Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Kamu Takut Vaksin, Emang Pas SD Enggak Pernah Ikut Imunisasi?
6 Agustus 2021 16:28 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
“Imunisasi dan vaksinasi itu sama saja. Imunisasi itu proses menghasilkan imunitas dan caranya melalui vaksinasi.” Epidemiolog UGM, Bayu Satria Wiratama.
Vaksinasi masih mendapat penolakan dari sebagian kalangan masyarakat. Resti Damayanti, 20 tahun, seorang mahasiswi di Jogja misalnya, kini sedang dibuat pusing karena orangtuanya enggan divaksin. Alasannya karena takut akan kandungan di dalam vaksin yang tidak mereka ketahui.
ADVERTISEMENT
Hal sama juga dialami oleh Bunga Meiliana, 22 tahun, yang juga mengeluhkan orangtuanya yang enggan untuk divaksin. Alasannya tidak jauh berbeda, karena mereka banyak mendengar berita tentang efek samping yang dialami orang-orang setelah divaksin.
“Takut setelah vaksin malah jadi sakit, jadi kenapa-kenapa karena enggak tahu bahannya apa aja,” kata Bunga Meiliana.
Kasus orangtua yang enggan divaksin memang cukup banyak. Padahal, sebelumnya mereka pernah mendapatkan imunisasi ketika kecil. Bahkan, mereka pernah membujuk anak-anaknya untuk diimunisasi tanpa ada kekhawatiran seperti yang dirasakan sekarang.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Satria Wiratama, mengatakan bahwa pada prinsipnya imunisasi dan vaksinasi adalah sama. Imunisasi merupakan proses pembentukan imunitas atau kekebalan tubuh seseorang, tanpa membuatnya sakit. Untuk melakukan imunisasi itu dibutuhkan suatu zat yang dapat menimbulkan kekebalan tubuh seseorang, zat itu yang saat ini disebut dengan vaksin.
ADVERTISEMENT
Proses pemberian vaksin itu, baik dengan cara disuntikkan maupun diteteskan ke dalam mulut itulah yang kemudian disebut dengan vaksinasi.
“Jadi kalau kita bicara imunisasi, itu pasti harus vaksinasi, sama saja,” ujar Bayu Satria Wiratama, Rabu (4/8).
Sebelum ditemukan vaksin, proses imunisasi memang dilakukan dengan cara memasukkan penyakit ke dalam diri seseorang supaya muncul kekebalan di dalam tubuhnya terhadap penyakit tersebut. Hasilnya, karena yang diberikan adalah penyakit asli, orang menjadi sakit, sebagian ada yang mengalami gejala ringan kemudian sembuh dan sebagian yang lain justru ada yang meninggal.
Saat ini, ketika teknologi farmasi semakin berkembang, proses imunisasi tak lagi menggunakan penyakit asli, melainkan menggunakan vaksin melalui vaksinasi.
“Jadi, vaksinasi dan imunisasi itu bukan hal yang berbeda. Imunisasi itu proses menghasilkan imunitas, dan caranya melalui vaksinasi,” lanjutnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Ova Emilia.
ADVERTISEMENT
Pada prinsipnya, baik imunisasi maupun vaksinasi memiliki tujuan yang sama, yakni meningkatkan kadar imunitas seseorang supaya tidak terinfeksi penyakit tertentu. Sehingga jika seseorang sudah pernah melakukan vaksinasi campak, polio, cacar, DPT, dan sebagainya, mestinya dia juga tidak perlu takut dengan vaksinasi COVID-19.
“Prinsipnya sama, intinya memberikan proteksi, pencegahan supaya orang itu tidak terinfeksi. Kemudian apabila terinfeksi, maka gejala-gejala penyakit yang muncul menjadi tidak berat dan lebih mudah pulih,” kata Ova Emilia, Selasa (3/8).
Ada dua jenis imunisasi, yakni imunisasi aktif dan pasif. Vaksinasi merupakan bagian dari imunisasi aktif yang dilakukan untuk memicu tubuh mengeluarkan imunitas. Berbeda dengan imunisasi pasif yang berarti tubuh diberikan antibodi seperti suntikan imunoglobulin, jadi bukan dipancing untuk menghasilkan antibodi.
ADVERTISEMENT
Imunitas yang dihasilkan dari imunisasi aktif dapat bertahan lebih lama, bahkan bisa sampai seumur hidup. Sedangkan imunitas yang dihasilkan dari imunisasi pasif hanya bertahan dalam hitungan minggu atau bulan saja.
“Sehingga tidak perlu curiga dan berpikir macam-macam untuk vaksin. Untuk penanganan penyakit-penyakit menular memang seperti itu (melalui vaksinasi atau imunisasi),” ujarnya.
Belajar dari Cacar
Manfaat vaksinasi maupun imunisasi dalam pencegahan penyakit menular sudah dibuktikan melalui sejumlah vaksin yang telah ditemukan sebelumnya.
Cacar, sebagai salah satu penyakit kuno yang paling ditakuti dan menyebabkan 3 dari 10 penderitanya meninggal, setidaknya 300 juta orang telah meninggal akibat penyakit ini.
Penyakit yang disebabkan oleh virus variola ini tak mampu diberantas hingga 3.000 tahun lamanya. Hingga akhirnya pada 1980, WHO menyatakan secara resmi bahwa penyakit ini telah hilang dari muka bumi setelah pada pertengahan abad 20 vaksinasi cacar telah dilakukan di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
“Cacar itu sudah dieliminasi secara lengkap di dunia, itu adalah contoh keberhasilan manusia mengendalikan penyebaran penyakit menular dan menyelamatkan peradaban,” kata Ova Emilia.
Saat ini, ketika mobilitas manusia sudah jauh lebih tinggi, tentu tantangannya semakin besar. Sebab, dengan mobilitas manusia yang semakin tinggi, maka penyebaran suatu penyakit juga akan semakin cepat dan luas. Meskipun sebenarnya prinsip penanganan pandemi COVID-19 ini tetap sama dengan yang dilakukan pada beberapa dekade silam ketika manusia berperang melawan pandemi cacar.
Melihat contoh itu, vaksinasi menurut Ova menjadi salah satu kunci supaya peradaban manusia saat ini selamat dari tantangan berbagai penyakit. Karena itu, orang-orang yang masih menaruh curiga pada upaya vaksinasi ini menurutnya perlu diberikan edukasi dengan cara yang tepat.
ADVERTISEMENT
Karena menurutnya, gelombang penolakan vaksin ini berkaitan erat dengan literasi publik, dimana informasi yang didengar atau dibaca kerap tidak lengkap bahkan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Informasi-informasi tersebut kemudian menciptakan persepsi di tengah masyarakat bahwa vaksin berbahaya dan sebagainya sehingga membuat mereka akhirnya enggan untuk divaksin.
“Ibu saya sudah vaksin, beliau usianya sudah 84 tahun dan Alhamdulillah baik-baik saja. Jadi saya kira tidak ada alasan untuk takut vaksin,” kata Ova Emilia.
Pada lain kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa jumlah kasus kematian akibat COVID-19 setelah menjalani vaksinasi di DKI Jakarta hanya 54 orang dari total 5,1 juta penerima dosis vaksin.
Dengan kata lain, persentase kematian pasien COVID-19 yang telah mendapatkan vaksinasi hanya 0,21 persen, jauh lebih kecil dibandingkan persentase kematian total di Indonesia sebesar 2,85 persen. Kematian pasien yang telah menerima vaksinpun rata-rata karena mereka memiliki komorbid atau penyakit penyerta.
ADVERTISEMENT