Konten Media Partner

Kisah Mufdlilah, Wanita Pertama yang Jadi Guru Besar Ilmu Kebidanan di Indonesia

23 Desember 2024 15:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Guru Besar Ilmu Kebidanan, Mufdlilah, saat melakukan wawancara dengan Pandangan Jogja di UNISA, Jumat (13/12). Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Guru Besar Ilmu Kebidanan, Mufdlilah, saat melakukan wawancara dengan Pandangan Jogja di UNISA, Jumat (13/12). Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
ADVERTISEMENT
Di usia 60 tahun, Mufdlilah tercatat sebagai perempuan pertama yang menjadi Guru Besar Ilmu Kebidanan di Indonesia. Perjalanannya menjadi Guru Besar dimulai dari Desa Bulubrangsi, Laren, Lamongan, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancara dengan Pandangan Jogja, Jumat (13/12), Mufdlilah menceritakan pengalaman hidup di desa yang mengajarkannya banyak nilai tentang kerja keras dan ketekunan.
“Sejak SD itu, saya sudah dibiasakan sekolah oleh orang tua saya itu harus pagi dan sore. Pagi di madrasah, sorenya di SD Negeri. Selain itu, malamnya harus setoran Qur'an baca bersama dengan teman-teman,” ungkapnya.
Album foto masa kecil Mufdlilah. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
Saat SMP, Mufdlilah kembali melanjutkan pendidikan di dua sekolah sekaligus, yakni Madrasah Muallimat Muhammadiyah pada pagi hari dan SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta pada sore hari.
Lulus dari SMP, ia sempat mendaftar SMA. Namun, akhirnya ia diterima di Sekolah Perawat dan Bidan di SPBA PKU Muhammadiyah Yogyakarta, yang kini menjadi Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta.
Lulus dari pendidikan kebidanan, Mufdlilah mengabdi di Rumah Sakit Siti Khodijah, Kudus yang kini bernama Rumah Sakit Aisyiyah Kudus. Di tempat itu, ia bekerja sebagai bidan sambil tinggal di klinik.
ADVERTISEMENT
“Di situ saya hidup di kliniknya, ada mesnya. Jadi kalau ada pasien, saya jaga. Kalau ada darurat yang harus ditolong, saya harus turun. Mental saya sudah betul-betul terasah. Paginya saya bekerja sebagai bidan di klinik. Tapi saya juga punya tanggung jawab menjadi pengajar di sekolah perawat kesehatan waktu itu, yang sekarang menjadi Universitas Muhammadiyah Kudus,” jelas Mufdlilah.
Ia juga menyebutkan bahwa perjuangannya sebagai perempuan tidak mudah. Mufdlilah sempat dikenakan skors karena hamil pada saat sekolah hingga harus menunda pendidikannya selama satu tahun. Ia juga harus berkali-kali mengikuti pendidikan di Surabaya karena berubahnya kebijakan, Akademi Kebidanan (Akbid) menjadi Akademi Keperawatan (Akper) dan kembali lagi menjadi Akbid.
“1989 saya menjadi karyawan di sini (UNISA Yogyakarta). Kemudian saya mengajar di Kebidanan. Ada perubahan, Sekolah Perawat Bidan itu menjadi Akper. Dosennya juga harus Akper. Saya harus penyetaraan, sekolah lagi di Surabaya merantau dua tahun dengan meninggalkan dua anak yang usianya masih kecil-kecil,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Komitmen Mufdlilah terhadap pendidikan terus berlanjut hingga jenjang S3. Saat itu, ia harus menempuh perjalanan Jogja-Solo naik kereta, bangun pagi pukul 04.30, dan berebut naik kereta demi menghadiri kelas S3 Prodi Penyuluhan Pembangunan Pemberdayaan Masyarakat Minat Promosi Kesehatan di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
“Setiap saya ke kampus, naik kereta, saya punya target, satu hari saya harus baca satu buku. Berangkat maupun pulang. Itu betul-betul memotivasi saya karena buku untuk S3 itu kan banyak yang harus dibaca,” jelas Mufdlilah.
Perjuangannya membuahkan hasil ketika pada 6 Oktober 2023, Mufdlilah dikukuhkan sebagai Guru Besar di bidang kebidanan di UNISA Yogyakarta melalui Surat Keputusan (SK) yang diserahkan langsung oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah V. Mufdlilah menjadi perempuan pertama di Indonesia yang memperoleh gelar ini.
Guru Besar Ilmu Kebidanan, Mufdlilah, saat melakukan wawancara dengan Pandangan Jogja di UNISA, Jumat (13/12). Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
“Fokus pada disertasi saya itu adalah pada pilihan ASI eksklusif. Dan itu dilakukan oleh seorang bidan atau tenaga kesehatan dalam bentuk-bentuk pemberdayaan, penguatan, pendampingan. Saya mendalami itu, satu tahun berikutnya ada isu tentang stunting. Isu tentang tumbuh kembang, semuanya kembali pada bagaimana ibu memberikan asuhan awal dengan memberikan ASI eksklusif,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kini, selain sebagai Guru Besar, Mufdlilah juga menjabat sebagai Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Alumni, Al-Islam Kemuhammadiyahan dan Keaisyiyahan UNISA Yogyakarta serta penanggung jawab Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) UNISA Yogyakarta. Mufdlilah berkomitmen untuk terus mengembangkan diri dan membantu kemajuan profesi ini di Indonesia.
"Saya berharap lebih banyak bidan yang melanjutkan pendidikan dan berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di tanah air," ujar Mufdlilah.