Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Ketika memulai usahanya untuk membuka lapak buah nangka sekitar tahun 1971-an, Pangadi, 66 tahun tak pernah kesulitan untuk mencari buah nangka. Kala itu, buah nangka masih melimpah di Yogyakarta, tapi sekarang, Pangadi dan istrinya harus mengimpor buah nangka dari luar daerah.
ADVERTISEMENT
“Dari Batang, Pekalongan mas (nangkanya). Kalau d Jogja udah langka sekarang,” kata Pangadi memberi tahu asal nangka-nangka yang dia jual di lapaknya, Senin (22/3).
Nyaris setengah abad jualan nangka, Pangadi mengklaim lapaknyalah yang paling lama ada di Jogja dan masih bertahan sampai sekarang. Saat ini, dia menjual nangka bersama istrinya, Sukarni, 61 tahun, di Jalan Suroto, daerah Kota Baru, Jogja.
Para penjual nangka yang seangkatan dengan dia, kini sudah tidak ada lagi yang bertahan. Beberapa memang masih dijumpai penjual-penjual nangka di sudut-sudut kota, tapi semuanya kata dia adalah pendatang baru.
“Dulu saya jualan di tengah jalan sana (depan perpustakaan kota Jogja), tapi jalannya belum kayak sekarang, masih sepi juga,” lanjutnya.
Sejak awal, Pangadi memilih menjadi spesialis nangka. Beberapa kali dia mencoba menjual buah-buah lain, tapi kata dia penjualannya tak ada yang sebaik nangka. Sampai sekarang, menurutnya masih ada saja orang yang membeli nangka, baik untuk dimakan sendiri maupun untuk diolah menjadi makanan atau minuman lain.
ADVERTISEMENT
Dalam sehari, rerata dia bisa menghabiskan nangka sekitar 30 sampai 50 kilogram lebih buah nagka. Yang jadi keresahannya sekarang justru karena semakin langkanya nangka, sehingga dia harus mendatangkan nangka dari luar kota.
“Dulu banyak, terutama di daerah Sleman, di sekitar Pakem sana,” kata dia.
Mulai langkanya buah nangka, dia rasakan mulai tahun 2015-an. Saat itu, dia mulai kesulitan mencukupi permintaan karena stok dari para petani nangka di Jogja semakin sedikit.
Dulu, sekali beli untuk stok, Pangadi bisa mendapatkan 1 ton sampai 1,5 ton nangka. Tapi sekarang, rata-rata sekali datang paling banyak hanya sekitar 8 kwintal, itupun sulit dan kadang kualitasnya tidak sesuai yang dia harapkan.
“Ya gimana, kebunnya udah enggak ada, udah ditanamin rumah semua,” lanjutnya terkekeh.
ADVERTISEMENT
Dia khawatir, jika nangka semakin langka nanti dia tidak bisa lagi memenuhi permintaan pelanggannya. Apalagi sebentar lagi bakal masuk bulan Puasa. Biasanya, permintaan nangka pada bulan Puasa akan meningkat berkali-kali lipat. Pasalnya, semakin banyak penjual-penjual minuman manis atau takjil seperti dawet dan es doger dadakan yang menggantungkan pada lapak Pangadi untuk mendapatkan nangka sebagai bahan bakunya.
“Ketar-ketir saya sekarang, takut enggak ada stoknya nanti. Kan kasihan pelanggan-pelanggan itu, mudah-mudahan ada,” ujarnya.
Perlu Dikembangkan Kebun Nangka di Jogja
Guru Besar dari Fakultas Kehutanan UGM yang bertahun-tahun meneliti buah nangka, Mohammad Na’iem juga mengatakan bawa saat ini nangka sudah semakin langka di DIY. Padahal, kebutuhan nangka muda atau gori sebagai bahan baku gudeg saat ini semakin besar. Akibatnya, ketersediaan buah nangka yang dimiliki DIY sudah tidak sebanding dengan permintaan yang ada.
ADVERTISEMENT
“Sekarang, untuk memenuhi kebutuhan pasar, nangka muda harus didatangkan dari luar Jogja,” kata Mohammad Na’iem.
Seperti yang dikatakan oleh Pangadi, menurut Na’iem semakin langkanya buah nangka di Jogja juga disebabkan oleh alih fungsi lahan yang semula merupakan kebun nangka kini menjadi pemukiman dan sebagainya. Karena itu, menurut dia perlu dikembangkan lagi kebun-kebun nangka di DIY sehingga nantinya tidak perlu lagi mendatangkan nangka dari luar untuk mencukupi permintaan pasar.
Beberapa tahun yang lalu, Na’iem dan tim peneliti dari Fakultas Kehutanan UGM menginisiasi untuk mengembangkan desa nangka di Gunungkidul, DIY. Nangka yang ditanam merupakan pohon unggulan hasil rekayasa genetika oleh para peneliti di timnya.
Untuk mendapatkan pohon unggulan itu, dia harus mengumpulkan materi genetik nangka dari 398 pohon di 11 provinsi yang ada di Pulau Jawa dan Bali, serta Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Utara, dan Riau.
ADVERTISEMENT
“Pertama kami menanam hampir 13 ribu individu, dan ternyata pertumbuhannya di lapangan baik,” ujarnya.
Dia berharap, dengan dikembangkannya kembali nangka bisa melestarikan gudeg yang merupakan kebudayaan dan identitas Jogja. Dia berharap, lokasi kebun nangka tersebut juga dapat integrasikan dengan pengembangan pariwisata minat khusus serta menjadi model pengembangan hutan di Indonesia.
“Sehingga bisa semakin membantu perekonomian masyarakat di sekitarnya, semakin besar manfaatnya,” kata dia. (Widi Erha Pradana / YK-1)