Konten Media Partner

Curahan Hati Ibu Riska: Kami Kian Terpuruk, Tiap Hari 6 Rentenir Datang ke Rumah

20 Februari 2023 19:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ibu Riska, Susnensih, dan ayah Riska, Tekat Setiono, bersama gerobak tua yang dipakai berjualan setiap hari. Foto: Dok. Dompet Dhuafa Purwokerto
zoom-in-whitePerbesar
Ibu Riska, Susnensih, dan ayah Riska, Tekat Setiono, bersama gerobak tua yang dipakai berjualan setiap hari. Foto: Dok. Dompet Dhuafa Purwokerto
ADVERTISEMENT
Ibu Nur Riska Fitri, mahasiswi UNY asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang meninggal tahun lalu karena sakit, Susnensih (44 tahun), mengungkapkan bahwa kondisi keluarganya semakin memburuk setelah anak pertamanya meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Kisah Nur Riska Fitri sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu. Sebab, Riska meninggal dunia karena sakit di tengah perjuangannya melanjutkan kuliahnya di UNY. Karena tak mampu membayar uang kuliah, Riska harus cuti selama dua semester. Di masa cutinya itulah Riska meninggal dunia karena sakit, pada Maret 2022.
“Tambah buruk kondisinya. Sebelum Almarhum (Riska) meninggal saja sudah payah, apalagi setelah Almarhum meninggal,” kata Susnensih melalui sambungan telepon dengan suara parau seperti menahan tangis, Senin (20/2).
Menurut Susnensih, sebelum meninggal Riska memang sempat bekerja di beberapa perusahaan untuk membantu keuangan keluarganya. Sebab, usaha orang tuanya yang setiap hari menjual makanan semakin terpuruk semenjak pandemi COVID-19.
“Waktu cuti kuliah dia bilang mau kerja buat bantu orang tua sama buat melanjutkan kuliah lagi,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Setelah Riska meninggal, maka tak ada lagi yang membantu keuangan keluarga, dan satu-satunya pemasukan adalah dari usaha berjualan makanan yang hasilnya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga setiap hari. Padahal, keempat adik Riska saat ini masih bersekolah.
Hasil usaha Susnensih hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal, ada banyak pengeluaran lain, seperti biaya pengobatan almarhum Nur Riska sebelum meninggal, biaya pendidikan anak-anaknya, dan sebagainya.
Ayah Riska, Tekat Setiono, tengah menyiapkan dagangan di dapurnya yang banyak mengalami kerusakan. Foto: Dok. Dompet Dhuafa
Pasalnya, sampai saat ini keluarganya tak dilindungi oleh jaminan kesehatan apapun, termasuk BPJS Kesehatan. Penghasilan yang tak seberapa tak memungkinkan untuk membayar tagihan BPJS setiap bulan.
Untuk mencukupi pengeluaran di luar kebutuhan sehari-hari itu, maka satu-satunya jalan adalah berutang. Hingga saat ini, total utangnya sudah mencapai Rp 50 juta lebih dari sekitar 30-an tempat mulai dari bank daerah, koperasi, sampai bank-bank mingguan.
ADVERTISEMENT
“Jadi sebenarnya itu bukan utang baru, tapi utang lama yang menumpuk, yang ambil sana untuk nutup sini, muter sana muter sini, begitu terus,” kata dia.
Dengan utang sebanyak itu, saat ini setiap hari selalu ada rentenir yang datang ke rumahnya untuk menagih utang. Paling tidak ada enam rentenir yang datang ke rumahnya setiap hari, beberapa bahkan ada yang menunggu sampai malam.
Namun karena tak ada uang sama sekali, Susnensih dan suaminya hanya bisa menghindar. Jam 9 pagi mereka sudah berangkat jualan, dan baru pulang jam 9 malam. Hanya hari Minggu dan tanggal merah yang membuat dia bisa merasa aman berada di rumahnya sendiri.
“Tapi ada yang sudah tahu tempat jualan saya, sempat datang terus ngancem mau mengacak-acak dagangan saya,” lanjutnya.
Kondisi atap rumah almarhum Riska yang sudah rusak. Foto: Dok. Dompet Dhuafa Purwokerto
Susnensih sebenarnya tak tega meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil di rumah sampai malam. Tapi dia tak punya pilihan lain. Untungnya, semua anaknya paham kondisi yang sedang dialami keluarganya, termasuk anaknya yang masih berusia empat tahun.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, situasi itu ternyata telah memberikan dampak psikologis kepada anak-anaknya. Anaknya yang paling kecil bahkan sering mengigau setiap malam karena ketakutan dengan kehadiran para rentenir.
“Kayak udah mulai trauma, jadi kalau tidur itu jadi sering mengigau. dia bilang ‘Mak bangke-nya (bank keliling) dateng’. Kemarin jam dua malam dia bangun, saya lagi goreng tempe di belakang, ‘Mak wis bali? Bangkene wis lunga mak?’ (Bu, sudah pulang? Bank kelilingnya sudah pergi Bu?). Anak sekecil itu saja sudah tahu kalau ibunya lagi dikejar-kejar orang,” ujarnya dengan suara yang makin parau dan tak bisa lagi menahan tangis.
Dengan kondisi ekonomi seperti itu, Susnensih mengaku tak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Satu-satunya bantuan yang dia terima adalah bansos saat pandemi kemarin sebesar Rp 600 ribu.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kini dia juga menderita hipertensi yang semakin sering kambuh. Namun, karena tak ada uang untuk berobat dan tak memiliki asuransi BPJS, dia memilih untuk menahan sakitnya ketimbang datang ke dokter untuk berobat.
Tak hanya itu, rumah yang dia tempati kini, yang juga sudah dijadikan jaminan pinjaman ke sebuah bank, kondisinya semakin banyak yang rusak. Atapnya sudah bocor sana-sini, tiang bambu yang dipakai untuk menopang atap rumahnya juga sudah rapuh dan nyaris ambrol.
Anak-anaknya yang lebih besar sebenarnya seringkali menawarkan diri kepada dia untuk berhenti sekolah supaya bisa bekerja untuk membantu orang tuanya.
“Tapi saya bilang gini, kakanya saja (Riska) jadi penyesalan saya, kuliahnya enggak kesampaian. Masa kamu juga mau berhenti, intinya lanjutin aja cita-cita kamu, enggak usah mikirin orang tua, itu sudah jadi risiko orang tua,” ujarnya.
Nur Riska Fitri. Dok. Istimewa
Melihat kondisi keluarga Riska yang serba sulit, sejumlah teman Riska yang tergabung dalam UNY bergerak bekerja sama dengan Gashtpol Indonesia dan Dompet Dhuafa Purwokerto membuka donasi untuk membantu meringankan beban yang ditanggung keluarga Nur Riska.
ADVERTISEMENT
Pengurus Dompet Dhuafa Purwokerto yang melakukan advokasi terhadap keluarga Riska, Edi Aprilianto, mengatakan bahwa sulitnya perekonomian keluarga membuat Susnensih terpaksa berutang kesana kemari untuk gali lubang tutup lubang.
“Rumah yang ditinggalinya pun sudah jadi jaminan utang, jika tidak dilunasi segera maka Bu Nensih terpaksa harus keluar dari rumahnya, kata Edi Aprilianto.
Karena dihadapkan pada rentenir setiap hari, beberapa bahkan ada yang mengancam untuk melakukan kekerasan, maka Susnensih terpaksa berutang lagi meski dengan bunga yang tinggi. Itulah yang membuat utang keluarganya terus menumpuk dari hari ke hari.
“Tidak sedikit petugas yang mengancam akan menggunakan kekerasan jika Bu Nensih tidak membayar cicilannya, padahal untuk makan saja mereka masih bingung. Maka tidak jarang Bu Nensih terpaksa berutang lagi meski dengan bunga yang tinggi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Edi mengatakan bahwa Dompet Dhuafa Purwokerto telah menyurvei langsung kondisi keluarga Susnensih di Kemangkon, Purbalingga. Hasilnya, keluarga Susnensih menurut Edi memang sangat membutuhkan bantuan untuk meringankan bebannya.
Donasi untuk keluarga Riska menurut Edi bisa disalurkan melalui beberapa rekening Yayasan Dompet Dhuafa Republika. Untuk Bank Mandiri, bisa disalurkan melalui nomor rekening 135.000.999.6875; untuk Bank BCA bisa melalui nomor 009.535.947.2; serta melalui Bank BSI bisa melalui nomor rekening 33.11.55.77.29.
Sebagai catatan, tambahkan 060 di akhir donasi sebagai kode unik donasi untuk keluarga Riska. Konfirmasi donasi bisa dilakukan melalui WhatsApp pada nomor 0811 2890 287.