Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Biaya Kondangan di Gunungkidul Makin Tinggi, Bisakah Dikendalikan Pemerintah?
27 September 2023 14:04 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Bupati Gunungkidul, Sunaryanta, ingin mengkaji biaya sosial seperti budaya jagong atau kondangan di Gunungkidul. Sebab, biaya budaya jagong di Gunungkidul dinilai semakin tinggi sehingga menjadi beban bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Biaya sosial untuk jagong atau kondangan ini terutama dirasakan oleh tokoh masyarakat seperti perangkat kalurahan. Pada bulan-bulan tertentu, mereka bisa berkondangan ke 10 tempat dalam sehari. Karena itu, muncul narasi dan harapan dari para perangkat kalurahan supaya gaji mereka bisa dinaikkan.
“Fenomena ini baru saya pelajari. Tingginya biaya hajatan, budaya nyumbang (jagong) di Gunungkidul ini saya nilai sangat memberatkan masyarakat. Sehingga baru saya kaji bagaimana caranya hajatan tidak memberatkan,” kata Sunaryanta dalam acara Bimtek Pamong Kalurahan di Balai Kalurahan Wunung, Wonosari, pada Kamis (21/9), dikutip dari laman Pemkab Gunungkidul.
Tapi, apakah sebenarnya pemerintah bisa mengeluarkan regulasi untuk mengatur budaya jagong atau kondangan di tengah masyarakat ini?
Guru Besar Antropologi yang kini menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Bambang Hudayana, mengatakan pemerintah tak perlu terlalu jauh ikut campur mengintervensi tradisi jagong di tengah masyarakat ini.
ADVERTISEMENT
Sebab, bagaimanapun tradisi ini juga penting di tengah masyarakat sebagai salah satu wujud gotong royong. Yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan edukasi bagaimana supaya tradisi ini tidak menjadi beban bagi masyarakat.
“Pemerintah tidak boleh mengintervensi, itu hak warga (untuk menyumbang atau kondangan). Yang boleh itu mengedukasi,” kata Bambang Hudayana saat ditemui di kantornya pada Selasa (26/9).
Edukasi itu bisa dimulai dari para pejabat atau tokoh masyarakat itu sendiri. Misalnya, jika ia memiliki hajatan, maka lakukanlah dengan cara yang lebih sederhana, bukan dengan pesta yang terlampau mewah. Orang-orang yang diundang juga tidak perlu terlalu banyak, cukup kerabat dekat dan tetangga sekitar saja.
Selain itu, makanan yang disediakan juga mesti dirasionalisasi, tidak perlu terlalu mewah. Sebab, makanan yang terlalu mewah secara tidak langsung akan memberikan beban kepada tamu undangannya untuk menyumbang dalam jumlah besar.
ADVERTISEMENT
“Dan pada akhirnya ini akan menjadi standar baru di tengah masyarakat, baik untuk yang mengadakan hajatan maupun yang menyumbang,” ujarnya.
Dengan begitu, pesta atau hajatan yang ada di tengah masyarakat akan kembali pada substansinya, yakni sebagai wujud rasa syukur.
“Bukan untuk cari untung atau untuk mendudukkan gengsi sosialnya,” ujarnya.
Meningkatkan gaji tokoh masyarakat atau perangkat kalurahan untuk meringankan biaya sosial mereka juga bukan pilihan kebijakan yang tepat. Peningkatan gaji itu tidak akan menyelesaikan masalah, justru bisa membuat standar sumbangan yang ada semakin tinggi karena pendapatannya makin tinggi.
“Itu malah mengajari orang untuk konsumtif. Dan itu bukan urusan negara, jangan malah negara yang mengganti rugi,” kata Bambang Hudayana.
Lurah Pacarejo, Semanu, Gunungkidul yang juga Ketua Paguyuban Semar Gunungkidul, Suhadi, mengapresiasi Bupati Sunaryanta yang memberikan perhatian terhadap persoalan tersebut. Tidak bisa dipungkiri, sumbangan-sumbangan untuk acara hajatan memang cukup memberatkan terutama untuk seorang tokoh masyarakat sepertinya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak, pada bulan-bulan tertentu, dalam sehari dia bisa kondangan sebanyak 10 kali dan tiap kondangan rata-rata dia mengeluarkan uang Rp 100 ribu.
“Kalau dipandang dalam konteks jumlah memang berat. Sehari bisa kondangan ke 10 tempat, artinya kalau satu tempat Rp 100 ribu sudah Rp 1 juta sehari,” kata Suhadi saat dihubungi, Selasa (26/9).
Namun, bukan berarti tradisi jagong atau kondangan ini harus dihilangkan begitu saja. Bukan sekadar menjadi bentuk gotong royong di tengah masyarakat, acara-acara hajatan itu juga telah menjadi industri yang menjadi mata pencaharian banyak orang.
Dalam setiap acara hajatan perkawinan saja misalnya, banyak sekali orang yang mendapatkan keuntungan. Mulai dari persewaan tenda, sound system, dekorasi, katering, rias, fotografer, sampai grup-grup seni yang biasa ditanggap untuk hiburan para tamu undangan.
ADVERTISEMENT
“Sehingga ada efek domino manakala nanti ini direm. Kalau ini direm total, kemudian pertanyaan kita pelaku-pelaku usaha itu mau ke mana larinya. Sehingga saya kira memang perlu win win solution, sehingga dalam konteks ini tidak ada yang dirugikan. Karena ini sudah menjadi roda ekonomi,” ujarnya.
Karena itu, perlu kehati-hatian dan kajian yang mendalam untuk mengatasi permasalahan ini. Bagaimana supaya tradisi jagong bisa tetap bertahan, orang-orang yang mencari penghasilan dari bisnis hajatan tidak dirugikan, masyarakat juga tidak diberatkan.
“Harus ada kajian yang mendalam, sehingga nanti tidak terjadi ledakan pengangguran pasca ini, kemudian pelaku usaha kecil juga terhenti dan sebagainya,” kata Suhadi.