Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pelajaran dari Virus Corona: Manusia Harus Berhenti Makan Hewan Liar
email: [email protected]
24 Januari 2020 6:02 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada hari Kamis (23/1) kemarin, media berita di seluruh dunia serempak melansir foto-foto dan video perdagangan daging segar satwa liar di Pasar Basah Wuhan, China. Tak hanya meyajikan ayam hidup untuk disembelih di tempat, foto-foto itu menunjukkan berbagai macam hewan yang tak umum untuk disajikan di meja makan. Anjing, tikus bambu, buaya, ular, kelelawar, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Bagi yang tinggal di Jakarta, bayangkanlah semua binatang yang dijual di Pasar Jatinegara siap disembelih di tempat untuk dibawa pulang siap dimasak sebagai sup segar.
World Economic Forum dalam artikel panjangnya yang ditulis oleh para pakar mikrobiologi, tak kuasa mengakhiri paparan mengenai transmisi virus corona dari kelelawar ke ular ke manusia itu dengan sebuah himbauan moral : manusia musti mengendalikan daftar makanannya, agar lebih memilah-milah makanan, baik dari jenis hewannya, cara memasak, maupun khasiat yang dibutuhkan.
Ya, jauh sebelum virus corona atau 2019-nCov ini merebak, China pernah digegerkan oleh SARS pada 2002-2004 yang telah memakan begitu banyak korban. Dan epidemi SARS itu disebabkan oleh kebiasaan orang China memakan musang.
ADVERTISEMENT
China Langganan Patogen Mematikan
Pada Selasa (21/1) Bloomberg yang kemudian dimuat ulang oleh thejapantimes , menurunkan artikel bagaimana pasar basah hewan di China bertanggung jawab terhadap kemunculan serangkaian patogen (agen biologis yang menyebabkan penyakit pada inangnya) mematikan.
Selain SARS yang muncul dari Pasar Basah Guongdong pada awal 2000-an, pandemi flu Asia yang muncul dari bebek liar di China pada tahun 1957, menurut WHO, menewaskan sebanyak 2 juta orang di seluruh dunia. Dua jenis flu burung dalam dekade terakhir juga diduga muncul dari pasar unggas dan angsa di China.
China telah menempuh perjalanan yang jauh sejak SARS, ketika negara itu dikritik karena awalnya berusaha menutup-nutupi masalah. Epidemi tersebut mengungkapkan betapa buruknya bangsa ini dipersiapkan untuk menanggapi ancaman penyakit menular.
ADVERTISEMENT
Tapi sejak itu, polisi dan regulator pasar telah meluncurkan tindakan keras terhadap perdagangan bawah tanah satwa liar, yang melarang perburuan dan penjualan spesies langka dan dilindungi. Pemerintah telah membuka laboratorium dan jaringan untuk mengidentifikasi patogen infeksius yang ironisnya, lab andalannya ada di Wuhan.
Tetapi, ukuran dan populasi China yang sangat besar membuat tugas pemerintah China dalam upaya memberantas ancaman dari pasar basahnya, disebut Bloomberg, seperti keong. Wabah virus corona kali ini datang ketika negara itu juga menghadapi demam babi Afrika, penyakit babi mematikan yang tidak membahayakan manusia tetapi telah menghancurkan industri daging babi di sana dan juga di seluruh dunia.
Menutup pasar juga bukan jawaban. Artikel Bloomberg diakhiri dengan pernyataan Liu Yuanfei, seorang pelanggan pasar Wuhan yang sering melihat buaya hidup, landak dan rusa hidup di pasar itu. ”Keberadaan pasar didorong permintaan. Selama ada permintaan bahkan jika itu tidak ada di pasar Wuhan, itu akan muncul di tempat lain,” kata Liu.
ADVERTISEMENT
Preferensi untuk daging segar dari hewan yang tidak dikarantina dengan baik atau dari alam liar, "memang membuat Cina rentan terhadap risiko wabah virus baru melalui kontak hewan dan manusia yang dekat. Hal yang sama berlaku untuk Ebola, yang muncul sebagai akibat memakan hewan dari hutan di Afrika," papar Wang Yuedan, seorang profesor imunologi di Universitas Peking. (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)