Konten dari Pengguna

Elang Jawa, Gambaran Ideal Keluarga dari Penguasa Langit Nusantara

26 Juli 2020 19:01 WIB
clock
Diperbarui 16 Mei 2021 8:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Elang Jawa. Foto: Wikipedia
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Elang Jawa. Foto: Wikipedia
ADVERTISEMENT
Selama empat belas bulan sepasang kekasih Rama dan Dygta harus berpisah karena harus menjalani masa rehabilitasi di kandang masing-masing untuk mengembalikan sifat-sifat alaminya. Keduanya adalah sepasang elang Jawa yang pada Oktober 2018 resmi menjadi penghuni Pusat Suaka Elang Jawa (PSSEJ) Loji, Bogor, di kawasan Taman Nasional Halimun Salak (TNGHS).
ADVERTISEMENT
Setelah melewati masa penantian setahun lebih, keduanya akhirnya disatukan kembali, tepatnya pada 3 Februari 2020 di dalam satu kandang berukuran 20 m x 10 m x 15 m. Kepala TNGHS, Ahmad Munawir mengatakan bahwa keduanya sengaja disatukan lagi dengan harapan dalam waktu dekat dapat dilepasliarkan ke habitatnya bersama-sama.
“Sebenarnya kita gabungkan itu tinggal menunggu waktu untuk pelepasliaran. Ternyata di bulan Mei kita ketemu telur,” kata Ahmad Munawir saat dihubungi, pekan kemarin.
Sebelumnya melalui kamera CCTV yang telah dipasang untuk pemantauan memang sempat terlihat ada aktivitas kawin antara Rama dan Dygta di kandang baru itu. Namun petugas tidak menyangka kalau keduanya kemudian menghasilkan sebuah telur dari proses perkawinan tersebut.
Menariknya, telur yang ditemukan terletak di tanah, alih-alih di sarang di atas pohon tinggi seperti sarang elang jawa pada umumnya.
ADVERTISEMENT
“Tapi kita biarkan saja secara alami, kita biarkan tak diganggu. Saya bilang kita teruskan saja, kita pantau dan kita belikan CCTV yang resolusinya lebih tinggi lagi supaya lebih jelas,” lanjutnya.
Sejak ditemukan telur itu pemantauan dilakukan lebih intensif selama 24 jam dengan kamera pemantau yang lebih mumpuni. Hingga akhirnya setelah melalui proses pengeraman selama 42 hari, pada 7 Juli 2020 sang pewaris tahta langit TNGHS menetas. Parama adalah nama yang diberikan oleh Menteri KLHK, Siti Nurbaya Bakar kepada buah hati Rama dan Dygta itu.
“Kami benar-benar menyambut kelahiran Parama dengan rasa syukur dan bahagia yang tidak terhingga,” kata Ahmad Munawir.
Penetasan Telur Elang Jawa Secara Alami Pertama
Rama' dan 'Dygta' saat menajga telurnya beberapa waktu yang lalu. Foto: Balai TN Gunung Halimun Salak
Sejak proses perkawinan Rama dan Dygta, kemudian pengeraman, proses penetasan, hingga cara mereka merawat anaknya berhasil dipantau dan didokumentasikan oleh PSSEJ Loji. Di alam bebas, hal ini tentu sangat sulit untuk dilakukan. Lahirnya Parama menjadi momentum yang sangat istimewa, sebab itu adalah kali pertama telur elang jawa bisa ditetaskan secara alami ex situ (dalam kandang konservasi).
ADVERTISEMENT
“Dulu pernah kami dengar ada penetasan di Taman Safari, tapi itukan dibantu dengan inkubator,” kata Ahmad Munawir.
Sementara lahirnya Parama terjadi tanpa alat bantu, benar-benar karena dierami oleh induknya secara alami. Munawir menyebut cara konservasi atau perkembangbiakan ini dengan metode semi. liar. Sebab, lokasi konservasi masih berada di dalam kawasan TNGHS dan keduanya masih dibatasi dengan kandang berupa jaring.
Namun kandang tersebut didesain menyerupai hutan atau habitat elang jawa dengan pohon dan sebagainya. Pakannya pun diberi pakan hidup berupa marmut atau tikus putih, sehingga Rama dan Dygta tetap harus berburu untuk mencari makan seperti ketika mereka di habitat aslinya.
“Sepemahaman kami penetasan seperti ini di Indonesia belum pernah terjadi,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Kelahiran Parama juga berarti sangat penting untuk dunia konservasi. Karena proses dari awal perkawinan sampai menetasnya telur berhasil didokumentasikan, banyak sekali pelajaran yang didapat, terutama terkait konservasi elang jawa.
“Banyak sekali pembelajaran, bagaimana perilakunya saat dia kawin, mengerami telurnya, proses penetasan, sampai perilaku dia merawat anaknya, itu adalah pembelajaran yang sangat penting khususnya dalam upaya konservasi elang jawa ke depannya,” ujar Ahmad Munawir.
Apalagi proses konservasi elang jawa bisa dikatakan cukup sulit, terutama konservasi yang dilakukan di habitat alaminya. Sebab, proses perkembangbiakan elang jawa hanya terjadi sekali dalam dua tahun, dan telurnya hanya satu. Belum lagi adanya ancaman kerusakan habitat dan perburuan liar, konservasi elang jawa bukan lagi sulit, namun sangat mungkin dia akan punah untuk selama-lamanya.
ADVERTISEMENT
Peneliti dan pengamat burung dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Ign Pramana Yuda, mengatakan bahwa kelahiran Parama bukan hanya menjadi kabar baik bagi dunia konservasi elang jawa, melainkan kabar baik juga bagi ekosistem secara luas. Kelahiran Parama juga mengindikasikan bahwa habitat yang ditempatinya masih sangat baik.
Sebagai predator pemuncak di Jawa dan Nusantara, elang jawa juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di alam. “Kehadiran top predator akan mengontrol populasi mangsa, kalau predator berkurang atau hilang, maka mangsa bisa berlimpah dan akan mengganggu keseimbangan ekosistemnya, berpotensi menjadi hama,” kata Pramana Yuda.
Harmonisnya Keluarga Rama dan Dygta
'Rama' dan 'Dygta' secara bersama-sama bergantian menjaga merawat 'Parama'. Foto: Balai TN Gunung Halimun Salak
Selama nyaris dua bulan dipantau secara intensif selama 24 jam nonstop, beberapa hal mengejutkan berhasil terpantau oleh petugas PSSEJ Joli. Yang paling mengejutkan menurut Ahmad Munawir adalah bagaimana ada kerja sama yang luar biasa antara Rama dan Dygta saat menjaga atau mengerami telurnya.
ADVERTISEMENT
“Saat yang betina meninggalkan telur, maka si jantan yang menggantikan. Tidak akan dibiarkan sendiri telurnya, karena predator di alam kan banyak. Ini yang surprising bagi kita,” ujarnya.
Elang jawa menurutnya memang termasuk satwa yang setia pada pasangannya. Tidak seperti satwa-satwa lain, misalnya primata yang biasanya satu pejantan akan mengawini beberapa betina, elang jawa merupakan satwa monogami.
Soal kerja sama antara pejantan dan betina dalam menjaga telur merupakan hal yang sangat penting, terutama ketika mereka benar-benar berada di alam liar. Sebab bisa saja telur mereka dimangsa oleh hewan lain seperti monyet, burung lain, ular, atau satwa lain.
“Jadi mereka harus saling gantian menjaga agar telur itu tidak ada yang mengganggu, nah ini kan luar biasa sebenarnya,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan pada proses penetasan hingga merawat anaknya, Rama dan Dygta masih sangat kompak. Ketika Parama menetas untuk melihat dunia pertama kalinya, Rama dan Dygta terus mengawasi di sekitarnya, memastikan buah hati mereka bisa lahir dengan selamat.
“Saat sudah lahir mereka juga terus bergantian mengawasi anaknya, memang tidak selalu di dekatnya, tapi dari batang-batang pohon mereka terus mengawasi si kecil ini,” ujarnya.
Saat ini, kondisi Parama, si penerus tahta penguasa langit TNGHS itu sangat baik. Pemantauan juga terus dilakukan oleh PSSEJ Loji. Rama dan Dygta masih sangat kompak menjaga buah hati mereka.
“Semoga Parama bisa tumbuh menjadi elang jawa dewasa yang sehat sehingga bisa menjalankan peran penting dia sebagai penjaga keseimbangan ekosistem,” ujar Ahmad Munawir. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT