Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Di Atas Motor Trail, Ketika Detik Jadi Sangat Berharga
email: [email protected]
4 Agustus 2020 16:22 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Muhammad Alfy Rizki, 17 tahun, tersenyum bungah ketika melepas helmnya dan mendengar teriakan kawannya di pinggir sirkuit. 57 detik, teriak kawan Rizki. Itu adalah waktu yang dia habiskan untuk menempuh satu putaran sirkuit trail di lapangan desa Sidomoyo, Godean, Sleman.
ADVERTISEMENT
“Biasanya 1 menit lebih, 1 menit 5 detik, 1 menit 10 detiklah,” kata Rizki sembari meregangkan lengannya yang pegal setelah lima kali memutari sirkuit, Rabu sore (29/7).
Rizki adalah salah seorang penghobi balap trail yang kini sedang menyiapkan diri untuk menghadapi sebuah kejuaraan balap di lokasi yang sama. Bagi Rizki (dan tentunya semua pembalap lain), satu detik adalah waktu yang sangat berharga ketika sedang memacu sepeda motornya.
Dalam satu detik, semua bisa terjadi. Bisa menyalip, atau disalip. Bisa juga tergelincir karena kurang tepat menggunakan waktu satu detik, atau bahkan sepersekian detik. Seperti yang dia alami sekitar dua bulan silam, ketika sepersekian detik saja dia terlambat menarik handle rem di tikungan. Akibatnya, dia dan motor Kawasaki KLX 150 CC-nya tergelincir ke dalam sawah di sekitar sirkuit.
ADVERTISEMENT
“Itu sakitnya lumayan, semingguan, terutama badan sama kaki,” katanya.
Bukan hanya fisik yang merasakan sakit, setiap baru saja jatuh dia juga selalu merasa syok. Menarik gas menjadi ragu-ragu, di tikungan juga selalu terbayang hal-hal yang mengerikan. Butuh beberapa lap, atau bahkan beberapa hari untuk memulihkan mental selepas jatuh.
Otak dipaksa bekerja cepat dalam mengambil keputusan. Kecepatan sekian, tikungan berapa meter lagi, maka apa yang harus dilakukan tangan, kaki, dan badan, harus diputuskan secepat mungkin. Terlambat sepersekian detik saja memutuskan, lawan pasti akan menyalip. Masih mending jika hanya disalip oleh lawan, apes lagi kalau sampai tergelincir karena terlambat menarik handle rem seperti yang dialami Rizki.
“Jadi harus cepat gitu mikirnya, enggak boleh ragu tapi enggak boleh gegabah. Misalnya juga kayak pas terbang, ketinggian berapa meter, kecepatan berapa, terus posisi tubuh harus gimana, itu harus dihitung benar-benar,” lanjut penggemar Akbar Taufan, pembalap nasional itu.
ADVERTISEMENT
Sore itu tidak terlalu banyak yang sedang latihan di sirkuit itu. Selain Rizki ada juga Mourio Ganjar Putrajaya, 16 tahun, dia juga sedang latihan untuk menyiapkan kejuaraan yang akan datang. Entah sudah berapa kali Rio, sapaan akrabnya, memutari sirkuit.
“Enggak ngitung berapa lap, kalau capek ya istirahat dulu,” ujar Rio saat istirahat di tepi sirkuit.
Dia baru sebulan ini aktif latihan balapan. Motor KLX 150 CC-nya yang biasa digunakan sehari-hari, dia modifikasi supaya cocok dengan sirkuit tanah. Ban yang tadinya standar, dia ganti dengan ban trail supaya tidak licin dan selip. Sedangkan sisanya, masih standar semua.
“Yang paling ganggu sekarang shock breaker-nya sih, itu kan masih standar. Jadi buat lompat tinggi-tinggi enggak berani. Mau ganti tapi mahal, 5 sampai 6 juta-an,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pelampiasan Emosi yang Tidak Bisa Ditumpahkan di Jalan Raya
Sedikitnya Rizki latihan di sirkuit kampung itu sekali dalam sepekan. Dua tahun lebih menggeluti hobi balap motor trail ini memberikan cukup banyak perubahan pada cara dia berkendara, terutama saat di jalan raya.
Sebelumnya, dia memang suka memacu sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Setiap berada di atas motor, adrenalinnya selalu terpacu untuk menyalip semua kendaraan di depannya. Tapi setelah aktif menggeluti hobi balapan dia justru tidak suka lagi kebut-kebutan di jalan raya.
“Sekarang malah takut kebut-kebutan di jalan. Karena di jalan kan kalau kenapa-kenapa bisa merugikan orang lain juga, kalau di sirkuit kan jatuh yang sakit ya sendiri,” ujar Rizki.
Kemampuan berkendaranya di jalan raya juga makin lincah. Karena terbiasa dengan refleks sepersekian detik ketika sedang balapan, dia jadi lebih sigap dengan segala sesuatu yang tidak pernah terduga di jalan raya seperti pengendara lain yang mengerem mendadak dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
“Emosinya itu disalurkan di sirkuit, jadi di jalan sudah enggak ada nafsu buat kebut-kebutan lagi,” ujarnya.
Meski baru sebulan aktif di lintasan balap, tapi Rio tampak sudah lincah memacu sepeda motornya. Sebelumnya dia memang sudah suka kebut-kebutan, apalagi sepeda motornya cukup mendukung menjadikannya penguasa jalanan.
“Terus diajak teman ikutan latihan, jadi malah lebih puas dilampiasin di sini (sirkuit),” ujar Rio.
Di sirkuit, Rio bisa lebih bebas memacu sepeda motornya. Kalaupun jatuh, dia tak perlu khawatir tertabrak mobil atau truk di belakangnya, atau dari arah berlawanan. Karena merasa lebih aman, dia jadi lebih leluasa dan puas menggeber motornya.
“Beda lah rasanya kebut-kebutan di jalan raya sama di sirkuit. Di jalan raya kita ngebut dimarahin orang, di sirkuit semakin kencang larinya semakin banyak tepuk tangannya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Terbang dan Dunia Seperti Berhenti
Dua situasi yang paling sulit untuk dilakukan kata Rizki adalah saat menikung dan terbang atau jumping. Bagaimana bisa melewati tikungan namun tetap dengan kecepatan tinggi tanpa tergelincir sampai sekarang masih menjadi PR baginya.
Setiap akan melewati tikungan dia juga selalu berpikir berulang kali, seberapa cepat dia akan menerjangnya. Semakin cepat dia memacu motornya, artinya akan semakin tinggi juga lompatannya. Dan semakin tinggi lompatan, artinya benturan sepeda motor dengan tanah juga akan semakin keras.
Jika ketika motor mendarat dan cengkramannya di setang tidak kuat, dipastikan dia akan terjerembab ke sirkuit berdebu itu. Begitu juga jika posisi badannya salah ketika mendarat, hal sama juga akan terjadi. Di satu sisi, dia ingin memacu motornya sekencang mungkin, tapi di saat bersamaan adegan-adegan ketika dia jatuh seketika lewat di pikirannya.
ADVERTISEMENT
Saat di udara, Rizki merasakan sensasi yang sangat menyenangkan dan selalu membuat candu. Dia merasa dunia seolah berhenti, semua suara seolah lenyap seketika karena dia hanya fokus bagaimana mendaratkan motornya dengan selamat.
“Kalau cuma lihat kan enggak ada sedetik ya, tapi yang ngerasain di motor itu dunia kayak berhenti. Itu yang paling nagih sih,” ujar Rizki.
Bagi Rio, momen paling menegangkan sekaligus menjadi candu adalah ketika sedang terbang di udara. Ada rasa senang, tegang, sekaligus takut yang bercampur jadi satu. Intinya, susah dijelaskan. Dan setiap selesai melakukan lompatan, selalu ada keinginan untuk mengulangi dan mengulangi lagi.
“Sampai sekarang aku masih sering merem kalau pas terbang, udah pasrah aja,” ujar Rio.
ADVERTISEMENT
Pertaruhan Mental
Rizki mengakui sampai sekarang dia masih takut terjatuh dari sepeda motornya, meski dia sebenarnya sudah cukup sering tergelincir. Orang-orang boleh bicara bahwa untuk jadi pembalap hebat seseorang harus jatuh berkali-kali. Sayangnya jatuh selalu menyisakan sakit, dan Rizki merasakan itu.
“Walaupun sudah pakai pelindung, ada deker, ada body protector, tapi tetap sakit lah. Enggak semudah yang kelihatan,” ujar siswa kelas dua SMA itu.
Tapi dia mengakui, pelan tapi pasti mentalnya terus terasah. Kepercayaan dirinya melewati setiap tikungan dan tanjakan setiap hari semakin meningkat. Beberapa kali terjatuh memang cukup berkontribusi melatih mentalnya. Tapi yang utama bukan soal jatuh berapa kali.
“Tapi seberapa sering sama seriusnya latihan mas,” ujar Rizki.
Bagi Rio, mental juga menjadi syarat utama yang harus dimiliki seorang rider. Sampai sekarang, mental juga menjadi masalah utama yang dia hadapi ketika berada di lintasan balap. Bagaimanapun, dia masih takut jatuh dan tergelincir, apalagi sampai cedera. Itulah yang membuatnya sering ragu untuk menarik gas dan menghajar setiap tanjakan juga tikungan di depannya.
ADVERTISEMENT
“Skill nomor dualah, yang paling penting malah mental. Skill bagus tapi mental payah juga sama saja, ya bagusnya emang imbang sih, mental bagus skill juga bagus,” kata Rio sembari meregangkan otot-ototnya, bersiap untuk terbang lagi. (Widi Erha Pradana / YK-1)