Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Sultan HB X: Tebu Ubah Yogya dari Hutan Beringin Jadi Kerajaan Metropolis
6 Maret 2023 15:59 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengungkapkan bahwa tebu jadi salah satu tanaman penting yang telah mengubah tatanan pemerintahan Keraton Yogyakarta. Tanaman tebu menurut Sultan telah menjadikan Keraton Yogyakarta sebagai kota kerajaan metropolis pada pertengahan abad ke-19.
ADVERTISEMENT
Padahal, sebelumnya kawasan Yogyakarta merupakan hutan beringin sebelum dibuka oleh Pangeran Mangkubumi pasca Perjanjian Giyanti pada 1755.
Hal itu disampaikan oleh Sultan saat membuka ‘Pameran Narawandira: Keraton, Alam, dan Kontinuitas’ di Keraton Yogyakarta pada Sabtu (4/3) kemarin.
Dalam beberapa dekade, masyarakat Kasultanan menurutnya berhasil menyulap lahan-lahan kritis dan rusak menjadi lahan pertanian yang subur dan produktif.
“Pada paruh abad ke-19, tebu mengubah Yogyakarta menjadi Kota Kerajaan yang metropolis,” kata Sri Sultan HB X, sabtu (4/3).
Komoditas tebu menurutnya telah mendorong laju perekonomian Keraton Yogya yang sangat pesat. Hingga pada tahun 1835, pabrik gula tebu pertama di Yogya didirikan oleh masyarakat Tionghoa dan mampu menghasilkan 1.000 pikul gula. Tahun 1846, produksinya terus meningkat menjadi 4.000 pikul bersamaan dengan harga gula yang mulai naik.
ADVERTISEMENT
“Puncak produksi gula tebu terjadi pada tahun 1866, sebanyak 64.500 pikul,” ujarnya.
Tahun 1870, kemudian terjadi investasi besar-besaran terhadap perkebunan swasta dengan mendirikan pabrik gula. Yogyakarta yang memiliki tanah dan iklim yang sangat cocok untuk tanaman tebu menjadi tempat favorit swasta untuk menanamkan investasi di sektor ini.
Pada 1909, di wilayah Kasultanan Yogyakarta terdapat sedikitnya 17 pabrik gula yang beroperasi. Beberapa di antaranya PG Randu Gunting, PG Tanjung Tirto, PG Wonocatur, PG Kedaton Pleret, PG Rewulu, PG Demak Ijo, PG Klaci, PG Medari, PG Beran, PG Cebongan, PG Bantul, PG Sedayu, PG Gondang Lipuro, PG Sewugalur, PG Gesikan, PG Pundong, dan PG Barongan.
“Banyaknya pabrik gula di wilayah ini membuat Kasultanan Yogyakarta menjadi salah satu wilayah industri gula terbesar di waktu itu,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Sri Sultan HB VII yang saat itu menjadi pemimpin Keraton Yogyakarta mengambil peran dalam menyewakan tanah-tanah lungguh sebagai lokasi pabrik gula, serta menanam modal bagi pabrik-pabrik gula tersebut.
Meski tanaman tebu memiliki sejarah penting dalam perkembangan Kasultanan Yogyakarta, namun menurut Sultan ada banyak tanaman lain yang juga berperan dalam perubahan tata pemerintahan Yogyakarta. Vegetasi historis dan filosofis seperti tanaman asem, tanjung, beringin, kepel, hingga belimbing wuluh menurutnya juga sangat dekat dengan komos masyarakat Yogyakarta.
Misalnya vegetasi yang ditanam di sepanjang Sumbu Filosofi yang kini jadi jalan-jalan protokol di Yogya, yang semuanya memiliki makna filosofis tersendiri. Karena itu, Sultan mengajak masyarakat untuk tidak sekadar memanfaatkan dan mengeksploitasi berbagai tanaman yang ada, tapi juga ikut melestarikannya dari mulai lingkup yang paling kecil.
ADVERTISEMENT
“Vegetasi hari ini tidak sekadar padi, tebu, pohon, batang, bunga, daun, dan hutan yang membentang. Melainkan berbagai kearifan dari alam yang memenuhi ruang sakral dan profan dalam waktu yang bersamaan,” kata Sri Sultan HB X.
Sebagai informasi, Pameran Narawandira: Keraton, Alam, dan Kontinuitas akan digelar di area Kedhaton Keraton Yogyakarta mulai 5 Maret sampai 29 Agustus 2023. Pameran tersebut akan menampilkan beragam vegetasi yang memiliki keterkaitan dengan Keraton Yogyakarta, serta menampilkan beragam kegiatan pendukung lainnya.