Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Sektor Pertahanan Rawan Korupsi, Rencana Borong Jet Tempur Harus Transparan
14 Februari 2022 18:52 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Rencana pemerintah Indonesia untuk memborong 42 jet tempur Dassault Rafale dari Prancis dan 36 pesawat F-15ID dari Amerika Serikat dinilai harus memperhatikan aspek akuntabilitas dan transparansi secara serius. Pasalnya, dana yang akan dikeluarkan Indonesia untuk memborong pesawat itu tak main-main, Rp 116 triliun untuk Dassault Rafale, dan Rp 199 triliun untuk F-15ID.
ADVERTISEMENT
Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement, Anton Aliabbas, mengatakan akuntabilitas dan transparansi ini penting mengingat dalam survei transparansi internasional 2021 mengidentifikasikan bahwa sektor pertahanan Indonesia masih rawan korupsi dan minim perbaikan.
“Mengingat dana yang akan dikeluarkan sangat besar, penting kiranya Kementerian Pertahanan membuka akses untuk mengetahui kontrak pembelian yang kelak ditandatangani,” kata Anton Aliabbas, saat dihubungi melalui Whatsapp, Senin (14/2).
Anton juga mengingatkan supaya pemerintah memperhatikan pengelolaan pendanaan tahun jamak. Karena besarnya nilai pembelian puluhan alutsista ini, maka mekanisme dan prosedur pembayaran kontrak harus dapat diatur. Jangan sampai pemerintah mengulangi masalah pembayaran kontrak pengadaan KFX/IFX dengan Korea Selatan, dimana pembayaran kewajiban Indonesia macet sejak 2017.
Indonesia dan Korea menyetujui perjanjian kerja sama untuk membagi beban biaya produksi jet tempur KFX/IFX pada 2014 dan 2016. Dalam kontrak tersebut, pemerintah Korea Selatan menanggung beban sebesar 60 persen pembiayaan, sedangkan sisanya dibagi dua antara pemerintah Indonesia dan Korea Aerospace Industries (KAI), dimana masing-masing menanggung 20 persen. Total, dari Rp 20,3 triliun yang harus dibayarkan, sampai saat ini pemerintah Indonesia masih menunggak sebesar Rp 7,1 triliun.
ADVERTISEMENT
“Jadi jangan sampai permasalahan itu terulang lagi, apalagi kali ini nilainya jauh lebih besar,” ujarnya.
Mengingat pembelian kali ini dilakukan secara borongan, Anton juga menilai pemerintah Indonesia penting untuk melakukan penguatan industri pertahanan nasional. Pemerintah mesti melibatkan secara serius industri pertahanan nasional, terutama terkait pembicaraan negosiasi offset dan konten lokal seperti yang diamanatkan UU No 16/2012 tentang Industri Pertahanan.
Alutsista TNI Butuh Peremajaan
fMeski banyak catatan yang harus diperhatikan, namun Anton tidak menampik bahwa Indonesia memang perlu memborong jet tempur Rafale dan F-15ID tersebut, mengingat kondisi alutsista TNI yang sudah makin tua dan butuh peremajaan. Pandemi COVID-19 memang telah jadi tantangan besar pemerintah dalam melakukan modernisasi alutsista karena banyak anggaran yang dialihkan untuk penanganan pandemi. Namun di tengah upaya pemulihan ekonomi ini, pembaruan alutsista menurut dia tetap tidak bisa dihindari.
ADVERTISEMENT
“Sekalipun perang terbuka dalam skala besar di kawasan belum berpeluang besar, ketegangan dalam skala terbatas dapat terjadi sekalipun di masa pandemi. Untuk itu, peremajaan alutsista tetap harus dilakukan,” ujar Anton Aliabbas.
Kondisi ini menurut Anton juga semakin menunjukkan bahwa kawasan Indo-Pasifik mempunyai nilai strategis dalam dinamika geopolitik di masa mendatang. Mau tidak mau, negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis merasa ingin terlibat dalam pusaran dinamika geopolitik kawasan. Dengan demikian, rencana pengadaan ini menurutnya tidak bisa dilepaskan dari konteks dinamika lingkungan strategis kawasan.
“Dan Indonesia dinilai sebagai salah satu mitra strategis negara tersebut untuk dapat berkiprah di kawasan,” lanjutnya.
Rencana pembelian ini juga semakin menunjukkan pola diplomasi pertahanan yang dilakukan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Dalam dua tahun terakhir, Prabowo terlihat untuk menjaga dan meningkatkan hubungan bilateral dengan lima negara pemilik hak veto di PBB.
ADVERTISEMENT
“Hal ini dapat dilihat dari intensitas pertemuan, baik yang dilakukan melalui kunjungan kerja maupun pertemuan di domestik,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)