Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Mimpi Seorang Wibu, Naik Haji ke 'Tanah Suci' Jepang: Cerita Wibu Jogja (2)
19 Maret 2022 16:29 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Medio 2008, untuk pertama kalinya Rewangga Gutama, 29 tahun, ikut sebuah event cosplay karakter dalam anime-anime Jepang. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia akan memerankan karakter-karakter dalam anime favoritnya.
ADVERTISEMENT
Tentu ini jadi momentum istimewa dan tak terlupakan. Bukan hanya karena dia akan jadi tokoh yang selama ini dia idolakan di dalam anime, lebih dari itu karena dia juga telah mengorbankan banyak hal demi bisa beli kostum karakter itu.
“Lupa pastinya, tapi sampai ratusan ribu, buat ukuran pelajar itu gede banget. Berbulan-bulan nabung, nyisihin uang buat beli kostum,” kata Tama, sapaan akrabnya ketika ditemui di sebuah restoran di Jogja, Jumat (11/3).
Saat itu, biaya yang mesti dikeluarkan untuk bisa cosplay memang masih sangat mahal, apalagi untuk ukuran pelajar yang hanya mengandalkan uang saku dari orangtua. Untuk bisa cosplay, seseorang harus beli kostum, wig atau rambut palsu, sampai make up, yang total bisa sampai jutaan atau minimal ratusan ribu.
ADVERTISEMENT
Sekarang, situasi sudah jauh lebih mudah, jika belum punya uang untuk membuat atau beli kostum sendiri, sudah tersedia banyak tempat persewaan kostum untuk cosplay.
Pengalaman pertama cosplay ternyata bikin dia ketagihan. Di balik kostum karakter anime itu, Tama merasakan dunia yang berbeda. Apalagi dia bertemu dengan orang-orang yang punya hobi sama, membuatnya makin nyaman berada di lingkungan para wibu.
Hobi cosplay-nya terus berlanjut, bahkan setelah dia kerja di Jakarta. Pernah gajinya dalam sebulan ludes hanya untuk bikin kostum sebuah karakter anime. Apalagi di sana hampir setiap pekan pasti ada event Jepang-jepangan untuk para cosplayer.
“Tapi akhirnya enggak jadi juga, padahal udah habis banyak, waktu itu lagi bucin-bucinnya sama Jepang-jepangan,” lanjutnya sembari terkekeh mengenang masa mudanya.
Sampai sekarang pun, ketika sudah berkeluarga dan telah bekerja sebagai seorang pegawai di sebuah kantor pemerintahan di Bantul, Tama masih suka ikut event-event cosplay meskipun sudah tidak sesering dulu. Selain berubahnya prioritas dan berkurangnya waktu luang, event Jepang-jepangan di Jogja juga tidak sebanyak di Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Kalau di Jakarta bisa tiap minggu ada event, di Jogja setahun dua atau tiga kali aja udah bagus,” ujarnya.
Sekarang, hampir semua hal yang dia inginkan sebagai seorang wibu telah tercapai. Anime-anime favorit sudah dia tonton, event-event cosplay sudah kenyang, mainan-mainan impian masa kecil juga sudah mampu dia beli. Tapi ada satu impiannya sebagai seorang wibu yang belum berhasil dia capai.
“Yaitu pergi ke Jepang, terutama Akihabara, itu surganya para wibu,” kata Tama.
Akihabara memang dikenal sebagai pusat perbelanjaan yang menjual segala hal yang diimpikan para wibu. Akihabara adalah tempat khusus untuk manga,anime, dan video game termasuk Tokyo Anime Center dan masih banyak lagi.
Naik Haji Ala Wibu
Setiap wibu mungkin punya mimpinya masing-masing. Entah itu membeli mainan atau action figure impian, nonton konser band-band Jepang idola, atau memerankan salah satu karakter di dalam anime seperti impian Galih Dwi Ramadhan, 25 tahun.
ADVERTISEMENT
“Saya ingin main di Kamen Rider, jadi apapun, yang penting main di film itu,” kata Galih.
Sebagai anak 90-an, anime Kamen Rider benar-benar melekat di pikirannya, terutama aksi-aksi heroiknya yang mengesankan. Bersama sejumlah penggemar Jepang-jepangan yang tergabung dalam sebuah perkumpulan bernama Werewolf Cosproject, Galih juga sering memainkan drama Kamen Rider dari panggung ke panggung.
“Cita-cita tiap wibu mungkin beda, tapi impian tertingginya pasti sama yaitu naik haji, bukan ke Mekah tapi ke Jepang,” ujarnya.
Ya, bagi para wibu bisa pergi ke Jepang sudah seperti naik haji. Rukun wibu 1 sampai 4 bisa berbeda-beda, tapi rukun kelima pasti naik haji ke ‘tanah suci’ Jepang.
“Mau ngapain? Belanja mainan,” ujarnya.
Apa yang dikatakan Galih, diaminkan oleh Erika, 23 tahun, seorang wibu yang kini masih jadi mahasiswi arsitektur di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Sebagai penggemar berat video game Touken Ranbu, Erika ingin sekali mengunjungi beberapa museum di Jepang yang memiliki koleksi pedang atau senjata yang digunakan dalam video game Touken Ranbu.
ADVERTISEMENT
“Soalnya aku suka banget sama senjata-senjatanya, yang aku baca itu ada museum yang punya koleksinya lengkap sama cerita dan sejarahnya,” kata Erika.
Bagi banyak orang, mungkin impian para wibu itu tak masuk akal. Jauh-jauh ke Jepang hanya untuk belanja mainan atau sekadar mengunjungi museum. Tapi namanya hobi, kenikmatannya hanya bisa diketahui oleh mereka yang memang sudah jatuh hati dengan hobi itu. Dan puncak kenikmatan seorang wibu adalah bisa menginjakkan kaki di Jepang.
“Sama kayak orang capek-capek naik gunung, bagi orang yang enggak hobi kan enggak masuk akal, tapi bagi yang hobi itu ada kenikmatan yang enggak bisa dijelasin pakai kata-kata,” ujarnya.
Minim Event, Tarif Jauh dari Layak
Ketika masih berusia belasan, Desandi Saruindo, 25 tahun, juga punya mimpi yang sangat menggebu untuk bisa ‘naik haji’ ke Jepang. Namun bertambahnya usia, persoalan hidup ternyata semakin kompleks dan perlahan membuatnya lebih realistis. Meski masih aktif dalam dunia perwibuan dan sesekali masih mengikuti event-event cosplay, Sandi tak lagi terlalu berambisi untuk pergi ke Jepang.
ADVERTISEMENT
“Jelas masih ingin, tapi makin tua aku merasa makin berubah jadi manusia normal,” kelakarnya.
Yang paling penting menurut dia saat ini justru menghidupkan dan mengembangkan lagi event-event Jepang-jepangan yang ada di Jogja, entah itu event cosplay, konser band-band bergenre japanese, pameran, dan segala hal tentang budaya Jepang sehingga para wibu punya wadah untuk mengekspresikan diri mereka.
“Soalnya selama ini event di Jogja masih sangat terbatas, padahal sebenarnya banyak banget penggemar Jepang-jepangan,” kata Sandi.
Hal sama disampaikan oleh Galih Restu, 19 tahun. Dia adalah salah seorang wibu yang paling muda dan paling aktif dalam setiap event di Jogja
Menurut Restu, saat ini event-event tersebut masih sangat terbatas di Jogja. Paling setahun hanya sekali dua kali, itupun yang mengadakan paling skala mal. Padahal jumlah wibu terus bertambah dari hari ke hari.
ADVERTISEMENT
“Syukur-syukur ada support dari pemerintah, misalnya ada event tahunan yang besar, itu bakal bantu banget untuk perkembangan ekosistem Jepang-jepangan di Jogja,” kata Restu.
Tak hanya intensitas event yang minim, tarif untuk bintang tamu yang mengisi event tersebut menurutnya juga masih jauh dari layak. Tak jarang sekali event sebuah kelompok cosplayer hanya diberi fee ratusan ribu, padahal anggota mereka bisa sampai 10 orang. Jika dibagi rata, modal yang dikeluarkan untuk kostum dan make up saja belum tentu tertutup dengan fee tersebut.
“Tapi daripada enggak ada event ya tetap kita terima, kalau emang enggak bener-bener suka ya enggak bakal kuat,” lanjutnya.
Event-event seperti ini sebenarnya juga bukan hanya jadi wadah berekspresi para wibu. Jika dikelola dengan baik, ekosistem ini juga bisa menghidupkan usaha-usaha kreatif yang ada di Jogja. Misalnya persewaan kostum untuk cosplay, make up artist, bisnis aksesoris-aksesoris Jepang, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
“Karena pasarnya sebenarnya sangat besar dan akan terus bertambah, terbukti tiap event pasti yang datang membludak kayak terakhir waktu di Sleman City Hall tahun kemarin yang sempat viral,” kata Galih Restu. (Widi Erha Pradana / YK-1)
*Ini cerita kedua dari 2 seri cerita wibu di Jogja. Simak seri pertama: