Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Dianggap Ugal-ugalan di Jalanan Jogja, Pengguna Pelat B: Susah Dibantah!
29 Juni 2022 15:13 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Sejumlah pengguna kendaraan pelat B merespons anggapan bahwa mereka biang keruwetan jalanan saat berlibur di Jogja.
Sebagai warga Jakarta yang pernah tinggal di Jogja hampir 6 tahun, Akbar Aziz, 24 tahun, sudah kenyang dengan stereotip bahwa pengguna kendaraan pelat B adalah biang keruwetan di jalanan. Mulai dari tidak sabaran, suka kebut-kebutan, atau menerobos lampu merah.
ADVERTISEMENT
“Memang begitu. Mau dibantah juga enggak bisa orang realitanya kayak gitu,” kata Akbar yang kini bekerja di sebuah startup pendidikan di Jakarta, saat ditemui Pandangan Jogja @Kumparan Rabu (29/6) pagi di Jogja.
Ketika berkendara di Jogja, Akbar juga sudah kenyang ditegur oleh pengguna jalan lain. Misalnya saat sedang berada di lampu merah, dia suka menggeber motornya sembari menunggu lampu hijau. Tak hanya itu, dia juga suka membunyikan klakson bahkan sebelum lampu benar-benar menjadi hijau.
“Gua denger orang di sebelah itu ngomong, pantes pelat B. Tapi gua diemin aja, udah biasa,” lanjutnya.
Di Jakarta, membunyikan klakson di lampu merah menurut dia adalah suatu keniscayaan. Perbedaannya sangat mencolok dengan apa yang terjadi di Jogja. Di Jogja, meskipun jalanan sedang macet, jarang sekali orang membunyikan klakson.
ADVERTISEMENT
“Kalau ada pun biasanya orang luar kota, tuh,” selorohnya.
Satu lampu merah di Jakarta, menurut dia, bisa memperlambat perjalanan sampai lima menit, terutama saat jam-jam padat seperti jam berangkat atau pulang kerja. Sementara jumlah lampu merah di Jakarta menurut dia jauh lebih banyak ketimbang di Jogja.
“Bayangin, kalau kena lampu merah empat kali aja, itu udah makan 20 menit,” ujarnya.
Ditambah cuaca di Jakarta yang lebih panas dan minim pohon-pohon perindang. Hal itu membuat orang-orang ingin cepat-cepat sampai tujuan dan jadi lebih gampang emosi.
Itu mengapa saat lampu berwarna hijau, atau baru mendekati hijau, orang-orang langsung membunyikan klakson supaya orang-orang di depannya segera melaju sehingga tidak terjebak lebih lama di lampu merah.
ADVERTISEMENT
“Itu baru (kena) lampu merah, belum nerobos lampu merah, naik ke trotoar, lawan arah. Itu biasa juga. Demi bisa memotong waktu lima menitan,” kata dia.
Enam tahun tinggal di Jogja telah sedikit mengubah gaya berkendara Akbar. Karena sungkan dengan pengguna jalan lain, Akbar semakin jarang membunyikan klakson atau menerobos lampu merah. Tapi kini saat pulang ke Jakarta, dia malah merasa tertindas oleh pengguna jalan lain.
“Gua jadi cupu di jalan karena kelamaan di Jogja. Di sana kalau enggak nyerobot ya enggak bakal dapet jalan,” kata Akbar.
Akbar belum setahun balik Jakarta tapi pada Juni ini sudah berwisata ke Jogja dan merasakan kembali jalanan Jogja yang lebih tenang daripada di Jakarta.
ADVERTISEMENT
"Baru semalam sampai Jogja tapi sudah rilex hawanya," kata Akbar.
Hal yang sama diungkapkan oleh Fairuz Zaman, 24 tahun, warga Bekasi yang pernah kuliah di Jogja. Kesan pertamanya saat tiba di Jogja adalah tenangnya situasi di lampu-lampu merah di Jogja, meski saat lalu lintas padat.
“Enggak ada tin tin tin (bunyi klakson) di lampu merah walaupun lampunya udah kuning. Beda banget sama di sini (Bekasi),” ujar Fairuz saat dihubungi melalui telepon karena dia saat ini sudah balik pulang kampung dan sudah bekerja di Bekasi.
Sebagai pengemudi mobil maupun motor dengan pelat B, Fairuz juga sudah terbiasa dengan berbagai stereotip negatif tentang pelat B. Mau dibantah, menurut dia buktinya banyak dan sangat mudah ditemui sehari-hari di jalanan.
ADVERTISEMENT
Seringkali pula, kebiasaan berkendara yang ugal-ugalan dan tidak sabaran itu terbawa oleh mereka ketika keluar Jabodetabek, termasuk saat liburan di Jogja. Sebab bukan perkara gampang menghilangkan kebiasaan yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun.
“Gua butuh waktu dua tahunan buat nyesuain dengan kebiasaan berkendara di Jogja,” ujarnya.
Awalnya, Fairuz sempat tak nyaman dengan stereotip bahwa pengendara pelat B adalah biang keruwetan di jalanan Jogja. Tapi setelah lama tinggal di Jogja dan kerap menemui pengguna pelat B lain yang melanggar aturan, dia memahami kenapa orang-orang Jogja resah pada pengguna pelat B.
“Udah enggak (sakit hati). Karena walaupun kita udah enggak ngelakuin tapi orang lain masih banyak yang ngelakuin, stereotip itu bakal tetep ada sih,” kata Fairuz.
ADVERTISEMENT