ditanami. Sementara pekerjaannya disebut mertani atau dalam bahasa Indonesia bertani. Namun setelah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia berkembang, untuk menunjukkan subjek adalah dengan memberikan imbuhan ‘pe’ di depannya.
“Jadi petani, pelaut, pedagang. Jadi petani itu adalah orang yang bercocok tanam, orang yang mengolah tanah untuk ditanami. Tani sendiri awalnya lebih mengacu pada tanah, kan mirip juga tani dan tanah,” jelas Singgih.
ADVERTISEMENT
Sikep di Zaman Mataram Islam
Dalam konsep kepemilikan tanah dan tenaga kerja selama masa Mataram Islam yang berbasis pada feodalisme, petani juga disebut sikep. Sikep adalah petani yang diberikan kekuasaan oleh raja untuk mengerjakan atau mengelola tanah. Sebab, pada zaman itu tanah adalah milik raja.
“Jadi sikep ini diberikan semacam lisensi oleh raja untuk mengerjakan tanah,” ujar Singgih.
Sebab, ada juga petani yang tidak memiliki lisensi dari raja untuk menggarap tanah atau bisa dikatakan hanya menumpang. Mereka adalah tenaga kerja yang mengindung semang kepada sikep yang memang memiliki sike dari raja. “Kalau sekarang gampangnya buruh tani,” lanjutnya.
Tapi ada perbedaan antara buruh tani sekarang dengan zaman itu. Pada masa itu, hubungan antara buruh tani dengan sikep tidak sekadar orang yang bekerja kemudian diberi upah. Dulu, hubungan antara sikep dan orang yang menumpang memiliki ikatan kultural, tidak sekadar ikatan buruh dan bos atau pemilik modal.
ADVERTISEMENT
Orang yang menumpang akan diberi izin untuk membuat rumah kecil di pekarangan sikepnya. Jika sedang mengalami kesulitan, sikep juga akan aktif memberikan bantuan. “Jadi ikatan kulturalnya itu masih kuat,” ujarnya.
Nantinya, yang bertugas membayar pajak atau upeti kepada raja adalah sikep atau petani yang memiliki lisensi atau izin dari raja. Sementara petani yang menumpang tadi tidak punya kewajiban untuk membayar pajak. Sampai sekarangpun, definisi petani adalah orang yang menggarap dan memiliki lahan. Sementara yang hanya menggarap namun tidak memiliki lahan disebut buruh tani.
“Petani atau sikep itu juga memiliki kedudukan yang terhormat di dalam masyarakat karena dia membayar pajak kepada negara atau kerajaan,” kata Singgih.
Petani dan Politik Bahasa
ADVERTISEMENT
Sejarawan sekaligus Guru Besar Ilmu Sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Suhartono, memaparkan lebih jauh bagaiamana istilah tani dan petani mengandung politik bahasa yang sangat kental yang menandai suatu era. Yakni, antara 1964 sampai 1965, pernah terjadi konflik peristilahan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan lawan politiknya.
Ketika ada penyeragaman dalam bahasa Indonesia, bahwa untuk menunjukkan seseorang yang berprofesi di bidang tertentu diberi imbuhan’pe-‘, Lekra ngotot untuk tetap menggunakan istilah tani alih-alih petani. Menurut Suhartono, kata tani sebenarnya sudah menunjukkan profesi seseorang, yaitu sebagai penggarap tanah. Sehingga, harus diakui bahwa kata tani yang digunakan oleh lekra merupakan terminologi yang sudah benar dan tidak perlu ditambah lagi dengan imbuhan’pe-‘.
“Karena itu kalau baca tulisan-tulisan dari Partai Komunis, enggak mau mereka menggunakan kata petani, karena tani saja sudah cukup untuk menunjukkan seseorang yang menggarap tanah,” kata Suhartono, Jumat (4/6).
ADVERTISEMENT
Dalam istilah Jawa, petani hidup dengan cara bertani atau gesang petanen, pakaryaning nggarap sawah, atau pekerjaannya menggarap sawah. Di dalam struktur sosial masyarakat Jawa, ada pengelompokkan wong luhur, wong gedhe, dan wong cilik. Petani, dalam struktur sosial tersebut, dikelompokkan ke dalam wong cilik atau orang kecil.
Di dalam struktur ini, lawan wong cilik adalah wong gedhe atau biasa juga disebut priyayi. Priyayi sering disebut juga dengan poroyayi, artinya masih ada hubungan keluarga dengan raja. Namun menurut Suharto, priyayi juga bisa didapatkan karena faktor lain, misal karena orang itu pandai atau diangkat sebagai menantu oleh bangsawan sehingga kedudukannya ditingkatkan menjadi priyayi.
Petani antara Kekuasaan dan Ekonomi Negeri
Suhartono memang mengatakan bahwa Soekarno menyebut petani sebagai tiang bangsa. Tiang bangsa di sini bermakna, petani merupakan penyangga perekonomian bangsa Indonesia. Karena saat itu, hampir 70 persen masyarakat Indonesia bekerja sebagai petani.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalau petani dikatakan penyangga ekonomi itu memang benar. Tapi itu dulu, kalau sekarang harus diteliti lagi, karena yang muda itu sekarang sudah enggak mau lagi bertani, mereka ingin jadi priyayi semua, kerja di kantor,” kata Suhartono.
Soemarsaid Moertono, dalam bukunya yang berjudul State and Statecraft in Old Java menuliskan bahwa petani adalah penyangga supra-village. Artinya, petanilah yang menyangga kehidupan di atas desa. “Jadi kehidupan di atas desa semuanya ditanggung oleh petani,” lanjut Suhartono.
Soal Soekarno yang menyebut petani adalah penyangga tatanan negara Indonesia, menurut Suhartono hal itu tidak bisa lepas dari kecerdasan Soekarno dalam berpolitik. Soekarno paham betul, kaum tani memiliki kekuatan yang sangat besar. Dan sama seperti yang dikatakan Singgih Tri Sutrisno, Suhartono juga mengatakan hal ini tidak bisa dilepaskan dari upaya menarik simpati dan dukungan kaum tani.
ADVERTISEMENT
“Jadi Bung Karno itu cerdas. Jadi untuk memenangkan perpolitikan, dia tahu harus menguasai dukungan dari kaum tani. Sebab mayoritas penduduk Indonesia itu tani,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)