Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Pencalonan Pasangan Ganjar-Perkasa di Yogya Dinilai Terlalu Cepat
24 Mei 2022 15:33 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Akademisi dari Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar menilai pengusungan pasangan capres-cawapres oleh relawan di Yogyakarta terlalu cepat.
ADVERTISEMENT
Karena terlalu cepat sehingga pasangan ini terlalu cepat berada di bawah spotlight (liputan media) maka biasanya juga akan cepat mendapat gangguan-gangguan tertentu dari lawan politiknya.
Zainal mengungkapkan selama 4 kali Pemilihan Presiden (Pilpres) pasangan Capres-Cawapres tidak ada yang tidak diumumkan di masa injury time.
“Jokowi-JK, Jokowi-Maruf, semua di detik-detik terakhir. Nah usaha teman-teman memasangkan Ganjar Andika Perkasa ii terlalu cepat diumumkan. Lebih baik bicara orangnya dulu daripada memasangkan. Kalua serius jualan Andika, harus jual lebih keras dulu, jangan langsung di pilpreskan. Naikkan elektabilitasnya biar ada di orbit, orang lihat, dan jadi tertarik,” papar Zainal saat menjadi penanggap utama dalam acara bedah buku ‘Ganjar-Perkasa; Duet Maut Sipil Militer Menjaga Keutuhan NKRI’ pada Hari Kebangkitan Nasional, Jumat malam 20 Mei lalu di Yogyakarta.
Zainal mengungkapkan, ada beberapa kasus hukum yang berpotensi untuk digoreng kembali untuk mengganjal seorang calon presiden atau wakil presiden yang dicalonkan terlalu cepat.
ADVERTISEMENT
“Perkara terlibat benar atau tidak, dalam politik, itu tidak penting. Itu jadi faktor yang dimainkan untuk menekan saja. Cepat mengumumkan, minusnya adalah akan mendapat sorotan terlalu tinggi,” tandas Zainal.
Di kesempatan tersebut, tegas Zainal Arifin Mochtar mendeclare kehadirannya di acara malam itu hanya dalam konteks bedah buku dan tidak berurusan dengan pencalonan capres dan cawapres.
“Saya harus mendeclare diri saya sebagai PNS yang tidak boleh mendukung capres dan cawapres. Saya ke sini konteksnya bedah buku. Jangan sampai dianggap saya ikut dukung mendukung karena bisa diberhentikan dari PNS. Ada larangan untuk itu,” kata Zainal.
Menanggapi hal itu, salah satu tim penyusun buku Julius Felicianus mengatakan bahwa pemilu adalah pesta rakyat sehingga kegembiraan musti jadi semangat utama dalam setiap langkah rakyat terlibat dalam pemilu.
ADVERTISEMENT
Seperti pembuatan buku ‘Ganjar-Perkasa’ sebenarnya tidak didorong oleh hasrat politik tokoh tertentu sebaliknya justru didorong oleh aspirasi dari bawah.
“Buku ini sudah saya bawa ke beberapa tokoh politik, seperti Pak FX Rudi mantan Walikota Solo. Pertama beliau kaget, wah, kok koyo impenku? (kok seperti yang pernah muncul di mimpi saya,” kata Julius memulai paparannya, Selasa (24/5).
Julius melanjutkan,” Lalu beliau tanya Mas Ganjar sama Pak Andika tahu ini? Saya jawab ya belum. Ini kan bukan buku pesanan elit, ini buku dari bawah, menangkap aspirasi sekaligus memberi fakta-fakta kedua tokoh tersebut. Istilah kami, jangan sampai beli kucing dalam karung, kapasitasnya seperti apa, harus jelas dulu.”
Julius mengatakan sering sekali dukungan rakyat pada sosok tertentu tidak disertai dengan pertimbangan rasional bagaimana kiprah calon tersebut selama menjadi pejabat publik. Adakah perubahan yang dia lakukan dengan kewenangan selama menjabat tersebut.
ADVERTISEMENT
“Mas Ganjar semua sudah tahu seperti apa. Tapi Pak Andika ini bagaimana kiprahnya selama di TNI, apa saja yang beliau kerjakan, ini belum banyak tahu. Kita melihat Pak Andika bisa jadi Game Changer peta politik nasional. Melihat peta capres yang keras, posisi wapres ini malah bisa jadi penentu,” jelas Julius.
Zainal Arifin Mochtar dalam penutupnya juga mengatakan bahwa pemilu, benar, harus menjadi kegembiraan rakyat. Tidak seperti dua periode pemilu sebelumnya yang justru membelah rakyat dalam pertentangan keras.
Salah satu masalah dalam pemilu Indonesia, menurut Zainal adalah sistem Presidential Threshold yang menyebabkan masyarakat tidak bisa dengan gembira mencalonkan sosok capres-cawapres yang diyakini bagus. Semenarik sosok calon bagi masyarakat tidak bisa maju kalau tidak direstui partai.
ADVERTISEMENT
“Betapa buruk Presidential Threshold ala Indonesia. Beda antara ambang batas keterpilihan presiden (50%+1) dengan ambang batas pencalonan. Tidak ada negara di dunia yang menetapkan ambang batas pencalonan, ini hanya Indonesia. Kalau Ganjar-Perkasa ditolak partai ya mari ramai-ramai tolak Presidential Threshold,” pungkas Zainal.