Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kampus Dinilai Lamban Tangani Kekerasan Seksual Tanpa Satuan Tugas (2)
24 Februari 2022 21:05 WIB
·
waktu baca 8 menitADVERTISEMENT
Maryam, mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) angkatan 2018 korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh R, salah seorang seniornya di sebuah organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) pada Januari 2021, masih terus mencari keadilan sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Selama setahun, Maryam tidak diam saja. Selain berjuang mendapatkan pendampingan psikologi untuk memulihkan kondisi mentalnya, Maryam juga berjuang untuk mendapatkan keadilan atas kasus yang dia alami. Dia sempat melaporkan kasusnya ke Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa (KM) UNY. Maryam sempat mendapat angin segar ketika BEM menjanjikan untuk mengawal kasusnya sampai selesai, sampai dia mendapat keadilan yang dia cari.
“Tapi kasusku enggak sampai kemana-mana. Sampai BEM demisioner dan ganti kepengurusan, kasusku enggak keurus,” kata Maryam ketika ditemui di Kampus UNY, Rabu (9/2).
Ketua BEM KM UNY periode 2021, Mutawakil Hidayatullah, mengatakan bahwa sepanjang tahun 2021 ada dua kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan ditangani oleh BEM KM UNY, dan salah satunya adalah kasus yang dialami Maryam. Awal tahun ini, BEM juga telah menaikkan dan melaporkan kasus yang dialami oleh Maryam ke tingkat rektorat.
ADVERTISEMENT
“Tapi sejauh ini kami dan rektorat masih mencoba untuk memvalidasi kasus tersebut, masih diinvestigasi,” kata Akil, sapaan Mutawakil, ketika dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (10/2).
Akil mengakui penanganan yang dilakukan BEM setahun ini memang kurang optimal, sehingga sampai akhir kepengurusan BEM selesai kasus tersebut belum tuntas. BEM menurut dia juga menemui kendala yang membuat mereka tak bisa berbuat banyak dalam penyelesaian kasus ini.
Kendala utama yang mereka hadapi adalah tak adanya satuan tugas (Satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di UNY. Tak hanya satgas, bahkan kampus menurut dia tidak memiliki alur dan pedoman yang jelas bagaimana menangani kasus kekerasan seksual.
“Jadi di BEM kami geraknya sepemahaman kami saja, karena di kampus tidak ada semacam alur atau pedoman yang jelas,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Akil menyayangkan kampus yang terlihat lamban dalam membentuk satgas dan menyusun pedoman penanganan kekerasan seksual. Dia khawatir, tanpa adanya satgas dan pedoman yang jelas, kasus kekerasan seksual di dalam kampus akan terus terjadi.
“Secara tidak langsung, kampus tidak bertanggung jawab dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di UNY kalau tidak segera membuat alur dan pedoman yang jelas,” kata Akil.
Ruang Aman Terima 6 Laporan Kasus Kekerasan Seksual di UNY
Ruang Aman UNY, sebuah gerakan kolektif mahasiswa UNY yang fokus mengawal kasus kekerasan seksual di UNY, mencatat ada 6 kasus laporan kekerasan seksual dengan 7 korban sejak akhir 2019 sampai awal 2021. Satu kasus dilaporkan pada akhir 2019, sementara lima kasus lainnya dilaporkan sepanjang 2020 sampai Januari 2021.
ADVERTISEMENT
“Korbannya mayoritas mahasiswa, ada juga yang sudah alumni,” kata Juru Bicara Ruang Aman UNY, Umi Zuhriyah, ketika ditemui di Kampus UNY, Jumat (11/2).
Meski selalu ada pembicaraan yang mengarahkan kasus ke ranah hukum, namun sejauh ini penanganan kasus kekerasan seksual yang ditangani oleh Ruang Aman baru sebatas menghubungkan korban ke pendamping psikologis atas permintaan korban.
“Pembicaraan untuk sampai situ (ranah hukum) selalu ada di setiap kasus,” ujarnya.
Umi mengatakan karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan otoritas, Ruang Aman sampai saat ini hanya bisa membantu korban untuk menghubungkan dengan pihak-pihak yang dibutuhkan, baik pendamping psikologis maupun pendamping hukum. Selain itu, jika korban menginginkan, Ruang Aman juga akan melakukan advokasi ke tingkat rektorat.
ADVERTISEMENT
Kelulusan Ditunda, Pelaku Terancam DO
Rektor UNY, Sumaryanto, mengatakan bahwa setahun terakhir kampus hanya menerima dua laporan kekerasan seksual. Pertama, kasus pemerkosaan seorang mahasiswa KKN oleh oknum lurah setempat, dan kedua adalah kasus yang dialami oleh Maryam.
Untuk kasus yang dialami oleh Maryam, Sumaryanto mengatakan bahwa kampus telah melakukan penyelidikan dan pemberian sanksi kepada terduga pelaku berupa penundaan kelulusan. R, yang mestinya yudisium pada Januari kemarin dan wisuda pada Februari ini, ditunda kelulusannya sampai kasus ini menemui titik terang.
“Indikasinya (laporannya) benar, bismillah, tunda kelulusannya,” kata Sumaryanto ketika ditemui di ruangannya, Rabu (16/2).
Karena belum terbentuk satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, Sumaryanto menyerahkan kasus tersebut untuk ditangani oleh jajaran pimpinan dekanat. Jika hasil investigasi nanti membuktikan bahwa R terbukti bersalah, ada kemungkinan bahwa terduga pelaku tidak hanya ditunda kelulusannya, tapi juga dicabut status keanggotaannya alias drop out (DO).
ADVERTISEMENT
“Kemungkinan paling berat dikeluarkan, kalau itu menjurus pidana bukan kewenangan kami, itu urusan pidana,” ujarnya.
Saat ini, jajaran rektorat menurut dia juga sedang dalam proses penyesuaian Peraturan Rektor UNY tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Menurut dia, ada beberapa hal di dalam peraturan rektor yang mesti disesuaikan agar sesuai dengan kebutuhan dalam penanganan kasus kekerasan seksual di dalam lingkup perguruan tinggi.
Dia juga mengatakan, saat ini kampus masih berupaya untuk membentuk satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Namun, Sumaryanto belum bisa menjamin kapan revisi peraturan rektor dan pembentukan satgas itu kelar. Menurut dia, tanpa satgas pihaknya sudah bisa menangani kasus-kasus kekerasan seksual melalui pembentukan tim di tingkat dekanat jika terjadi dugaan kasus kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak usah harus nunggu satgas, kelamaan, malah keburu lulus. Belum ada satgas saya sudah melangkah,” ujarnya.
Meski belum ada lembaga khusus yang menangani laporan kekerasan seksual, Sumaryanto juga menjamin keamanan dan keselamatan setiap korban atau penyintas. Namun ketika dikonfirmasi mengenai bentuk perlindungan seperti apa yang akan diberikan, dia mengatakan belum ada rencana khusus bagaimana menciptakan ruang yang aman untuk pelapor kasus kekerasan seksual.
“Saya lindungi, saya rektor yang harus mengayomi dan melindungi. (Caranya) pertama jaminan, rektor akan menegakkan keadilan dan kebenaran,” kata Sumaryanto.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021, dalam rangka mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkup kampus, perguruan tinggi memang diwajibkan untuk membentuk satgas. Selain itu, kampus juga harus merumuskan kebijakan yang mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi, serta menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Kampus juga wajib menyediakan layanan pelaporan kekerasan seksual hingga menjalin kerja sama dengan instansi terkait sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Namun sampai saat ini, meski aturan itu sudah ditetapkan sejak Agustus tahun lalu, UNY belum selesai membentuk satgas maupun menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual tersebut.
Berpotensi Munculkan Kasus-kasus Baru
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNY, yang aktif mengawal isu kekerasan seksual di dalam kampus, Sasiana Gilar Apriantika, mengatakan bahwa UNY memang cenderung lamban dalam menindaklanjuti amanat Permendikbud Nomor 30 tahun 2021. Kendati sudah disahkan sejak tahun lalu, namun menurut dia sampai saat ini belum ada langkah dari UNY yang cukup signifikan dalam menindaklanjuti permen tersebut.
ADVERTISEMENT
“Di UNY belum ada tindak lanjut, terutama untuk menegaskan ulang bahwa UNY akan melaksanakan dan melanjutkan Permendikbud yang sudah ada. Itu memang belum ada sama sekali,” kata Sasiana Gilar saat diwawancarai melalui konferensi video, Minggu (20/2).
Pembentukan satgas seperti yang diamanatkan permendikbud, pembuatan aturan dan pedoman penanganan dan pencegahan kekerasan seksual, bahkan sekadar sosialisasi terkait aturan tersebut pun belum ada. Sejauh ini, menurut dia baru Fakultas Ilmu Sosial (FIS) yang telah mensosialisasikan permendikbud tersebut pada akhir tahun kemarin.
Pada September 2020, UNY sebenarnya telah mengesahkan Peraturan Rektor Nomor 17 tahun 2020 tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual di Kampus. Namun, peraturan tersebut belum sesuai dengan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021.
“Poin-poin, pasal-pasalnya, kemudian apa yang diatur itu tidak sedetail dan sejelas Permendikbud nomor 30 itu,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Lambannya kampus dalam menindaklanjuti permen ini jadi catatan buruk UNY dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Sasiana khawatir, jika kampus tidak segera mengimplementasikan aturan ini, maka berpotensi akan semakin banyak masyarakat kampus yang jadi korban kekerasan seksual. Bahkan saat ini, Andini atau Maryam, bisa jadi hanyalah sebuah fenomena gunung es saja. Sebenarnya masih banyak korban-korban lain, namun karena tak ada sistem yang jelas dan jaminan yang nyata, maka mereka lebih memilih untuk memendam kasusnya sendiri.
UNY menurutnya mesti memandang isu kekerasan seksual di dalam kampus sebagai masalah yang serius dan mesti jadi prioritas. Paling tidak yang dibutuhkan oleh UNY saat ini adalah melakukan sosialisasi terkait dengan kekerasan seksual dan regulasi yang mengaturnya seperti Permendikbud Nomor 30 tahun 2021. Sebab, menurutnya masih sangat banyak masyarakat kampus yang belum tahu bahwa banyak sekali jenis kekerasan seksual, termasuk di dalamnya kekerasan dalam bentuk verbal.
ADVERTISEMENT
Setelah melakukan sosialisasi, baru kampus kemudian dapat melangkah untuk menyusun aturan dan pedoman yang lebih teknis sebagai tindak lanjut dari permen tersebut. Setelah itu, kampus juga perlu membentuk satgas yang independen dan berisi pihak-pihak yang memang memahami dan peduli pada isu kekerasan seksual baik dari dosen, tenaga kependidikan, serta mahasiswa.
“Jadi jangan hanya untuk menggugurkan kewajiban, satgas harus berisi orang-orang yang kompeten dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual, jangan hanya untuk formalitas belaka,” ujar Sasiana Gilar.
=========
Artikel ini adalah liputan kolaborasi antara Pandangan Jogja, Harian Jogja, Philosofis Online, serta Merdeka. Jika Anda mengalami kekerasan seksual di Yogyakarta, ada beberapa pihak yang bisa dihubungi mulai dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3Ap2) DIY, Rifka Annisa WCC (085799057765, 085100431298), atau hubungi Komnas Perempuan (021-3903963).
ADVERTISEMENT