Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kesunyian Desa di Yogyakarta Tanpa Turnamen Voli Antarkampung
email: [email protected]
16 Juli 2020 20:18 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Awal Juli, mestinya turnamen voli antarkampung setahun sekali dalam rangka 17-an sudah mulai bergulir. Tapi pandemi datang, dan merusak pesta raya tingkat kampung itu. Tidak hanya merusak, bahkan meniadakan sama sekali.
ADVERTISEMENT
Yolindrawan Yudhistira, 24 tahun, pemuda Moyudan, Sleman, adalah salah seorang yang sangat kehilangan momentum itu. Nyaris setiap tahun, dia menjadi salah satu pemain andalan di kampungnya.
“Di kampungku enggak ada (turnamen voli), blong tahun ini,” kata Yudhis, sapaan akrabnya, Senin (13/7).
Sebenarnya, hadiah turnamen tidak seberapa. Bahkan dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk latihan dan membuat seragam masih kalah besar. Paling banyak, biasanya hadiah yang disediakan untuk sang jawara sekitar Rp 1 juta, tak mungkin cukup untuk menutup biaya yang dikeluarkan oleh peserta turnamen. Biasanya, hadiah itu oleh tim pemenang hanya cukup untuk membeli perlengkapan saja seperti bola dan kaus kaki.
Tapi hadiah adalah alasan ke sekian yang membuat turnamen voli antarkampung menjadi sangat penting. Di kampung, turnamen voli adalah hiburan yang sangat meriah. Tua, muda, laki-laki, perempuan, akan berkumpul di lapangan kampung untuk memberikan dukungan terhadap tim kampungnya masing-masing. Dari sanalah ladang rezeki bagi banyak orang tercipta.
ADVERTISEMENT
“Karena banyak orang, lapangan jadi wadah mencari rezeki juga bagi para pedagang maupun penyedia lahan parkir,” lanjutnya.
Bagi para pemuda kampung, turnamen voli antarkampung juga menjadi wadah mereka untuk melatih kemampuan berorganisasi, terutama untuk memanage sebuah acara. Turnamen voli antarkapung menjadi wadah keakraban atau silaturahmi antarpanitia maupun antarpemain yang sebelumnya sangat susah bertemu karena kesibukan satu sama lain.
“Tapi karena turnamen, semua bisa berkumpul dan bertemu lagi. Sekarang enggak ada turnamen pemuda jadinya fokus sama panitia qurban,” ujar Yudhis.
Isu Mistis di Turnamen Voli Tingkat Dusun
Dwi Nur Rahman, 20 tahun, pemuda Dusun Dondong, Desa Jetis, Saptosari, Gunungkidul, Yogyakarta justru bersyukur karena tahun ini tidak ada turnamen voli di dusunnya. Pasalnya, setiap turnamen justru selalu memicu konflik warga antara satu RT dengan RT lainnya.
ADVERTISEMENT
“Bukan rebutan hadiah, tapi gengsi. Dusunku kan memang terkenal tempatnya para jagoan voli, bintang kampung lah,” ujar Dwi Nur Rahman, Selasa (14/7).
Meski tak sampai memicu baku hantam, tapi situasi itu membuat dinamika antarwarga kurang mengenakkan. Pernah ketika tim RT Dwi Nur Rahman yang sebenarnya bukan tim unggulan berhasil menjuarai turnamen 2017, mengalahkan RT unggulan di final secara mengejutkan, isu miring berkembang liar.
“Sampai RT-ku dikira pakai dukun, soalnya emang RT ku sama sekali enggak diunggulkan,” lanjutnya.
Konflik semacam itu, kata Dwi tidak pernah terjadi selain di turnamen. Ketika tidak sedang di masa turnamen, hubungan antarwarga sebenarnya akur satu sama lain. Bahkan ketika latihan bersama di lapangan dusun, tidak pernah terjadi konflik.
ADVERTISEMENT
“Kalau latihan sudah pada dewasa semua, jadi main dua set, terus gantian sama tim lain. Tapi pas ada turnamen, ribut lagi,” ujarnya.
Soal kemeriahan turnamen voli tingkat dusun ketika 17-an, Dwi tidak menampik sama sekali. Bagi warga dusun, turnamen voli adalah pertandingan yang tidak boleh dilewatkan meski setiap malam sebenarnya mereka bisa menonton pertandingan voli, sebab tanpa turnamen pun, voli seolah sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Dusun Dondong. Apalagi selain turnamen voli, nyaris tak ada hiburan lain yang kemeriahannya bisa menyamai.
“Kalau ditanya penting, ya penting. Terlepas dari semua sisi buruknya, tapi itu hiburan warga dusun yang paling meriah. Enggak ada momen semua warga kumpul, ketemu, selain turnamen voli,” ujar Dwi Nur Rahman.
ADVERTISEMENT
Turnamen dan Karakter Pemuda Desa
Sebagai mantan pelatih voli di Yogyakarta, Aris Priyanto sangat menyayangkan adanya pandemi yang membuat turnamen voli antarkampung saat 17-an tidak bisa dilaksanakan. Biasanya, dia aktif melatih anak-anak dan pemuda di kampungnya di daerah Sumberagung, Sleman ketika menjelang turnamen. Belakangan, ketika masa pandemi dia diminta untuk melatih lagi anak-anak karena tim voli resminya sampai sekarang belum aktif lagi.
Aris adalah salah satu penggerak awal mula diadakannya turnamen voli antarkampung di tempatnya, meski sekarang penggeraknya sudah berganti ke generasi yang lebih muda. Selain menjaga kesehatan jasmani, melalui turnamen voli antarkampung kata Aris juga bisa ditanamkan nilai-nilai karakter ke dalam diri anak-anak muda.
“Dari kerja tim itu kan anak-anak jadi belajar tanggung jawab, kerja sama, melatih kekompakan juga,” ujar Aris.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya turnamen voli antarkampung, meski hanya setahun sekali pada perayaan kemerdekaan Indonesia, fasilitas-fasilitas kesehatan seperti lapangan yang sebelumnya tidak terawat sekarang jadi aktif lagi. Anak-anak muda jadi lebih rajin berlatih voli setiap sore demi menggondol trofi juara ke kampungnya.
“Kalau tidak ada turnamen, terus latihan untuk apa? Jadi turnamen itu fungsinya untuk memotivasi anak-anak supaya lebih rajin latihan,” lanjutnya.
Apalagi anak-anak muda usia belasan kata Aris sangat penting untuk diarahkan pada kegiatan-kegiatan positif supaya tidak terbawa pada pergaulan negatif. Voli, menurutnya adalah salah satu medium yang tepat, karena selain menjaga kesehatan jasmani juga bisa mempererat hubungan sosial antar anak yang satu dengan yang lainnya.
“Kalau tidak ada kesibukan, kan mereka sangat rawan terbawa pada pergaulan yang tidak benar. Secara kita tahu sendiri bagaimana gejolak dalam diri anak-anak muda,” ujar Aris. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT