Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Umat Buddha: Kami Sedih Candi Kami Diinjak, Dicoret, dan Ditempeli Permen Karet
9 Juni 2022 16:57 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Jika kamu adalah seorang Muslim, apa yang kamu rasakan jika Ka'bah, bangunan yang menjadi kiblat semua umat Islam saat beribadah dinaiki dan diinjak-injak oleh banyak orang, terlebih mereka bukanlah orang Islam? Jika kamu seorang Katolik, apa reaksimu jika Basilika Santo Petrus di Vatikan, salah satu tempat paling suci di agamamu dicoret-coret orang tak dikenal? Atau, bayangkan bagaimana perasaan orang Yahudi jika tempat suci mereka, yakni Tembok Ratapan di Yerusalem penuh dengan permen karet yang ditempelkan oleh para pengunjung.
ADVERTISEMENT
Begitulah yang dirasakan Supriyanto, 55 tahun, seorang Buddhis yang kini tinggal di daerah Tempel, Sleman.
Hatinya seperti teriris setiap melihat Candi Borobudur selalu dibanjiri pengunjung terutama saat musim libur panjang. Yang jadi masalah adalah, banyak perilaku para pengunjung yang bertingkah seenaknya di salah satu tempat paling suci bagi umat Buddha itu.
“Mereka naik, stupa candi kami diduduki dan diinjak-injak. Enggak sampai di situ, candi kami juga dicoret-coret, ada puntung rokok, dan yang paling bikin sakit hati ditempelin permen karet,” kata Supriyanto selepas mengikuti puja bakti di Vihara Karangdjati di Jalan Monjali, Sleman, DIY.
Supri prihatin. Tapi sebagai umat biasa, tak banyak yang bisa dia perbuat. Sementara pengelola candi sendiri menurut dia banyak melakukan pembiaran atas berbagai pelanggaran yang terjadi. Baru akhir-akhir ini pihak pengelola mulai memperketat aturan berwisata di Candi Borobudur.
ADVERTISEMENT
“Perihatin banget, tapi bagaimana, kita ini kan tidak punya kapasitas, mau teriak-teriak juga tidak akan ada yang mau dengerin,” lanjutnya.
Semua permasalahan ini menurut Supriyanto disebabkan karena Candi Borobudur selama ini lebih dianggap sebagai tempat wisata, bukan sebagai tempat ibadah yang mesti dijaga dan dihormati kesuciannya. Hal itu membuat kesakralan Candi Borobudur sebagai tempat ibadah jadi terkikis.
Di sisi lain, orang yang bisa masuk ke kawasan candi juga sulit dikendalikan. Akibatnya banyak orang-orang yang kurang bertanggung jawab dan tidak memahami kesucian bangunan tersebut tetap bisa masuk selama dia mampu membayar tiket.
“Bayangin saja kalau ini terjadi di tempat ibadah agama lain, apalagi agama mayoritas, pasti geger,” kata Suprianto.
Hal serupa disampaikan oleh Nur Faizal Adkha, 31 tahun, seorang Buddhis lain di Yogyakarta. Sepanjang hidupnya, dia baru sekali datang ke Candi Borobudur, itupun ketika dia masih sangat kecil sekitar dua dasawarsa silam. Padahal untuk menuju Borobudur waktu yang dia butuhkan dari rumahnya tak sampai satu jam.
ADVERTISEMENT
Ketimbang beribadah di Candi Borobudur, dia justru merasa lebih nyaman beribadah di vihara. Karena terlalu ramai oleh wisatawan, menurutnya Candi Borobudur menjadi kurang nyaman untuk bersembahyang.
“Karena Candi Borobudur itu menurut saya justru lebih bersifat komersil, jadi sisi spiritualnya malah kurang kuat,” ujar Faiz.
Tak dipungkiri, ikon Candi Borobudur sebagai tempat wisata memang sangat kuat. Apalagi pemerintah telah menetapkan Candi Borobudur menjadi 1 dari 10 Bali Baru. Hal itu membuat daya tariknya bagi wisatawan semakin kuat.
Di sisi lain, saat beribadah umat Buddha (juga pemeluk agama lain) membutuhkan suasana yang tenang dan sunyi. Dia merasa jika bersembahyang di tengah banyak orang akan membuatnya tak bisa khusyuk, sebaliknya dia justru akan merasa jadi bahan tontonan.
ADVERTISEMENT
“Candi Borobudur memang tempat suci umat Buddhis, tapi kami seperti tidak pernah memilikinya,” ujarnya.