Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
22 Negara Bahas Pro-Kontra Sunat Perempuan di Kampus UNISA Yogya
14 Mei 2024 10:00 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Perwakilan dari 22 negara menghadiri Konferensi Global tentang Hak-Hak Perempuan dalam Islam (GCWRI) yang digagas oleh Muhammadiyah. Konferensi tersebut digelar di Convention Hall Masjid Walidah Dahlan, Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta mulai hari ini, Selasa 14 Mei, hingga Kamis, 16 Mei 2024 mendatang.
ADVERTISEMENT
Salah satu tema utama yang akan dibahas dalam konferensi tersebut adalah tentang hak perempuan atas integritas tubuh di dalam Islam, terutama terkait sunat perempuan.
Ketua Lembaga Pengembangan dan Penelitian Pimpinan Pusat 'Aisyiyah (LPPA) yang juga Guru Besar Bidang Kajian Islam dan Gender UIN Sunan Kalijaga, Siti Syamsiyatun, mengatakan bahwa Muhammadiyah sudah memiliki sikap untuk tidak menganjurkan praktik sunat perempuan.
”Muhammadiyah sendiri dan juga di ‘Aisyiyah itu sudah dibahas secara komprehensif dari segi dalil, teologi, dari segi kesehatan, psikologis, dan sebagainya yang akhirnya Muhammadiyah berpendapat bahwa sunat perempuan itu tidak dianjurkan,” kata Siti Syamsiyatun, dalam konferensi pers di UNISA Yogyakarta, Senin (13/5).
Syamsiyatun menjelaskan bahwa sunat perempuan masih menjadi perdebatan di kalangan Muslim karena misinterpretasi hadits Nabi Muhammad SAW yang mengatakan ‘sunat untuk laki-laki dan sunat untuk perempuan’.
ADVERTISEMENT
Sementara menurut Muhammadiyah, secara teologis hadits Nabi itu tidak kuat dan juga tidak ada dalilnya di dalam Al-Quran, sehingga Muhammadiyah sudah berketetapan sunat perempuan itu tidak dianjurkan.
Selain aspek teologis, tidak dianjurkannya sunat perempuan juga berdasarkan kajian Muhammadiyah terkait dengan aspek kesehatan. Sebab sunat perempuan dapat membahayakan kesehatan reproduksi dan psikologis perempuan.
”Dari aspek kesehatan, aspek psikologis, dari segi teologis itu enggak masuk,” ujarnya.
Meskipun Muhammadiyah dan 'Aisyiyah aktif dalam menentang sunat perempuan, praktik ini masih terjadi di beberapa daerah di Indonesia, terutama di pedesaan. Faktor budaya dan tradisi menurutnya masih menjadi penghambat dalam pemberantasan sunat perempuan.
Syamsiyatun mencontohkan, pada zaman dulu, sunat perempuan di Jawa dikenal dengan istilah "tetesan" dan dilakukan pada bayi atau anak-anak. Namun, dengan advokasi Muhammadiyah dan 'Aisyiyah, praktik ini mulai berkurang di daerah-daerah yang menjadi basis Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT
“Dibutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan pemuka agama untuk menghapus sunat perempuan dari Indonesia dan melindungi hak-hak perempuan,” kata Syamsiatun.
Konferensi ini akan dihadiri oleh para ulama, intelektual Muslim, dan aktivis hak-hak perempuan dari 22 negara di antaranya Indonesia, Mesir, Amerika Serikat, Inggris, Bosnia Herzegovina, Belanda, Palestina, Kenya, Lesotho, Burundi, Zimbabwe, Uganda, Zambia, Kongo, Tunisia, Ethiopia, Togo, Nigeria, Ghana, Senegal, Sudan Selatan, dan Lebanon.
Total peserta diperkirakan mencapai lebih dari 200 orang.
Selain membahas tentang sunat perempuan, ada lima topik lain yang akan jadi bahasan utama dalam konferensi ini. Lima topik tersebut di antaranya adalah kesetaraan gender dalam Islam; partisipasi perempuan dalam kehidupan pribadi, publik, dan politik dalam Islam; kekerasan seksual berbasis gender dan kekerasan dalam rumah tangga; hak memiliki harta bagi perempuan di dalam Islam; serta hak asuh anak di dalam hukum Islam.
ADVERTISEMENT