Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Serangan ke Batavia dan Pertalian Yogya-Banyumas di Makam Karang Banar, Banyumas
email: [email protected]
3 Agustus 2020 19:39 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Puluhan kera ekor panjang langsung turun dari pepohonan, berbondong-bondong di pintu gerbang kawasan wisata religi Makam Mbah Agung Karang Banar di Desa Kalisalak, Kebasen, Banyumas. Beberapa dari mereka mendesis, menatap siapapun yang masuk gerbang dengan wajah intimidatif. Bagi siapapun yang pertama kali berkunjung ke Makam Mbah Agung Karang Banar, suasana itu niscaya sungguh mencekam.
ADVERTISEMENT
Ciut nyali saya dan teman. Niat untuk masuk ke area makam nyaris sirna mendapat sambutan seperti itu. Setiap gerakan kami, sekecil apapun, seperti diawasi oleh mereka. Terlebih dari luar gerbang seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia di dalam kawasan makam. Sepi, senyap. Yang ada hanya suara-suara kera, burung, berbagai macam serangga, juga dedaunan yang saling bergesekan karena ditiup angin.
Sembari menenangkan dan membiasakan diri dengan sambutan kurang mengenakkan itu, kami mulai mengumpulkan niat lagi untuk masuk ke area makam. Dengan menyebut nama Tuhan, kami memasuki pintu gerbang makam dan menaiki satu per satu anak tangga yang menuju ke dalam makam. Makam itu berada seperti di sebuah bukit, mirip Makam Raja-raja di Imogiri, Bantul, Yogyakarta, meski masih kalah tinggi.
ADVERTISEMENT
Bukit itu cukup kontras dengan kawasan di sekitarnya yang merupakan area perkebunan warga. Di dalam kawasan makam, berbagai jenis pohon besar menjulang tinggi, laiknya di tengah hutan belantara.
Sementara kami terus melangkah dengan hati-hati, kera-kera ekor panjang terus mengawasi kami di kanan dan kiri jalan. Mungkin mereka menunggu kami memberikan kacang, sebab di sepanjang tangga banyak sekali kulit-kulit kacang berserakan. Sayangnya kami tak membawa kacang, juga makanan apapun yang bisa diberikan ke kera-kera itu.
Sampai di atas bukit, kami belum menemukan tanda-tanda adanya manusia, hingga jalan tangga yang tadinya naik kini mulai turun. Di ujung jalan, tampak ada sebuah pendopo, yang belakangan kami tahu itu adalah bangunan makam Mbah Agung. Di sanalah kami bertemu dengan Karman, 49 tahun yang sedang sibuk menyapu area sekitar bangunan makam dari daun-daun kering yang berjatuhan.
ADVERTISEMENT
Sudah sekitar lima tahun ini Karman diberi amanah untuk menggantikan tugas sang ayah yang sedang sakit sebagai juru kunci. Hal pertama yang saya tanyakan ke dia adalah soal kera-kera yang sedari tadi mengawasi kami dengan wajah-wajah yang intimidatif. Karman juga tidak tahu pasti bagaimana sejarahnya, yang jelas kera-kera itu sudah ada sejak lama, bahkan ketika dia masih kecil kera-kera itu sudah ada lebih dulu di makam itu.
“Kalau kumpul semua ada sekitar 150-an (ekor kera), sejak saya bisa mengingat, kera ini sudah ada, mungkin sudah ratusan tahun. Orang-orang sepuh bilang, mereka itu pengawal-pengawal yang nyata, pengawal eyang-eyang yang di sini, yang sudah dimakamkan di sini,” ujar Karman menceritakan kera-kera ekor panjang yang ada di Makam Mbah Agung Karang Banar dengan bahasa Jawa halus, Sabtu (1/8).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, pengunjung atau peziarah tidak perlu khawatir dengan keberadaan kera-kera di makam itu. Mereka tidak akan menyerang manusia selama mereka tetap bersikap sopan, dan tentunya tidak mengganggu kera-kera tersebut.
“Kalau ada yang ganggu, misal diburu, yang lain pasti ngejar,” lanjutnya.
Keyakinan itu sudah tertanam dalam budaya masyarakat sekitar. Karena itu, keberadaan kera-kera ekor panjang di Makam Karang Banar sampai sekarang masih terjaga. Ketika siang hari, mereka akan berpencar ke seluruh kawasan makam. Baru sore hari sekitar pukul empat sore, mereka akan berkumpul menjadi satu dalam satu titik lokasi yang sama.
Pepohonan yang Tidak Asing di Yogyakarta
Selain ratusan kera ekor panjang, kawasan makam dengan pohon-pohon besarnya juga menjadi habitat sejumlah satwa lain. Siang hari ketika cerah, suara gareng atau tonggeret akan terdengar mendominasi seluruh area makam. Suara serangga itu cukup kencang. Masyarakat setempat menjadikan suara gareng sebagai tanda jika hari akan cerah.
ADVERTISEMENT
Selain gareng, dan tentunya ratusan jenis serangga lain, sejumlah jenis burung juga hidup di area tersebut. “Ada burung poci, ada burung hantu yang serem itu. Kadang-kadang ada alap-alap, ada burung gagak juga, kadang-kadang datang, kadang-kadang tidak,” ujar Karman.
Sejumlah jenis tanaman juga tumbuh subur di kawasan makam, dan sebagian telah menjelma pohon-pohon raksasa. Dari ukuran dan bentuknya, pohon-pohon itu terlihat sudah berusia ratusan tahun, dan Karman membenarkan.
“Sudah lama sekali, kalau cuma ratusan tahun ada,” lanjutnya.
Beberapa pohon berukuran besar yang tumbuh dan mengayomi area makam di antaranya pule, nagasari, timoho atau dlupang, ketapang, sonokeling, rukem, serta kemojing yang menurut Karman sangat jarang ditemukan di tempat lain. Menariknya, sejumlah pohon di kawasan makam Karang Banar juga biasa ditemukan di Yogyakarta, padahal di Banyumas pohon-pohon seperti nagasari, timoho, atau pule jarang ditemukan.
ADVERTISEMENT
“Kalau di Jogja, nagasari itu kan banyak di Makam Raja-raja Imogiri. Memang mirip pohon-pohonnya sama di Jogja,” ujar Karman.
Berhubungan Erat dengan Mataram Yogyakarta
Sekitar lima tahun menggantikan tugas sang ayah sebagai juru kunci di Makam Karang Banar, Karman sudah berkelana ke berbagai tempat untuk mencari silsilah sesepuh-sesepuh yang dimakamkan di sana dengan di daerah-daerah lain. Menurutnya, silsilah atau latar belakang tokoh-tokoh yang dimakamkan di sana sampai sekarang masih jadi misteri.
Ada lima tokoh utama yang dimakamkan di Makam Karang Banar, di antaranya Mbah Agung, Mbah Juru, Eyang Menur, Eyang Selo, serta Eyang Sepuh. Untuk mencari petunjuk siapa sebenarnya kelima sesepuh itu, Karman berkelana ke berbagai daerah, terutama di Yogyakarta. Dia datang ke Makam Raja-raja Kotagede dan Imogiri.
ADVERTISEMENT
“Dari ujung barat ke ujung timur, saya hanya nyari tahu, beliau sejatinya itu siapa,” ujar Karman.
Dari perjalanannya, dia menemukan bahwa ketika Sultan Agung Hanyokrokusumo dalam perjalanannya menuju Batavia untuk menggempur VOC sempat singgah di Karang Banar. Di sana, Sultan Agung Hanyokrokusumo mendapatkan wangsit, sayangnya Karman enggan bercerita lebih jauh wangsit seperti apa yang diterima olehnya.
Karman semakin hati-hati ketika kami mulai menyinggung siapa sebenarnya Mbah Agung, Mbah Juru, Eyang Menur, Eyang Selo, juga Eyang Sepuh. Yang jelas, nama-nama itu adalah julukan, bukan nama sebenarnya.
“Ini saya tidak bisa bicara banyak, njenengan langsung datang saja ke Tegalarum, nanti kan ada Amangkurat I,” lanjutnya ketika memberikan kode siapa sebenarnya Mbah Agung.
ADVERTISEMENT
Ketika berbicara tentang Mbah Juru, Karman menyinggung Pangeran Wiraguna. Mbah Juru berdasarkan penelusurannya adalah seorang senopati Pangeran Wiraguna. Sementara ketika berbicara tentang Eyang Menur, Karman hanya memberikan gambaran bahwa dia adalah seorang senopati dari Sinuhun Hanyokrowati atau Sinuhun Seda Krapyak.
Karman makin tidak nyaman ketika pembicaraan terus menerus mengarah ke siapa sebenarnya lima sesepuh yang dimakamkan di Makam Karang Banar itu. Ketika ditanya siapa sejatinya Eyang Selo, dia memilih bungkam.
“Kalau Eyang Sepuh itu, beliau itu cucu sekaligus murid Sunan Kalijaga,” ujarnya.
Karman mengaku enggan membuka silsilah kelima tokoh yang dimakamkan di Makam Karang Banar itu secara gamblang demi menghormati para sesepuhnya yang sampai sekarang masih hidup. Sebab menurutnya, sangat kurang ajar ketika dia membuka silsilah dan identitas kelima tokoh itu jika para sesepuhnya saja belum membukanya. Dan alasan lain yang membuatnya memilih menyimpan semua informasi yang dia temukan, dia khawatir masyarakat menganggapnya kurang waras dan menganggap temuan-temuannya tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
“Intinya kalau saya simpulkan, semuanya itu dari Mataram,” ujar Karman menegaskan.
Karman langsung berusaha menutup obrolan tentang identitas kelima sesepuh yang dimakamkan di Makam Karang Banar. Kami bisa merasakan ketidaknyamanannya. Tak ingin membuatnya makin tak nyaman, kami memilih untuk pamitan dengan berbagai misteri dan tanda tanya besar yang belum terjawab. Tapi setidaknya kami pulang dengan tiga bibit nagasari kecil yang diberi Karman untuk kami tanam di kebun dekat rumah. (Widi Erha Pradana / YK-1)