Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dunia Hoaks di Kepala Bagus 'Bacep' Sumartono, Penulis Naskah Film 'Tilik'
email: [email protected]
19 Agustus 2020 19:19 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Film pendek berjudul Tilik, garapan sutradara muda Yogyakarta, Wahyu Agung Prasetyo trending di jagat maya. Film yang diproduksi oleh Ravacana Films yang bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan DIY itu sebenarnya film produksi 2018, tapi baru diunggah ke Youtube pada 17 Agustus kemarin.
ADVERTISEMENT
Penulis naskah film Tilik, Bagus Sumartono, mengaku tidak menyangka bahwa respons masyarakat terhadap film Tilik akan sebesar ini. Sebelumnya, film ini sudah menyabet beberapa penghargaan seperti Piala Maya Kategori Film Pendek Terpilih (2018), menjadi Official Selection di Jogja-Netpac Asian Films Festival 2018, serta Official Selection World Cinema Amsterdam 2019.
“Saya enggak nyangka mas, lah film itu menang Piala Maya 2018 saja sudah senang banget,” ujar Bacep, panggilan akrab Bagus Sumartono, ketika dihubungi, Rabu (19/8).
Selama dua tahun ini, Tilik masih diikutkan ke berbagai festival film di tingkat internasional, sehingga baru diunggah ke Youtube akhir-akhir ini. Dan ternyata, sambutan dari masyarakat sangat baik.
Awalnya, Bagus sebenarnya tidak berniat untuk membuat film fiksi. Dia berencana untuk membuat film dokumenter tentang kebiasaan masyarakat di wilayah Bantul Timur, terutama di Kecamatan Dlingo, yang sering menjenguk saudara atau kerabat yang sakit menggunakan truk atau pick up. Kebiasaan itu dikenal dengan istilah tilik, yang dalam bahasa Indonesia berarti menjenguk.
ADVERTISEMENT
Namun di tengah perjalanannya, dia kemudian bertemu dengan Wahyu Agung Prasetyo, yang memiliki rencana untuk mengikuti pitching film pendek yang akan didanai oleh Dinas Kebudayaan DIY.
“Akhirnya dari ide dokumenter saya modifikasi menjadi naskah fiksi,” lanjutnya.
Menyindir Panasnya Kontestasi Pilpres
Masa-masa ketika Tilik diproduksi, dunia perpolitikan Indonesia mulai memanas karena akan menjelang kontestasi Pilpres 2019. Hoaks, berita yang tidak jelas validitasnya, serta caci maki antarkubu menghiasi dinding media sosial setiap hari.
Dari fenomena itu, Bagus kemudian terinspirasi untuk membuat film yang bisa mengedukasi masyarakat supaya tidak gampang termakan hoaks, sekaligus menyindir kontestasi pilpres yang justru menjadi sumber pemecah belah di tengah masyarakat.
“Jadi naskah tilik tersebut memang bervisi untuk mengedukasi masyarakat untuk cermat terhadap informasi apapun, terutama yang berkaitan dengan internet,” ujar Bagus.
ADVERTISEMENT
Dalam film tersebut, dua tokoh sentral yakni Bu Tejo dan Yu Ning yang berseberangan keberpihakan politiknya adalah sama-sama korban sekaligus pelaku penyebar fitnah dan berita bohong. Semua terjebak pada informasi yang ada di internet, dan menganggap informasi itu pasti benar.
“Semua gambar yang diklaim sebagai data kemudian diyakini kebenarannya tanpa adanya crosscheck,” lanjutnya.
Sebagian besar pemeran dalam film Tilik adalah masyarakat desa Saradan, Dlingo, Bantul. Hanya satu pemeran yang merupakan aktris profesional, yakni Bu Tejo yang diperankan oleh Siti Fauziah.
”Pemeran utama memang aktris profesional, sisanya warga Saradan asli. Yang jadi sopir truk itu juga beneran sopir truk,” lanjutnya.
Setelah trendingnya film Tilik, Bagus berharap akan makin banyak sineas-sineas dengan latar belakang kearifan lokal, terutama pedesaan. Namun tetap tanpa melupakan unsur edukasi, baik dalam bentuk fiksi maupun dokumenter.
ADVERTISEMENT
“Semoga makin banyak lagi film maker yang mengangkat isu-isu pedesaan dan bangga menjadi orang desa,” ujarnya menegaskan.
Berlanjut ke Gerakan Literasi di Desa
Selepas menyelesaikan proyek film Tilik pada 2018, Bagus kemudian mulai membangun gerakan-gerakan literasi di pedesaan. Dia tidak mau, masyarakat desa selamanya menjadi korban berita bohong dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Karena di pedesaan itu sangat rentan hoaks, dan iya saya itu benar-benar benci sama hoaks. Itu bodoh, keterlaluan, memakan korban jadi memang saya nyatakan perang sama hoaks,” ujar Bagus.
Sampai sekarang, sudah ada tiga desa di Bantul yang dia bina dalam gerakan literasi ini. Tiga desa itu di antaranya Dusun Saradan, Desa Terong, Dlingo, yang merupakan lokasi pembuatan film Tilik, kemudian Desa Selopamioro, di Imogiri, serta Desa Wijirejo di Kecamatan Pandak.
ADVERTISEMENT
Gerakan literasi ini mengarah pada bagaimana cara mengakses informasi melalui internet. Masyarakat juga diberikan pelatihan bagaimana memanfaatkan internet secara bijak dan produktif.
“Internet bukan ajang bergosip, tapi memanfaatkan internet untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan,” lanjutnya.
Gerakan ini juga memberikan pembelajaran matematika dan bahasa Inggris kepada anak-anak SD sampai SMP di desa tersebut. Untuk mempublikasikan potensi yang dimiliki, masing-masing desa juga dibuatkan website. Supaya potensi tiap desa bisa diketahui lebih banyak orang, Bagus dan masyarakat setempat juga bekerja sama membuat film pendek tentang kearifan lokal tiap desa.
“Saya juga bekerja sama dengan penggerak desa untuk membuat film pendek bernuansa lokal desa masing-masing,” ujar Bagus. (Widi Erha Pradana / YK-1)