Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pandangan Soe Tjen Marching Soal Nasi Anjing: Arti Sebuah Nama
email: [email protected]
5 Mei 2020 1:15 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apalah arti sebuah nama? Bila engkau memberi nama yang lain kepada bunga mawar, ia akan tetap harum, tulis Shakespeare. Namun, dalam praktiknya, nama seringkali menjadi polemik yang hebat dan bahkan menyebabkan konflik yang berkepanjangan.
ADVERTISEMENT
Contohnya saja, sebutan “virus China” yang cukup membuat heboh dunia. Ada yang mengatakan sebutan ini rasis, tapi ada yang tidak. Mereka yang berpendapat sebutan ini tidak rasis, beralasan bahwa karena virus ini dari China, tidak heran bila disebut virus China. Tapi kemungkinan besar karena sebutan ini, rasisme terhadap orang-orang yang berwajah “China” atau dianggap dari “China” bermunculan di berbagai negara.
Padahal, sejak 2015, WHO menyatakan bahwa sebutan penyakit seharusnya tidak menyertakan nama yang bisa mengakibatkan stigma terhadap kesejahteraan binatang dan kelompok tertentu (seperti perusahaan, budaya, negara atau etnis tertentu). Jadi, sebutan “virus China” dianggap bermasalah karena akan menyebabkan stigma terhadap etnis China. Asumsi ini terbukti saat wabah Covid-19 meledak, berbagai peristiwa diskriminatif terhadap orang-orang China, yang dianggap dari China atau kelihatan China, meletup dimana-mana. Di berbagai negara, beberapa orang China atau yang dianggap China dimaki-maki, diludahi dan bahkan dipukuli. Berbagai grafiti yang memaki orang-orang China, juga ditemukan di beberapa tempat di dunia. Korban dari perilaku diskriminasi ini, tidak saja orang China, tapi juga termasuk orang-orang Jepang, Korea, Singapura, Vietnam, Muangthai, Filipina bahkan Indonesia – yang wajahnya dianggap seperti China.
ADVERTISEMENT
Salah satu kepala negara yang paling sering memakai sebutan “virus China” adalah Presiden Amerika, Donald Trump. Kesengajaan ini bisa dilihat dari transkrip pidatonya, dimana Trump mencoret kata Corona dan menggantinya dengan “China”. Tidak kebetulan bila peristiwa rasisme di Amerika Serikat juga sangat tinggi. Pada 14 Maret 2020, misalnya, seorang lelaki mencoba membunuh keluarga China di Texas, Amerika Serikat. Lelaki ini bahkan menusuk bayi keluarga China ini, yang baru berumur 2 tahun. Tapi, ada maksud politik dari Trump: dengan menekankan bahwa wabah ini berasal dari “virus China”, dia membebankan kesalahan pada pihak lain untuk menutupi ketidakmampuannya menanggulangi wabah ini. Juga, ia menuntut supaya hutangnya kepada China, dihapus.
Karena itu, sebuah nama tidak bisa disepelekan begitu saja. Kata-kata bisa membentuk konsep dan persepsi masyarakat. Kata-kata tertentu bisa digunakan untuk tujuan politik, menimbulkan kebencian dan bahkan, mendorong masyarakat untuk melakukan hal-hal yang tak terduga.
ADVERTISEMENT
Maka, sewaktu muncul kasus “nasi anjing”, mereka yang mengritik tersinggungnya penerima sumbangan nasi itu sebagai berlebihan, dihadapkan pada kasus “virus China”. Kalau ada kecaman akan sebutan “virus China”, kenapa tidak dengan “nasi anjing”? Namun, menurut saya, kedua hal ini tidak bisa dianggap sebagai kasus yang sama.
Kasus “nasi anjing” mulai ramai, setelah ada video viral yang menunjukkan seorang ibu menerima nasi bungkus dengan gambar kepala anjing dan kata-kata: “Nasi Anjing / nasi orang kecil / bersahabat dengan nasi kucing / Djakarta tahan banting”. Lalu, seorang komentator berkata: “Harap hati-hati bagi yang punya anak, yang dikasih makanan seperti ini. Jangan diterima, ini lauknya daging anjing ini.”
Setelah dikecam oleh beberapa pihak, sang pemberi menjelaskan bahwa tidak ada daging anjing di dalam nasi tersebut. Isi dari nasi adalah halal, dan terdiri dari daging cumi, sosis ayam, dan ikan teri.
ADVERTISEMENT
Namun, kasus ini tidak berhenti sampai di situ. Nama dari nasi bungkus itu juga dipermasalahkan. Memang kata “nasi anjing” ini berisiko menyinggung banyak orang, karena anjing dianggap binatang haram oleh mayoritas warga di Indonesia. Bagi saya, selintas pemilihan kata ini sangat tidak bijak. Tapi setelah sang pemberi menjelaskan maksudnya, saya menjadi mengerti kenapa nama ini digunakan. Sang pemberi berkata bahwa nasi itu diberi nama “anjing” karena lebih besar porsinya dari “nasi kucing”, sekaligus mengingatkan akan karakter baik anjing, yaitu kesetiaannya.
Jadi, bisa dibilang, pihak pemberi ingin membalik stigma buruk terhadap anjing. Di sinilah beda antara “virus China” dan “nasi anjing”. Dalam kata “virus China” ada niat mempertahankan stigma terhadap etnis tertentu. Dalam kata “nasi anjing” justru sebaliknya: ada niat mengubah stigma pada jenis binatang tertentu. Maka tidak heran, tantangan untuk ditolak, tentu juga besar. Karena stigma yang sudah terlanjur meluas seringkali tidak bisa diubah dengan mudah. Apalagi di negara yang penuh dogma, mempertahankan stigma justru seringkali lebih selamat dan mudah daripada mengkritisinya.
ADVERTISEMENT
Pihak pemberi akhirnya mengalah. Mereka meminta maaf dan mengubah nama nasi bungkus itu dengan “nasi semut”. Mereka juga tetap bersedia menyumbangkan nasi bungkus kepada masyarakat. Tapi masalahnya tetap tidak berhenti sampai di situ. Mereka dipolisikan karena nama yang dianggap menista. Anehnya, komentator yang menuduh adanya daging anjing justru tidak dipidanakan, walaupun apa yang diujarkan adalah fitnah.
Selain itu, masih ada masalah yang jauh lebih besar, daripada mengurusi nama yang sudah diubah, untuk menyumbang masyarakat Jakarta dalam wabah ini. Masih ada masalah kelaparan yang akan makin merajalela sedangkan korupsinya juga. Bahkan bansos pun sempat disunat karena keserakahan beberapa pejabat. Lalu beberapa kawan saya yang cukup mampu berkomentar, “Lebih baik tidak menyumbang, kalau nanti yang disumbang tersinggung dan kita malah jadi celaka.”
ADVERTISEMENT
Kadang, niat baik itu tidak disambut dengan baik. Niat baik juga seringkali butuh perjuangan dan biasanya perjuangan itulah yang jauh lebih berat daripada memulainya. Bagaimanapun, salah satu pihak yang paling dirugikan dalam kasus ini adalah mereka-mereka yang sangat membutuhkan, dan tidak gampang tersinggungan. Beberapa kawan Muslim saya berkomentar betapa keterlaluan reaksi mereka yang tersinggung: “Kenapa tidak ditolak saja, kalau memang tidak mau? Untuk apa bikin ribut?”. Bahkan, beberapa kawan Muslim saya yang tinggal di Medan, mengatakan ingin sekali mencicipi nasi anjing kalau mereka ke Jakarta.
Tapi justru mereka-mereka ini yang belum atau tidak akan pernah masuk TV, karena kebanyakan pejabat dan orang-orang berpengaruh di negeri ini sedang tidak punya niat besar untuk mencerdaskan rakyat dengan mengajarkan pentingnya keberagaman ataupun sekadar toleransi.
ADVERTISEMENT
(Soe Tjen Marching adalah dosen Senior di departemen Languages, Cultures and Linguistics, SOAS University of London)