Konten Media Partner

Jejaring Toko Kelontong Madura, "Si Kecil" Penantang Gurita Minimarket Modern

1 Juni 2021 13:49 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Toko kelontong yang dikelola oleh orang-orang Madura memiliki ciri unik yakni selalu ada pom mini di depan tokonya. Foto: Agam Rasyid
zoom-in-whitePerbesar
Toko kelontong yang dikelola oleh orang-orang Madura memiliki ciri unik yakni selalu ada pom mini di depan tokonya. Foto: Agam Rasyid
ADVERTISEMENT
Ada banyak anggapan yang kadung dipercaya dan terus diucapkan oleh pembicara seminar ekonomi kerakyatan bahwa gurita minimarket modern telah membunuh toko kelontong rakyat. Hari ini, di jalanan, di setiap sudut Jogja (dan di banyak kota lain), justru ada kenyataan lain yang sedikit aneh: bukannya mati, toko-toko kelontong kecil justru bermunculan bak jamur di musim yang lembab dan basah.
ADVERTISEMENT
Kue di bisnis ecer kebutuhan sehari-hari ternyata masih banyak yang belum di makan oleh para raksasa, jejaring toko modern itu. Serupa jaring laba-laba, si kecil penantang ini dihubungkan oleh jejaring etnis yang memang sangat tangguh dalam menaklukkan tanah perantauan: orang-orang Madura, yang sebelumnya sudah sangat terkenal sebagai pemain utama sate ayam, cukur rambut, dan tukang rosok besi bekas.
Pada Rabu pertengahan Mei 2021, Yais, 41 tahun, penjaga toko kelontong di daerah Selokan Mataram, Condong Catur, belum tidur semalaman. Wajahnya tampak sangat mengantuk. Bertelanjang dada dengan sebatang rokok di tangan kanan, dia masih harus melayani pembeli karena sang istri yang mestinya menggantikannya menjaga toko pada siang hari sedang sibuk mengurus anak mereka yang masih bayi.
ADVERTISEMENT
Bukan baru di Jogja ini Yais menggeluti usaha toko kelontong. Sudah 5 tahun ia sebenarnya sudah menjalankan toko kelontongnya sendiri di Denpasar, Bali. Itu adalah tahun-tahun yang sukses, sampai pandemi mengusir seluruh konsumen utamanya, para wisatawan asing itu, ke rumahnya masing-masing yang jauh.
Sebuah keputusan cepat ia bikin. Sisa kontrakan ia tinggal, semua barang tersisa ia jual. Ia mau saja menjadi karyawan bagi seorang kerabat yang sudah mempunyai toko di Jogja. Baginya, toko kelontong masih lah sebuah lahan usaha yang sangat menjanjikan, bahkan meski ia hanya sebagai karyawan, dan belum menjadi bos bagi tokonya sendiri seperti saat ia di Denpasar.
Rela Buka 24 Jam
Abdurrohim, 48 tahun dersama istrinya, Sahni, 45 tahun, bekerja di sebuah toko kelontong Madura selama 24 jam penuh di sekitar Jalan Kaliurang KM 5. Foto: Widi Erha Pradana
Apa sebenarnya yang membuat Yais masih begitu percaya bahwa toko kelontong di Jogja masih bisa menyelamatkan keluarganya dari kehancuran yang ia rasakan di Denpasar?
ADVERTISEMENT
“Buka 24 jam, itu keunggulan utama toko kami dibanding Indomart dan Alfamart yang selama pandemi ini justru tidak bisa buka 24 jam,” kata Yais, yang berasal dari Sumenep, Madura ini.
Memang hampir semua swalayan waralaba seperti Indomaret dan Alfamart, kini hanya buka sampai jam 8 atau 9 malam. Akhirnya, jika ada orang yang tengah malam ingin beli rokok atau sekadar minuman dingin, toko kelontong Madura adalah solusinya.
“Kalau mau bertahan di bisnis kelontong ini ya harus mau kurangin tidur. Walaupun tidak banyak, pasti ada saja yang beli tengah malam atau bahkan jam dua, jam tiga subuh,” ujarnya.
Jaga malam bukanlah pekerjaan gampang. Karena di tengah rasa kantuk terutama setelah tengah malam lewat, Yais harus tetap meningkatkan kewaspadaan. Apalagi belakangan berita tentang kejahatan jalanan di Jogja makin sering terdengar. Lengah sedikit saja, sesuatu yang buruk bisa menimpanya.
ADVERTISEMENT
Namun musibah tak pernah bisa diprediksi. Yais bersyukur, selama dia menjaga toko kelontong tak pernah mengalami kejahatan, dan tak pernah berharap untuk mengalami. Selain waspada, senjatanya yang paling ampuh adalah berserah.
“Pasrah saja sisanya, asalkan niatnya baik, cari nafkah, cari rezeki, insyaallah dilindungi langsung sama Yang Kuasa,” kata Yais.
Ambil Untung Sedikit
Amel sedang menjaga tokonta di dekat Kampus UNY. Foto: Widi Erha Pradana
Siang itu, Naizila Siska Amelia, 38 tahun, biasa dipanggil Amel, sedang mendapat tugas untuk jaga toko. Anak dan suaminya yang malamnya tugas menjaga toko sampai pagi masih tidur di sebuah ruangan kecil di sudut toko yang hanya dibatasi dengan tirai berwarna biru tua.
Di Jogja, Amel dan keluarganya yang juga berasal dari Sumenep, Madura, memiliki sebuah toko kelontong yang ada di dekat kampus UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) sejak tiga tahun silam. Di Jakarta, dia juga memiliki satu toko kelontong serupa yang juga masih dikelola oleh keluarga.
ADVERTISEMENT
Salah satu strategi yang membuat bisnis toko kelontongnya bertahan lama, termasuk di situasi pandemi seperti sekarang, menurutnya adalah karena harga jual dagangannya yang miring. Amel mesti memutar otak, bagaimana supaya harga barang-barang di tokonya bisa semurah mungkin, minimal bisa lebih murah dari Alfamart dan Indomaret.
“Cari agen yang paling murah, walaupun selisih seratus, dua ratus, itu sudah lumayan,” kata Amel.
Selain mencari agen yang mau memberikan harga miring, Amel juga rela mengambil keuntungan yang kecil untuk masing-masing barang yang dijual.
Prinsip mereka, tidak masalah untung sedikit yang penting toko ramai dan banyak yang beli. Ketimbang memasang harga tinggi untuk menambah keuntungan, tapi toko malah sepi. Dari sedikit demi sedikit keuntungan itulah toko kelontongnya bisa bertahan sampai bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
“Kita ambil sedikit saja, yang penting berkah,” kata Amel.
Hal serupa juga disampaikan oleh Abdurrohim, 48 tahun. Bersama istrinya, Sahni, 45 tahun, dia bekerja di sebuah toko kelontong Madura yang ada di sekitar Jalan Kaliurang KM 5. Mengambil margin keuntungan yang sedikit membuat harga barang dagangan di toko mereka bisa ditekan menjadi semurah mungkin.
Dengan begitu, meskipun di sekitar toko mereka setidaknya ada dua swalayan yang lebih besar, toko kelontong mereka masih saja ramai bahkan hingga dini hari.
“Orang-orang kan pasti cari yang lebih murah, jadi bagaimana caranya supaya harga bisa lebih murah walaupun untungnya dibuat lebih kecil,” ujar Rohim.
Paling tidak, selisih harga barang-barang di toko mereka dengan di swalayan waralaba bisa mencapai Rp 500 sampai Rp 2.000 per item, tergantung barang yang dijual. Meskipun ada beberapa yang harganya sama.
ADVERTISEMENT
“Kalau enggak bisa lebih murah, yang penting jangan lebih mahal,” ujarnya.
Pom Bensin Mini Wajib Ada
Yais, sedang mengisi bensin pelanggannya. Foto: Widi Erha Pradana
Barang-barang yang dijual di toko kelontong Madura sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dijual di swalayan. Sembako, berbagai jenis jajanan, minuman, es krim, gas elpiji, rokok, perlengkapan MCK, dan masih banyak lagi. Apa yang biasa dibeli di swalayan waralaba, kemungkinan besar tersedia juga di toko kelontong Madura.
Tapi ada kebutuhan sehari-hari yang tidak dijual di Indomaret atau Alfamart, namun tersedia di toko kelontong Madura, yakni bensin. Sebelumnya, toko-toko Madura identik dengan bensin eceran yang ditata rapi berjajar di dalam botol kaca di depan toko. Tapi sekarang, untuk mengenali toko kelontong Madura, ciri yang paling terlihat adalah adanya pom bensin mini di depannya.
ADVERTISEMENT
“Itu sebisa mungkin ada. Warung kelontong Madura itu ada pom mini, pasti,” kata Abdurrohim.
Alasan pom mini harus ada di toko kelontong Madura sederhana saja, karena semua orang butuh bensin. Adanya mesin pengisian bensin juga membuat mereka makin mudah melayani pelanggan, sebab pelanggan bisa membeli bensin berapapun, tak harus satu liter, dua liter, atau kelipatannya seperti ketika mereka masih pakai teknologi botol kaca.
O ya, salah satu rahasia sukses para pemain toko kelontong Madura ini, yang diakui oleh mereka sendiri, ternyata juga tentang bagaimana mereka sangat membuka aspirasi pelanggan: pelanggan butuh apa, mereka akan sediakan. Merk rokok misalnya, koleksi rokok mereka jauh lebih banyak ketimbang kebanyakan swalayan waralaba. Paling tidak ada 100-an merek rokok yang dijual di toko kelontong Madura yang sebagian bahkan tak bisa dijumpai di jejaring toko modern. Cek merk-merk rokok ini: lodjie, aspro, country, gudang baru, rmx, juragan, jambu, jeruk, mustang, tak ada di toko modern, selalu ada di toko Madura.
ADVERTISEMENT
“Itu pelanggan yang minta, mereka ingin apa, besoknya kita carikan. Ini saja masih banyak merk rokok yang pelanggan cari tapi kita belum ada,” ujarnya.
Begitu juga dengan barang-barang lain, misalnya aneka camilan atau minuman. Mereka juga mendata barang-barang apa saja yang biasa dicari oleh pelanggan tapi belum ada di toko. Barang-barang itu kemudian akan masuk ke dalam daftar belanja mereka, sehingga semakin hari stok barang di toko kelontong mereka semakin lengkap.
* *Ini adalah seri pertama dari 3 tulisan yang memotret ketangguhan UMKM toko eceran dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Ikuti Seri ke-2 dan ke-3