Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Alasan Rektor UII Tolak Dipanggil ‘Prof’: Agar Tak Tambah Jarak Sosial di Kampus
19 Juli 2024 13:12 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, menegaskan tak mau dipanggil dengan gelar ‘prof’ meskipun ia memiliki gelar guru besar.
ADVERTISEMENT
Hal ini disampaikan oleh Fathul melalui akun Instagram pribadinya, @fathulwahid_, pada Kamis (18/7) kemarin.
“Dengan segala hormat, sebagai upaya desakralisasi jabatan profesor, kepada seluruh sahabat, mulai hari ini mohon jangan panggil saya sebutan ‘prof’,” kata Fathul Wahid.
“Panggil saja: Fathul, Dik Fathul, Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul. Insyaallah akan lebih menentramkan dan membahagiakan,” lanjutnya.
Tak hanya secara informal, ia bahkan telah mengeluarkan surat edaran resmi untuk jajaran pejabat struktural di lingkungan UII Yogya. Surat edaran itu memuat bahwa seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, atau yang setara tidak akan memuat gelar rektor di dalamnya.
“Penanda tangan Rektor yang selama ini tertulis gelar lengkap ‘Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.’ agar dituliskan tanpa gelar menjadi ‘Fathul Wahid’,” tulis surat edaran tersebut.
ADVERTISEMENT
Saat dikonfirmasi Pandangan Jogja, Fathul membenarkan bahwa surat tersebut valid dan memang dikeluarkan oleh UII.
Ada beberapa hal yang menurutnya jadi alasan dikeluarkannya kebijakan itu, pertama untuk menjaga semangat kolegialitas.
“Jangan sampai jabatan profesor justru menambah jarak sosial. Kampus seharusnya menjadi salah satu tempat yang paling demokratis di muka bumi,” kata Fathul saat dihubungi Pandangan Jogja, Jumat (19/7).
Jabatan profesor menurutnya memang sebuah capaian akademik, namun yang melekat di dalamnya lebih banyak tanggung jawab publik.
“Saat ini, di Indonesia semakin banyak profesor, tetapi tidak mudah mencari intelektual publik yang konsisten melantangkan kebenaran ketika ada penyelewengan,” ujarnya.
Kebijakan ini juga bertujuan untuk mendesakralisasi jabatan profesor.
“Jangan sampai jabatan ini dianggap sebagai status sosial dan bahkan dikejar-kejar, termasuk oleh sebagian pejabat dan politisi, dengan mengabaikan etika,” tegas Fathul.
ADVERTISEMENT