Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Di Masjid Gedhe Kauman Mereka Hanya Ingin Ngaji, Bodo Amat ama Politik
email: [email protected]
12 Oktober 2019 15:23 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selepas maghrib Jum’at (11/10) kemarin, dari kawasan Condongcatur, saya memacu motor matic saya menuju Masjid Gedhe Kauman di Kawasan Alun-alun Utara, Yogyakarta. Tujuan saya, ikut kajian yang digelar oleh Muslim United.
ADVERTISEMENT
Sepanjang jalan, ada satu hal yang saya khawatirkan. Sembari terus menembus padatnya jalanan Jogja di jam-jam sibuk itu, saya membayangkan akan menjadi “makhluk aneh” sesampainya di sana. Saya akan menjadi sorotan karena “kostum” yang tidak sesuai dengan acara kajian agama. Saya hanya memakai celana panjang lapangan ala anak gunung, kemeja lengan panjang, tanpa simbol-simbol agama sama sekali.
Bukan tanpa alasan, 2016 silam, saya sempat menjadi “makhluk aneh” ketika menghadiri acara Muktamar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Gedung Wanitatama. Saya datang dengan undangan, sebagai jurnalis dari pers kampus dan Presiden Jokowi belum mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2017 yang berujung pembubaran HTI karena dinilai tidak sesuai dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Kala itu, saya memakai celana jin dan kemeja lengan panjang biasa, sementara hampir semua peserta berbusana gamis dan celana di atas mata kaki : kontras dengan apa yang saya kenakan.
ADVERTISEMENT
Tapi itu kan HTI, sedangkan acara yang akan saya datangi ini digelar oleh Forum Ukhuwah Islamiyah. HTI dan FUI dan tajuk gelaran "Muslim United," tentu saja berbeda. HTI sudah mati, Muslim United bukanlah HTI. Sugesti itu yang selalu saya tekankan sepanjang perjalanan.
Memasuki Alun-alun Utara suara ceramah sudah terdengar melalui pengeras suara yang terpasang di beberapa titik. Jalanan di sekitar alun-alun sudah dipadati ratusan sepeda motor yang terparkir. Dari luar, apa yang saya khawatirkan belum terjadi, tidak ada satu jenis busana yang mendominasi. Di luar, dekat jalan raya sudah terpasang layar proyektor berukuran cukup besar. Di layar, ustaz Derri Sulaiman tampak sedang berceramah. Beberapa kali suara takbir terdengar sampai ke luar area masjid. Setelah berhasil memarkirkan sepeda motor, saya bergegas masuk halaman Masjid Gedhe Kauman melalui pintu utama.
ADVERTISEMENT
Setelah berhasil masuk ke pelataran masjid, tampak ratusan jamaah sudah duduk rapi mendengarkan ceramah ustaz Derri Sulaiman. Saya langsung merasa lega setelah melihat busana yang dikenakan oleh para jamaah, ternyata pakaian yang mereka kenakan juga “biasa saja”, terutama para jamaah laki-laki atau dalam forum itu disebut ikhwan. Suasana yang serius sesekali pecah dengan tawa jamaah ketika sang da’i memasukkan unsur humor di dalam ceramahnya.
“Salat pakai peci itu boleh, tidak pakai peci juga boleh. Yang nggak boleh itu salat pakai helm,” kata ustaz Derri diikuti gelak tawa jamaah.
Pengajian-pengajian yang biasa digelar di kampung saya, di Banyumas, kebanyakan jamaahnya orang-orang tua. Di sini, jamaah muda-mudi justru terlihat lebih mendominasi. Busana mereka juga tidak terlihat konservatif, bahkan bisa dibilang kekinian. Beberapa ada yang berbusana menyerupai Hanan Attaki yang menjadi pemateri juga selepas ashar tadi.
ADVERTISEMENT
Masalah teknis terjadi menjelang azan Isya, ketika para jamaah sedang kusyuk mendengarkan ceramah. Layar proyektor dan pengeras suara tiba-tiba mati. Saya mencoba bertanya kepada seorang jamaah di samping saya, apa yang sebenarnya terjadi. Namun, dia juga tidak tahu pasti.
“Paling kesalahan teknis, biasa.”
Berselang sekitar 15 menit, azan Isya berkumandang dan langsung diikuti dengan iqomat. Salat Isya berjamaah didirikan. Namun tidak semua peserta ikut berjamaah, karena tempat yang terbatas dan sulitnya akses menuju tempat wudhu, banyak juga yang memilih menunda salat Isya dan saya termasuk golongan yang menunda ini.
Ketika para jamaah sedang mendirikan salat, saya mundur ke dekat pintu masuk menuju halaman masjid. Di sana, saya melihat seorang pemuda tanggung, sendirian, sedang memainkan ponsel pintarnya. Saya menyapanya hingga terjadilah obrolan cukup panjang di antara kami.
ADVERTISEMENT
Media Sosial Jadi Media Utama untuk Berdakwah
Setelah berkenalan, saya tahu nama pemuda itu, Saprudin (20 tahun), pemuda asal Lombok yang tengah duduk di bangku kuliah. Dia adalah mahasiswa semester lima di Jurusan Radiologi, di ATRO Citra Bangsa di Jalan Magelang Yogyakarta. Forum ini adalah forum kajian kedua yang diikuti Saprudin bersama Muslim United. Pertama kali Saprudin tahu acara ini dari teman-temannya di media sosial.
“Sekarang kan canggih mas. Di Instagram, dari sosmed, dikasih tahu teman kalau ada Muslim United, tujuannya ini-ini,” kata Saprudin.
Sejak tinggal di Jogja, Saprudin kerap mengikuti berbagai kajian. Padahal, ketika masih di Lombok dia jarang mengikuti kajian semacam ini. Di kampungnya, tidak banyak forum-forum dakwah.
ADVERTISEMENT
Mengobrol dengan Saprudin membuat saya tertarik dengan perpektif dan kisah para jamaah lain. Hingga akhirnya saya sama sekali tidak menyimak isi ceramah para ustaz karena sibuk mengobrol dengan jamaah yang satu ke jamaah lainnya. Saya mencari jamaah yang tidak terlihat sedang sibuk untuk diajak ngobrol. Saya berkenalan dengan Sonny Suroyudo,18 tahun, yang ternyata satu almamater dengan saya. Sonny adalah pemuda asal Jetis, Bantul, yang baru menjadi mahasiswa semester satu di Teknik Elektro Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Dia tengah menunggu seseorang, memakai kaos polo dibalut jaket dan menggendong tas polo yang entah kenapa kerap diidentikkan dengan anak rohis.
“Baru pulang kuliah mas, langsung ke sini. Capek banget sebenernya,” kata Sonny.
Tahun lalu, Sonny juga ikut kajian bersama Muslim United di alun-alun utara Keraton Yogya. Sejak kecil, dia memang kerap ikut forum-forum kajian seperti ini. Sama dengan Saprudin, Sonny juga pertama kali tahu kajian Muslim United ini dari media sosial.
ADVERTISEMENT
Setelah mengobrol dengan Sonny, saya mencoba untuk mengobrol dengan dua jamaah putri, satu berkerudung besar warna merah muda dan satunya bercadar. Mereka sedang duduk di antara stan milik para pedagang. Sayangnya, kedua akhwat- begitu sebutan mereka- tak mau saya ajak mengobrol. Saya kembali mencoba mengajak ngobrol dua akhwat yang tampak tidak sedang sibuk. Sayangnya, lagi-lagi penolakan yang saya terima. Karena enggan merasakan sakitnya penolakan yang ketiga kalinya, saya putuskan untuk mewawancarai jamaah ikhwan saja.
Meski ceramah sudah dimulai lagi setelah salat Isya selesai, ternyata tidak semua peserta ikut mendengarkan tausyiah. Banyak juga yang tampak sibuk memilih berbagai pernak-pernik yang dijual di sejumlah stan seperti baju, celana, topi dengan lafal tauhid, surban, Al-Quran, juga bermacam makanan. Saya bertemu dengan dua pemuda di sekitar stan yang menjual pakaian-pakaian kasual.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah Sigit Kurnia Trihartadi dan Dimas Gunawan, mahasiswa Teknik Mesin Politeknik LPP semester lima. Keduanya sama-sama asli Medan dan baru pertama kali ini ikut kajian Muslim United. Tahun lalu, meski tahu ada gelaran Muslim Uniter, Sigit sedang tidak di Jogja, sehingga tidak bisa datang. Sementara Dimas, baru tahun ini tahu Muslim United. Sama dengan orang-orang yang mengobrol dengan saya sebelumnya, dua ikhwan ini juga mengetahui kajian Muslim United ini melalui media sosial, khususnya instagram. Biasanya, mereka juga kerap ikut forum kajian di Masjid Nurul ‘Asri di daerah Deresan.
“(Tahu) dari IG. Dari akun-akun kajian,” kata Dimas yang juga diamini oleh Sigit.
Ahmad Saiful Anam (23), yang datang dari Temon, Kulon Progo berkendara sepeda motor, juga mengaku sama. Dia pertama kali tahu foum kajian ini juga dari media sosial, khususnya Instagram. Yang datang lebih jauh lagi ada Rizky Artisha dan Alwi Ahmad, keduanya berusia awal dua puluhan. Keduanya datang dari Ponorogo, Jawa Timur menggunakan sepeda motor. Mereka adalah mahasiswa semester pertama di jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Universitas Darussalam, Gontor. Lagi-lagi, yang membawa mereka sampai ke Yogya adalah media sosial. Mereka pertama kali mengetahui informasi kajian Muslim United dari media sosial Instagram.
ADVERTISEMENT
Yang datang paling jauh yang sempat mengobrol dengan saya adalah Abdulrahman, mahasiswa tingkat akhir di Universitas Brawijaya, Malang. Di sela waktu senggangnya mengerjakan skripsi, Abdul yang ternyata asli Jakarta ini menyempatkan diri datang ke Jogja untuk mengikuti kajian Muslim United. Dan, lagi-lagi media sosial menjadi pintu pertama yang membuatnya sampai di forum ini. Dia mengaku diberi tahu informasi tentang kajian ini dari temannya melalui media sosial Instagram.
“(Tahu) dari temen. Lewat Instagram,” katanya.
Hanan Attaki dan Adi Hidayat Paling Ditunggu
Popularitas para penceramah yang mengisi kajian Muslim United juga menjadi daya tarik tersendiri untuk para jamaahnya. Dari beberapa orang yang mengobrol dengan saya, ada dua pembicara yang paling menarik untuk mereka. Pertama adalah ustaz Hanan Attaki, dan kedua ustaz Adi Hidayat.
ADVERTISEMENT
“Kalau hari ini yang pasti Ustaz Hanan Attaki,” kata Sigit dengan tegas ketika ditanya siapa penceramah yang paling ditunggu.
Menurut Sigit, Hanan Attaki adalah sosok penceramah yang penjelasannya mudah dipahami, terutama oleh anak-anak muda zaman sekarang. Bagi Sigit, Hanan Attaki adalah sosok yang menginspirasi karena bisa mengajak anak-anak muda berhijrah dengan metode kekinian.
Senada dengan Sigit, Dimas pun demikian. Menurutnya, pemaparan Hanan Attaki dalam setiap ceramahnya logis. Terlebih mode busana yang dikenakan oleh pendiri Komunitas Pemuda Hijrah itu sangat anak muda sekali, tidak kaku seperti penceramah kebanyakan. Alih-alih memakai baju koko dan berpeci seperti penceramah pada umumnya, UHA, sapaan akrab Hanan Attaki ini kerap memakai jaket parka atau kemeja flanel dan kupluk yang kemudian menjadi ciri khasnya.
ADVERTISEMENT
Pertama kali, dua pemuda ini mengenal sosok Hanan Attaki dari grup-grup WhatsApp. Karena penasaran, mereka kemudian mendalami ceramah-ceramah Hanan Attaki melalui platform Youtube.
Saprudin juga paling menunggu ceramah dari Hanan Attaki. Gaya berceramah yang kekinian menjadi daya tarik tersendiri bagi Saprudin. Sonny pun begitu, Hanan Attaki menjadi sosok yang paling dia tunggu-tunggu dalam rangkaian kajian Muslim United ini.
Selain dinilai memiliki wawasan luas dan pemaparan yang mudah diterima, daya tarik lain Hanan Attaki adalah suara merdunya terutama ketika membaca ayat-ayat Al-Quran. Hal ini disampaikan Rizky Artisha, baginya suara merdu itulah yang pertama kali membuatnya tertarik dengan Hanan Attaki.
“Suaranya itu unik, merdu, terutama pas tilawah,” katanya.
Ustaz Adi Hidayat, mereka tunggu karena menurut mereka, sang ustaz memiliki kemampuan menghafal Al-Quran yang sangat baik. Selain itu, isi-isi ceramahnya juga dirasa logis dan mudah dipahami.
ADVERTISEMENT
“Adi Hidayat memiliki wawasan yang luas dan dapat memaparkan materi dengan logis sehingga mudah untuk diterima. Apa lagi kan belum pernah lihat langsung. Jadi pingin sekali melihat langsung,” kata Abdulrahman.
Dari semua orang yang saya ajak mengobrol, mereka pertamakali mengenal sosok Hanan Attaki maupun Adi Hidayat melalui media sosial dan grup-grup WhatsApp yang diikuti. Saya menjadi sadar, betapa besar peran teknologi sebagai media berdakwah.
Tak Semua Sepakat pada Kampanye Anti-Pacaran
Salah satu tema yang cukup sering dibawakan oleh Hanan Attaki (UHA) adalah soal anti-pacaran. UHA cukup sering membawakan materi-materi yang intinya menolak pacaran untuk berhijrah. Putuskan atau halalkan, begitu kira-kira garis besar ceramah Hanan Attaki.
Dimas Gunawan menjadi salah seorang yang mengamini prinsip itu. Menurutnya, pacaran memang tidak ada manfaatnya. Sampai sekarang, Dimas masih memegang prinsipnya untuk tidak pacaran. Padahal, dia mengaku sering didekati oleh teman-teman perempuannya. Namun karena prinsip itu, Dimas selalu menolaknya. Dia memilih untuk langsung menikah saja daripada harus pacaran yang bisa menjerumuskannya ke dalam dosa perzinahan. Bahkan, Dimas dengan tegas berencana akan menikah muda di usia 23 tahun, dua tahun lagi dari sekarang.
ADVERTISEMENT
“Ini (kuliah) lulus, dapat kerja, terus nikah,” kata Dimas dengan yakin.
Prinsip yang sama juga dipegang oleh teman Dimas, Sigit. Sampai sekarang dia juga enggan dan tak ada niat untuk pacaran. Tapi, ketika ditanya apakah berencana nikah muda juga, Sigit agak ragu menjawabnya.
“Ya sekitar usia 25 tahun lah,” kata Sigit.
Sama dengan Saiful Anam, menurutnya pacaran memang tidak ada manfaatnya. Bahkan, sampai sekarang dia mengaku belum pernah pacaran sekalipun. Dia juga memiliki target akan langsung menikah saja di usia 25 tahun, itu artinya dua tahun dari sekarang karena usianya saat ini 23 tahun.
“Buat apa juga (pacaran). Buat pamer foto berdua di Instagram?” katanya.
Namun ternyata tidak semua sepakat sepenuhnya dengan sikap anti-pacaran seperti yang disampaikan Hanan Attaki. Misalnya Rizky, menurutnya pacaran atau tidak itu tergantung pada orangnya masing-masing. Meski berpacaran memang berpotensi menimbulkan dosa, namun bisa juga membawa dampak positif tergantung pada pelakunya. Dia sendiri meski saat ini masih menjomblo mengaku tidak menutup kemungkinan akan berpacaran jika nantinya ketemu dengan yang cocok.
ADVERTISEMENT
Abdulrahman bahkan kurang menyukai ceramah Hanan Attaki soal anti-pacaran. Karena menurutnya ceramah-ceramahnya soal pacaran terlalu menghakimi. Padahal, menurutnya tidak bisa setiap orang yang berpacaran itu dinilai negatif. Saat ini, Abdul juga mengaku masih berpacaran dengan seorang perempuan.
“Kan ada masalah yang lebih penting dibahas, nggak cuman pacaran, jomblo, gitu aja,” kata abdul.
Beda Pandangan Soal Khilafah
Beberapa kajian kerap distigmakan berbahaya karena menyebarkan ajaran khilafah. Saya ingin mengetahui, apakah para jamaah yang ikut kajian Muslim United ini juga sepakat jika konsep khilafah diterapkan di Indonesia. Namun ketika saya menanyakan hal ini, beberapa dari mereka justru terlihat asing dengan istilah itu.
Dimas adalah salah satu yang cukup mengetahui konsep khilafah. Menurutnya, nilai-nilai di dalam khilafah sebenarnya bagus. Namun, menurutnya saat ini belum bisa diterapkan di Indonesia mengingat banyaknya keragaman dan kepentingan yang ada di dalamnya.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalau sekarang kita ikuti aturan negara saja. Khilafah ya buat internal saja,” kata Dimas.
Sementara Abdulrahman mengaku tidak begitu mengikuti isu-isu soal khilafah. Namun, dari yang dia ketahui, dia sepakat-sepakat saja dengan konsep khilafah sebagai dasar negara. Namun, seperti kata Dimas, Abdul juga pesimis saat ini khilafah dapat diterapkan mengingat masih besarnya penolakan terhadap hal tersebut.
Rizky juga demikian, meski nilai-nilai khilafah menurutnya bagus, namun saat ini sulit diterapkan di Indonesia. Meski begitu, menurutnya yang terpenting adalah pemimpinnya, bukan soal khilafah atau Pancasila. Menurutnya, Pancasila pun sudah sangat cukup dan tidak perlu diganti jika saja pemimpinnya dapat memerintah dengan baik dan amanah. Sementara Sigit justru menolak dengan tegas khilafah. Menurutnya hal itu hanya akan menimbulkan konflik dan jatuhnya korban. Pancasila, menurut Sigit adalah dasar dan ideologi yang paling sesuai untuk Bangsa Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
“Enggak (sepakat) lah. Sudah bagus Pancasila, kenapa harus diganti?” kata Sigit.
Hanya Ingin Mengaji, Lainnya Bodo Amat
Abdulrahman mengetahui soal polemik tentang tidak diizinkannya kegiatan kajian Muslim United itu oleh pihak keraton Yogyakarta. Abdul menyayangkan, sebab menurutnya isi kajiannya pun bermanfaat, tidak seperti yang distigmakan beberapa pihak. Kendati demikian, menurutnya, pihak keraton pun punya hak untuk tidak memberikan izin.
“Gimana ya, kan ini (masjid) juga punya keraton. Jadi sebenarnya sah-sah saja kalau mereka nggak ngasih izin. Cuman sayang aja kalau kegiatan yang bermanfaat tidak dikasih izin,” kata Abdul.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Saiful Anam. Menurutnya, orang-orang yang sering melarang berbagai kajian seharusnya ikut kajian itu dulu supaya tidak mudah memberikan justifikasi buruk.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Dimas, Sigit, Sonny, dan Saprudin mengaku tidak mengetahui polemik tersebut. Pada intinya, mereka mengaku datang hanya ingin mengaji dan mencari ilmu. Mereka juga tidak peduli dengan isu-isu politik yang beredar.
“Aku cuman pengin ngaji aja. Bodo amat lah sama itu (polemik dan isu politik),” kata Sonny. (Widi Erha Pradana)