Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Sejarawan: Di Jakarta Ada Dwitunggal Soekarno-Hatta, di Yogya Ada HB IX-PA VIII
7 November 2022 17:22 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Presiden RI, Joko Widodo, resmi menetapkan tokoh dari Yogyakarta, yakni Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam VIII sebagai pahlawan nasional. Penganugerahan gelar pahlawan nasional itu dilaksanakan secara simbolik oleh Jokowi langsung di Jakarta, Senin (7/11).
ADVERTISEMENT
Sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Baha'uddin, mengatakan bahwa sosok Paku Alam VIII memang layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dia mengatakan, Paku Alam VIII punya peran penting untuk menjaga eksistensi NKRI, terutama pada periode awal kemerdekaan.
Menurut Baha'uddin, sosok Paku Alam VIII ibarat Mohammad Hatta yang mendampingi Soekarno di Jakarta. Di Yogyakarta, Paku Alam VIII adalah pendamping Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX.
“Dua tokoh ini sebenarnya dwi tunggalnya Yogyakarta. Jadi sama kalau di Jakarta itu kan ada Soekarno-Hatta, nah kalau di Yogya itu ada HB IX dan Paku Alam VIII,” kata Baha’uddin.
Dwi tunggal Yogya itulah yang memutuskan bersama-sama mengirimkan telegram ke Jakarta sehari setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Isi telegram itu pada intinya ucapan selamat atas diproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Telegram itu kemudian langsung direspons oleh Soekarno-Hatta pada 19 Agustus 1945, berupa piagam penetapan kedua wilayah di Yogya, yakni Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta sebagai wilayah istimewa dalam negara Indonesia. Namun, piagam tersebut baru diterima di Yogya pada 6 September 1945.
“Padahal tanggal 5 September, PA VIII dan HB IX mengeluarkan maklumat 5 September yang isinya kedua wilayah tersebut menjadi bagian dari NKRI sebagai daerah istimewa,” ujarnya.
Hal ini karena pada saat proklamasi Indonesia, wilayah Yogyakarta masih menjadi negara yang memiliki kedaulatan sendiri di luar Indonesia. Karena itu, dalam proklamasi kemerdekaan Yogyakarta juga awalnya tidak menjadi bagian dari NKRI.
Keputusan dwi tunggal Yogya ini kemudian menjadi keputusan yang krusial, ketika pada September 1945 sekutu datang ke Indonesia melalui Jakarta dan membuat Jakarta menjadi tidak aman. Di situlah Paku Alam VIII dan HB IX kemudian menawarkan kepada Soekarno untuk memindahkan Ibu Kota Indonesia ke Jakarta.
ADVERTISEMENT
Setelah ibu kota pindah ke Yogya, peran Paku Alam VIII terhadap eksistensi NKRI semakin sentral. Saat HB IX fokus pada urusan nasional karena menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Paku Alam VIII lah yang mendapat tugas mengurus internal Yogya sebagai ibu kota negara.
“Di situlah kemudian terjadi kerja sama yang harmonis antara HB IX dan PA VIII,” kata dia.
Paku Alam VIII menurut Baha’uddin juga memiliki peran yang sangat penting pada saat agresi militer Belanda kedua pada Desember 1948. Banyak sekali maklumat-maklumat yang dikeluarkan, baik oleh HB IX maupun oleh PA VIII untuk membuat situasi sosial di masyarakat sipil tetap aman, namun militernya bisa melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Misalnya saat laskar-laskar rakyat di Yogya setiap malam banyak yang datang ke Puro Pakualaman. Selain menjadi markas persembunyian selama melakukan gerilya, PA VIII juga hampir selalu memberikan uang kepada laskar-laskar tersebut sebagai bekal mereka bergerilya.
ADVERTISEMENT
“Saya dapat informasi dari putra Paku Alam VIII yang masih sugeng, beliau Paku Alam VIII itu punya kotak dari besi yang isinya uang, dan kalau ada laskar yang masuk ke Puro Pakualaman itu diberi uang itu untuk bekal,” ujarnya.
Puncak peran penting Paku Alam VIII menurut Baha’uddin terjadi saat Serangan Umum 1 Maret. Meski Paku Alam VIII tak terlibat langsung dalam serangan itu, tapi dia mengetahui bahwa serangan itu direncanakan dengan sangat matang.
Ketika terjadi penarikan tentara Belanda dari Yogya, dimana HB IX fokus mengembalikan Soekarno-Hatta dan beberapa tokoh lain yang diasingkan di Bangka, Paku Alam VIII memegang penuh kendali di Yogya. Dia bertugas untuk mengawasi proses penarikan tentara Belanda sekaligus masuknya TNI ke Yogya.
ADVERTISEMENT
“Itu yang memegang kendali Paku Alam VIII, dan itu zero incident, tidak ada insiden sama sekali,” kata dia.
Sebab, sebelumnya Paku Alam VIII telah memberikan maklumat kepada seluruh warga Yogya untuk tidak boleh ada warga yang keluar rumah selama masa penarikan tentara Belanda.
Masih banyak kontribusi Paku Alam VIII untuk Indonesia menurut Baha'uddin. Misalnya menjadi ketua penyelenggara perundingan Komisi Tiga Negara di Kaliurang pada Januari 1948 yang membahas solusi atas permusuhan Indonesia dan Belanda.
Selain itu, Paku Alam VIII juga jadi ketua penyelenggara pemilu lokal di DIY pada 1951. Pemilu lokal itu kemudian dijadikan model untuk menyelenggarakan Pemilu 1955 yang disebut-sebut menjadi pemilu paling demokratis di Indonesia.
Peristiwa-peristiwa itu menunjukkan bahwa Paku Alam VIII juga memegang peran kunci dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari gempuran penjajah. Namun, selama ini peran Paku Alam VIII menurut Baha’uddin memang tidak terlalu terlihat, bahkan kerap dilupakan.
ADVERTISEMENT
Hal ini karena memang Paku Alam VIII lebih banyak mengurus urusan internal di Yogyakarta sebagai ibu kota negara, tidak seperti HB IX yang banyak menangani urusan di level nasional dan banyak berinteraksi dengan Soekarno, Hatta, dan tokoh-tokoh nasional lainnya.
“Selama ini yang menonjol memang peran HB IX, karena memang HB IX begitu ibu kota pindah ke Yogya diangkat jadi menteri. Padahal ada pembagian pekerjaan antara HB IX dan PA VII, yang di level nasional itu ditangani HB IX sedangkan yang mengurus Yogya secara internal sebagai ibu kota adalah Paku Alam VIII,” kata Baha’uddin.
Selain Paku Alam VIII, Jokowi juga menetapkan empat tokoh lain sebagai pahlawan nasional, diantaranya Alm. Dr. dr. H. R. Soeharto dari Jawa Tengah; Alm. dr. R. Rubini Natawisastra dari Kalimantan Barat; Alma. H. Salahuddin bin Talabuddin dari Maluku Utara; dan Alm. K.H. Ahmad Sanusi dari Jawa Barat.
ADVERTISEMENT