Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jumlah Kematian COVID-19 Makin Mencekam tapi Kenapa Kita Makin Bodo Amat?
email: [email protected]
23 September 2020 12:37 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Secara global, pandemi COVID-19 sudah dimulai sejak sembilan bulan silam. Dan saat ini, jumlah kematian yang ada sama sekali tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Tapi sebaliknya, tak hanya penduduk Indonesia tapi warga negara di seluruh dunia cenderung makin apatis dan bodo amat. Bagaimana mungkin manusia bisa mengabaikan bahaya besar yang telah membunuh hampir 1 juta manusia ini?
ADVERTISEMENT
Pekan ini, jumlah kematian di Indonesia sudah hampir mencapai 10.000 jiwa, dengan penambahan kasus pasien COVID-19 meninggal pada 22 September sebanyak 160 orang. Di AS, total kematian pekan ini sudah lebih dari 200.000 orang, sementara secara global, angka kematian karena COVID-19 sudah mendekati 1 juta jiwa.
Angka-angka tersebut sangat mungkin belum mewakili semua kasus kematian karena COVID-19 yang terjadi. Seperti kaya pejabat kesehatan di AS bahwa persentase kematian akibat virus corona tidak diklasifikasikan secara resmi. Kendati demikian, 200 ribu orang meninggal adalah tonggak sejarah yang memilukan. Angka-angka ini menunjukkan bahwa tingkat eskalasi pandemi sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan.
Namun dengan angka yang tercatat di AS saja, artinya ada satu kematian setiap 1,5 menit sejak kematian resmi pertama diumumkan di AS akhir Februari silam. Ini sama juga dengan memusnahkan satu kota kecil seperti Salt Lake City dan Utah, atau seperempat dari Washington.
ADVERTISEMENT
Seorang spesialis emosi di Los Angeles, yang juga telah menulis buku ‘Finding Meaning: The Sixth Stage of Grief’, David Kessler, menganalogikan jumlah itu dengan penumpang pesawat. Seperti dilansir National Geographic, menurut Kessler, jumlah itu sama saja dengan hilangnya 1.450 penerbangan pesawat yang penuh dengan penumpang.
“Jika Anda memikirkannya seperti itu, dengan asumsi ada 180 kursi di 737 klasik, itu berarti delapan pesawat telah jatuh di tanah AS setiap hari. Bisakah kamu membayangkan itu?” kata David Kessler dilaporkan National Geographic, Selasa (22/9).
Lantas, bagaimana angka-angka itu akan mempengaruhi jiwa kolektif dan individu setiap orang? Apakah 200.000 kematian di AS, dan nyaris satu juta secara global, merupakan ambang penting yang menendang usus kita untuk menciptakan tingkat urgensi dan kekhawatiran baru?
ADVERTISEMENT
Atau justru sebaliknya, angka itu justru akan membuat orang-orang menjadi mati rasa dan pasrah?
Para peneliti mengatakan bahwa otak kita tidak terikat untuk memahami angka-angka besar. Manusia juga mencoba mencerna jumlah kematian akibat virus corona di tengah lautan kekhawatiran lain; ketidakpastian ekonomi, kerusuhan sipil, kebakaran hutan dan badai, perselisihan geopolitik, ketegangan pemilu, dan perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya terkait cara bekerja, berbelanja, bersosialisasi, serta mendidik anak-anak.
“Seluruh negeri mengalami depresi. Jika Anda sudah stress, 200.000 statistik menjadi hal lain,” kata Elke Weber, seorang psikolog kognitif dari Universitas Princeton dikutip dari National Geographic.
Matinya Empati dan Peduli
Lebih banyak tragedi dan korban berjatuhan tidak selalu mendatangkan lebih banyak empati. Sebaliknya, situasi itu justru bisa menyebabkan rasa apatis. Banyaknya jumlah korban meninggal justru dapat menyebabkan orang menjadi kurang berbelas kasih, begitu kata Paul Slovic, seorang psikolog di Universitas Oregon. Dia menyebut fenomena ini dengan istilah ‘psikis matirasa’.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah studi pada 2014, Slovic menemukan bahwa perhatian orang terhadap mereka yang mengalami kesusahan tidak meningkat seiring dengan jumlah kasus yang semakin besar.
“Perasaan seseorang sangat kuat untuk satu orang dalam bahaya, tetapi tidak meningkat dengan baik. Jika ada dua orang, Anda tidak merasa dua kali lebih buruk. Perhatian Anda terbagi, dan Anda tidak memiliki hubungan emosional yang kuat,” kata Paul Slovic.
Slovic menyebutkan bahwa otak manusia berevolusi dengan cara mekanisme koping. Jutaan tahun lalu, manusia bahkan tidak menyadari wabah, konflik, atau bencana yang dialami orang di tempat yang jauh. Manusia hanya fokus untuk melindungi diri sendiri, keluarga, serta komunitas kecilnya.
Selain itu, durasi pandemi yang panjang ditambah dengan tidak adanya akhir yang jelas, semakin menumpulkan rasa terkejut orang.
ADVERTISEMENT
Sederhananya, otak sudah terbiasa mendengar tentang kematian akibat COVID-19, hingga angka yang lebih tinggi tidak lagi tercatat secara emosional. Tidak lebih dari sekadar statistik.
Elke Weber mengatakan bahwa manusia sangat adaptif. Misalnya jika seseorang tinggal di zona perang, maka kematian demi kematian yang mengerikan lama-lama akan menjadi hal yang biasa. Hal ini karena neuron pada otak manusia akan bekerja ketika ada perubahan, tetapi kemudian berhenti setelah beberapa saat.
“Jika Anda berpikir tentang orang yang tinggal di zona perang, hal yang dulunya mengerikan menjadi normal. Jika Anda berada di ruangan dengan bau busuk, Anda akhirnya akan berhenti menyadarinya,” ujar Elke Weber.
Perasaan di tengah krisis ini telah menghalangi kita untuk berduka dan menciptakan semacam tugu peringatan yang membantu kita berhubungan dengan para korban.
ADVERTISEMENT
Yu-Ru Lin, seorang profesor di School of Computing and Information di Universitas Pittsburgh, dalam penelitiannya mendokumentasikan reaksi emosional masyarakat di media sosial terhadap peristiwa atau bencana alam yang berjangka pendek dan mengejutkan. Misalnya serangan teroris di Paris 2015 silam.
Meme yang kerap beredar di media sosial pascatragedi tertentu juga bisa memicu respons emosional yang menggema, seperti bagaimana citra mengerikan seorang balita pengungsi Suriah yang terdampar di pantai Turki pada 2015. Hal itu kemudian membuahkan rekor sumbangan untuk membantu korban perang saudara Suriah.
Dapat mendatangi tempat terjadinya tragedi, bahkan mungkin membawa bunga, juga bisa menjadi kunci untuk memproses kesedihan.
“Ketika saya mempelajari pemboman Marathon Boston (2013), orang-orang mengadakan pertemuan dan upacara setelah acara tersebut dan bahkan akan mengadakan acara peringatan kerugian ini,” kata Lin.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, virus corona ada di mana-mana. Dan orang tidak memiliki cara untuk memproses kesedihan amorf jangka panjang mereka. Tidak ada satupun foto ikonik yang menunjukkan gawatnya pandemi yang muncul dan memicu kemarahan massal.
Ada juga fakta bahwa meski jumlah korban yang meninggal semakin bertambah, namun kebanyakan orang belum pernah mengalami kehilangan orang yang dicintai. Dan itu membuat jumlah yang besar dan parah terasa jauh.
“Komunitas yang terkena dampak ini tidak terlihat oleh banyak orang, kecuali Anda mengenal seseorang di jejaring sosial Anda,” ujar Lin.
Tak Ada Alasan untuk Apatis
Jadi, bagaimana kita mesti memahami berita berat tentang terus bertambahnya orang yang meninggal karena COVID-19?
Mardi Horowitz, seorang psikiater di Universitas California yang fokus pada kesedihan dan trauma mengatakan bahwa penting untuk mengakui perasaan marah, sedih, putus asa, dan kemudian melewatinya.
ADVERTISEMENT
“Kami harus berjuang untuk jalan tengah di situasi ekstrem ini. Itu membuat orang merasa lebih baik dan memulihkan tujuan kolektif kami,” ujar Horowitz.
Cara terbaik untuk menghindari kelelahan karena belas kasihan adalah dengan memikirkan individu dengan wajah, nama, dan keluarga. Angka demi angka yang terus bertambah setiap hari, jangan hanya dilihat sebatas statistik semata. Tapi sebagai manusia dengan air mata yang mengering.
Itu kenapa orang akan lebih cenderung menyumbang kepada anak-anak yang membutuhkan ketika mereka melihat foto dan mengetahui lebih banyak tentang keadaan mereka.
Prinsip yang sama berlaku untuk para korban virus corona. David Kessler mengatakan bahwa orang-orang yang meninggal karena COVID-19 menjadi lebih bermakna ketika kita memiliki kesempatan untuk mengenal dan menghormati orang-orang yang telah tiada.
ADVERTISEMENT
“Orang-orang membentur tembok karena kita berbicara tentang kematian ini dengan cara lain kecuali kehilangan. Ini perangkat politik atau krisis medis atau debat topeng. Kita tidak sedang membicarakan ibu Juan atau saudara laki-laki Susan,” kata David Kessler.
Kessler mengatakan bahwa mekanisme penanganan yang sehat adalah dengan menggunakan koneksi pribadi tersebut untuk memotivasi perubahan positif.
“Mungkin Anda menyaksikan debat topeng dan Anda memberi tahu orang-orang, saya dengar saudara laki-laki Jane meninggal. Apakah Anda melihat bahwa 200.000 orang juga meninggal? Mungkin Anda juga bisa menutupi hidung Anda,” ujarnya.
Kapasitas kita yang terbatas dan keinginan kita untuk menghindari perasaan tidak nyaman mestinya tidak membuat kita apatis dan bersikap bodo amat. Sebaliknya, fenomena mati rasa yang dialami oleh orang-orang di tengah situasi krisis ini mestinya bisa memicu tindakan yang sangat dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
“Ketika saya mengunjungi kamp kematian di Auschwitz, saya melihat sepatu dan kacamata orang-orang yang meninggal, dan itu membuat saya mati rasa. Tapi ketika saya pergi, saya berkata sampai mati rasa, apa yang dapat saya lakukan untuk mencegah ini?” kata Kessler.
“Mati rasa seharusnya tidak membiarkan kita lolos,” lanjutnya menegaskan. (Widi Erha Pradana / YK-1)