Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Pengorbanan yang Harus Ditempuh Para Penjaga Toko Kelontong Madura
1 Juni 2021 18:17 WIB
·
waktu baca 7 menitADVERTISEMENT
Matahari telah tenggelam sepenuhnya. Adzan maghrib baru saja selesai dikumandangkan. Pada layar 14 inci itu, seorang presenter berita sedang melaporkan fenomena gerhana bulan total langka yang hanya terjadi 195 tahun sekali: super blood moon.
ADVERTISEMENT
Televisi itulah yang menjadi hiburan satu-satunya bagi Rosyidah, 34 tahun, selain sebuah gawai yang jarang sekali lepas dari genggamannya. Televisi itu juga yang selalu menemaninya atau suaminya ketika mereka sedang mendapat giliran jaga malam. Meski tak ditonton, setidaknya suara televisi dapat sedikit mengusir hening dan sepi terutama setelah tengah malam sampai subuh.
Rosyidah dan suaminya adalah seorang penjaga sebuah toko kelontong Madura yang ada di daerah Sidoarum, Godean, Sleman. Karena mesti buka 24 jam, keduanya harus berbagi waktu untuk tidur. Ketika Rosyidah sedang bertugas jaga toko petang itu, sang suami tengah terlelap di lantai yang hanya dilapisi kasur tipis. Tak ada kamar khusus untuk mereka tidur, mereka hanya tidur di sisa ruangan yang hanya dibatasi oleh etalase rokok.
ADVERTISEMENT
“Di sini aja, makan, tidur, ngapain semuanya di sini,” kata Rosyidah, Rabu (26/5).
Tak hanya buka 24 jam, toko kelontong Madura juga buka tujuh hari dalam seminggu. Tak ada waktu untuk berlibur. Hampir seluruh hidup mereka dihabiskan di dalam ruangan 3x4 meter itu. Selebihnya habis di jalanan, pasar, atau toko ketika mereka belanja untuk membeli stok-stok barang yang mulai menipis.
“Semuanya sendiri, belanja, mencatat keuangan, mendata stok barang. Berdua saja,” lanjutnya.
Meskipun ukurannya jauh lebih kecil ketimbang swalayan-swalayan waralaba macam Indomaret dan Alfamart, bukan berarti barang-barang yang dijual di toko kelontong Madura itu sedikit. Berbagai jenis bahan pokok, camilan, minuman botolan, roti-rotian, bumbu dapur, hingga hampir 100 merek rokok tersedia di sana.
ADVERTISEMENT
Dan itu menjadi PR tersendiri, bagaimana memanfaatkan centi demi centi toko kelontong mereka untuk memajang barang-barang yang dijual. Ada yang ditempatkan di rak, lemari es, lemari kaca, digantung, sampai disimpan di tempat mereka tidur, baru setelah ada yang tanya akan mereka keluarkan.
“Karena warungnya sempit jadi harus pinter-pinter manfaatinnya,” ujarnya sembari melayani seorang pemuda yang membeli sebungkus Surya di tokonya.
Karena mesti buka 24 jam, selain mesti menahan kantuk dan udara dingin malam, Rosyidah dan sang suami juga dibayangi risiko kejahatan jalanan. Apalagi saat ini berita tentang kejahatan jalanan pada malam hari di Jogja semakin sering terdengar.
Apalagi dia pernah mengalami kejadian tak mengenakan ketika bekerja di Jakarta sebagai penjaga kelontong Madura juga. Meski tak sampai setahun, entah berapa kali dia mengalami ancaman kejahatan baik berupa pemalakan, penipuan, atau pencurian di toko kelontongnya.
ADVERTISEMENT
“Awalnya juga takut, tapi ternyata di Jogja enak, orangnya baik-baik, seneng,” kata Rosyidah.
Jualan Sambil Urus Bayi
Beruntung, Rosyidah dan suaminya memiliki seorang anak yang sudah besar. Anak mereka sudah SMA, sehingga bisa ditinggal di Madura dan tetap bersekolah di kampung halamannya. Lain dengan Yais, 41 tahun dan istrinya yang juga bekerja sebagai penjaga toko kelontong Madura di daerah Selokan Mataram, Seturan.
Yais masih memiliki seorang anak yang masih bayi, dan sudah tiga bulan ini menjadi penjaga toko kelontong bersama istrinya. Penjaga kelontong sebelumnya, pulang ke Madura dan tak tahu kapan akan kembali lagi.
“Kalau pengin pulang, ya pulang. Di rumah ya ngapain aja, ngurus kebun, ternak, apa aja yang bisa dikerjain di sana, atau cuman pengin istirahat aja,” kata Yais ketika ditemui, Selasa (25/5).
ADVERTISEMENT
Bekerja sambil mengurus anak yang masih bayi memiliki kesulitan tersendiri. Pagi dan sore hari harus memandikan, menyuapi, hingga menidurkan. Akan semakin rumit ketika anak mereka sedang rewel-rewelnya, misalnya ketika anaknya sedang kurang sehat.
Tak jarang, waktu tidur yang sudah banyak berkurang masih harus dikurangi lagi karena sang anak menangis terus pada tengah malam.
“Namanya cari rezeki sesulit apa juga akan diusahakan. Apalagi kita merantau, enggak boleh cengeng,” ujarnya.
Seperti siang itu, Yais dari semalam belum sempat untuk tidur. Selepas berjaga, pagi hari dia harus belanja karena stok barang di toko kelontongnya makin menipis. Selepas zuhur ketika dia baru saja akan merebahkan tubuhnya di kasur yang tak seberapa tebal, anaknya merengek. Tidurpun harus ditunda lagi, karena istrinya yang mestinya berjaga mesti mengurus dan menenangkan anak mereka.
ADVERTISEMENT
“Sering, namanya juga bayi kadang enak kadang rewel, enggak tentu,” kata Yais.
Hidup Berlima di Dalam Warung yang Sempit
Toko kelontong yang ukurannya hanya sekitar 3x3 meter di dekat kampus UNY tampak sesak. Bukan oleh pembeli, tapi oleh Naizila Siska Amelia, 38 tahun, dan keluarganya. Toko kelontong itu adalah miliknya sendiri, sehingga seluruh keluarganya: suami dan tiga orang anaknya diajak semua ke Jogja.
Anak yang paling besar, Habib, berusia 16 tahun. Siang itu dia sedang tiduran di lantai tanpa alas, di bawah rak yang penuh terisi oleh berbagai jenis minuman botolan. Mukanya masih mengantuk, dia baru bangun setelah semalam mendapat jatah jaga toko bersama sang ayah.
Sementara itu, sang ayah tampak masih tidur pulas di sebuah ruangan kecil di pojok toko yang hanya dibatasi oleh selembar kain biru tua yang tidak mampu menutup dengan rapat karena kurang lebar. Anak perempuan mereka yang masih SMP baru saja selesai memandikan adik perempuannya yang paling kecil, masih balita. Karena sekolah masih online, maka dia diajak ke Jogja daripada sendiri di rumah.
ADVERTISEMENT
“Kalau malam tidur ya tinggal tidur, ada yang di kamar, ada yang asal tidur aja di lantai,” kata Amel.
Sayang rasanya jika mengeluarkan uang untuk menyewa kamar kos atau mengontrak rumah. Toh siang dan malam mereka harus di toko. Ketimbang menyewa kamar kos tapi tidak terpakai, mending menyulap toko kelontong sekaligus jadi rumah saja.
“Kamar mandi satu, ini yang agak susah, kadang rebutan terutama pas pagi hari,” ujarnya.
Karena tidak harus berangkat sekolah maupun ke kantor, urusan mandi memang bisa dikesampingkan. Namun yang kerap jadi soal adalah urusan buang hajat. Betapa menyebalkan ketika bangun pagi-pagi ingin kencing atau buang air besar tapi masih harus nunggu orang di kamar mandi.
“Kalau yang lainnya kayak tidur, makan, mandi, enggak ada masalah. Ya di sini aja semuanya,” ujar Amel.
ADVERTISEMENT
Berbagi 50:50
Namanya usaha, tentu pendapatan berbeda-beda. Abdurrohim, 48 tahun, seorang penjaga toko kelontong Madura yang ada di daerah Jalan Kaliurang KM 5 mengatakan pendapatan sebuah toko kelontong sangat dipengaruhi dua hal. Pertama kelengkapan toko tersebut, kedua adalah lokasi yang strategis.
Toko kelontong yang dia jaga termasuk lengkap, dan lokasi tokonya berada di dekat kampus sehingga banyak mahasiswa yang menjadi konsumen mereka. Pendapatan toko kelontongnya cukup mencengangkan.
“Sekarang karena corona sepi, paling Rp 4 juta sampai Rp 5 juta sehari,” kata Rohim.
Sebelum pandemi pendapatan toko lebih besar lagi, dalam sehari bisa mencapai Rp 7 juta sampai Rp 8 juta.
Dengan omzet yang menurun cukup signifikan, dalam sebulan keuntungan toko masih bisa mencapai Rp 15-20 juta.
ADVERTISEMENT
“Setelah dipotong biaya kontrak, listrik, dan sebagianya dibagi dua sama pemilik toko, 50:50. Ya masih lumayan lah sepadan dengan kerja keras kita jaga toko 24 jam, kata Rohim.
Barangkali besarnya pendapatan toko kelontongnya karena tempatnya yang sangat strategis, karena berada di tengah kota dan masih banyak orang lewat meski sudah tengah malam. Tapi toko kelontong Madura yang dijaga oleh Rosyidah, yang lokasinya cukup terpinggir dan jauh dari pusat kota, pendapatannya bahkan lebih tinggi.
“Sehari semalam itu bisa Rp 6 juta,” kata Rosyidah.
Toko kelontong Rosidah lebih ramai pada malam hari. Salah satu faktor penting tidak lain karena semakin sedikit pesaing pada malam hari. Tak banyak toko atau swalayan yang masih buka tengah malam atau dini hari, dan toko kelontongnya menjadi satu-satunya pilihan orang sekitar jika ingin belanja sesuatu.
ADVERTISEMENT
“Paling banyak kalau malam beli rokok,” ujarnya.
Menurutnya, pendapatan itu sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Keuntungan yang diperoleh setimpal dengan banyak hal yang harus mereka bayar: mengurangi waktu tidur; mengerjakan semua pekerjaan toko dari mulai belanja, menjual, sampai pembukuan; risiko bahaya kejahatan pada malam hari; serta segala kerumitan yang mesti mereka tanggung ketika membawa anak dan keluarga mereka bekerja.
“Lumayan lah, walaupun berat tapi semuanya terbayar. Kalau mau pendapatan besar ya harus mau berkorban lebih,” kata Rosyidah.
**Ini adalah seri ketiga dari 3 liputan yang memotret ketangguhan UMKM toko eceran dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Baca juga seri 1 dan 2: