Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Teater Garasi Tampil di Artjog 2023, Adopsi Video Game agar Tetap Relevan
3 Juli 2023 14:23 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Teater Garasi melakukan pementasan di panggung Artjog 2023 di Jogja National Museum (JNM) selama tiga malam berturut-turut setelah hampir satu dekade tak pernah pentas di Yogya. Pementasan pertama dilakukan pada Sabtu (1/7) yang diperuntukkan untuk para undangan, kemudian dua malam setelahnya kembali melakukan pementasan yang dibuka untuk umum.
ADVERTISEMENT
Dalam pementasan kali ini, Teater Garasi membawakan pertunjukan dengan judul ‘Waktu Batu: Rumah yang Terbakar’ yang merupakan versi terbaru dari proyek panjang ‘Waktu Batu’ yang dimulai sejak 2001 silam.
Sepanjang 2002 sampai 2006, karya ini telah melahirkan beberapa versi yang sudah dipentaskan di sejumlah kota di Indonesia maupun di luar negeri, seperti Singapura, Tokyo, hingga Berlin. Tahun lalu, karya ini juga sempat dipentaskan di Candi Borobudur dalam Festival Indonesia Bertutur.
Sutradara ‘Waktu Batu: Rumah yang Terbakar’, Yudi Ahmad Tajudin, mengatakan bahwa versi terbaru ini fokus pada isu tematik yakni duka ekologis atau ecological grief.
“Bedanya yang paling besar adalah karakter game, visual, peristiwa, gestur, itu lebih coba kami kayakan dibanding tahun lalu. Harapannya, isu ecological grief itu juga lebih nyambung ke teman-teman yang lebih muda, karena saya kira isu ini kan paling genting untuk teman-teman muda,” kata Yudi Ahmad Tajudin, Sabtu (1/7).
ADVERTISEMENT
Isu lingkungan menjadi fokus utama Teater Garasi karena isu ini merupakan isu yang paling mendesak untuk segera diselesaikan. Semua kota besar di Indonesia, mulai dari Yogya, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan yang lainnya tengah menghadapi isu tersebut.
Meski begitu, versi ‘Waktu Batu: Rumah yang Terbakar’ ini tetap mempertahankan beberapa adegan di dalamnya. Banyak adegan dalam versi ini yang sama dengan versi-versi sebelumnya.
Yudi mengatakan, sebagai sebuah repertoar pertunjukan, sejak awal basis teks dari Waktu Batu adalah tiga mitologi Jawa yang berkaitan dengan waktu, yakni Murwakala, Sudamala, dan Watu Gunung.
“Kami tidak membuat karya baru, jadi ini versi baru, basis teks itu tetap kami gunakan, tapi sebagaimana kemudian niatan mengundang performer muda, bagaimana dia tetap aktual,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Selain menonjolkan isu lingkungan, dalam penampilan kali ini Teater Garasi juga banyak menampilkan fragmen tentang perempuan.
Asisten Sutradara ‘Waktu Batu: Rumah yang Terbakar’, Luna Kharisma, mengatakan bahwa dalam isu duka ekologis perempuan adalah pihak pertama yang akan terdampak duka ekologis tersebut.
“Kami mencoba untuk melakukan dekolonialisasi pengetahuan juga yang kemudian penguatan teks itu kami tajamkan dari dapur, tadi kan ada adegan-adegan dimana produksi-produksi masakan dan pengetahuan itu berasal dari dapur,” kata Luna Kharisma.
Dalam pertunjukan kali ini, perempuan banyak ditampilkan tengah menggugat menggunakan tubuh dan pengetahuannya atas semua kerusakan ekologi yang terjadi.
“Dan pada saat yang sama sedang membangun agensi dan solidaritas kepada semua orang untuk mengajak bahwa ini peristiwa kita bersama, krisis lingkungan ini adalah kita yang menghadapinya, dan bagaimana ke depan kita harus bersama-sama,” ujarnya.
Penulis dan dramaturg ‘Waktu Batu: Rumah yang Terbakar’, Ugoran Prasad, mengatakan bahwa sebenarnya memang tidak terlalu banyak modifikasi naskah antara Waktu Batu versi ini dengan sebelumnya. Versi kali ini hanya terdapat penajaman-penajaman di berbagai lini.
ADVERTISEMENT
“Perubahan konstruksi besar sebenarnya enggak ada, tapi semuanya jadi lebih tajam, lebih semangat, lebih detail dan subtil dalam penyusunan adegannya,” kata Ugoran Prasad.
Perubahan kali ini menurut dia banyak disumbangkan oleh para aktor atau penampil serta penata visual yang membuat penampilan kali ini jadi lebih segar dibandingkan penampilan-penampilan sebelumnya.
Karena merupakan karya lama yang terus dimodifikasi, ada sejumlah ketegangan yang menurutnya dihadapi oleh Teater Garasi, salah satunya adalah apakah karya tersebut masih relevan dengan generasi hari ini. Apalagi sudah hampir satu dekade Teater Garasi tidak melakukan pementasan besar di Yogya.
“Jadi ada pertanyaan siapa nih penontonnya, generasi penonton terus berubah kan karena seiring dengan regenerasi mahasiswa dan seterusnya. Karena itu kami banyak juga mendengarkan teman-teman muda untuk menggarap versi ini agar bisa relevan dengan situasi hari ini,” ujarnya.
ADVERTISEMENT