Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Warga Jogja Ujian SIM 7 Kali Tak Lulus, Nembak Calo atau Bayar LPK Dijamin Lulus
3 Januari 2022 20:23 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Bagi Masykur, seorang warga Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Surat Izin Mengemudi (SIM) adalah dokumen yang sangat penting. Lima tahun silam, ketika akan mendaftar sebagai seorang driver online, SIM menjadi syarat wajib. Mau tak mau, Masykur mengurusnya ke Kepolisian Resor (Polres) Bantul.
ADVERTISEMENT
Perjalanan panjang itu dimulai. Masykur mulai mengurus berbagai dokumen yang dibutuhkan untuk mendapatkan SIM, tes kesehatan dan psikologi sudah dilakukan, tes tertulis sudah dilalui dengan mulus, tapi ternyata dia gagal di ujian lapangan.
Meski sudah puluhan tahun mengendarai sepeda motor, ternyata Masykur belum mampu menaklukan rintangan-rintangan dalam pengujian SIM. Mulai dari berjalan di lintasan yang sempit, mengendarai motor secara zig-zag, sampai mengendarai sepeda motor di lintasan sempit yang berbentuk angka delapan. Hari itu, Masykur pulang tanpa SIM, alih-alih rasa kecewa.
Masykur tak patah semangat. Seminggu kemudian dia datang lagi dengan tujuan masih sama: menaklukan semua rintangan dan pulang membawa sebuah kartu kecil yang akan menjadi syarat utama dia mendapatkan pekerjaan. Lagi-lagi, Masykur harus pulang dengan rasa kecewa. Di dompetnya belum ada kartu SIM.
ADVERTISEMENT
“Saya SIM C itu kalau enggak salah ada tujuh kali saya ujian, itu saya enggak lolos sama sekali, pasti ada kesalahan,” kata Masykur dalam sebuah Diskusi Publik yang diadakan oleh Ombudsman RI Perwakilan DIY bertajuk Lika-liku Praktik Ujian SIM C & Potensi Maladministrasi, Kamis (30/12).
Merasa waktunya sudah terbuang terlalu banyak, biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit, kalau mau ujian lagi pun tak menjamin dia akan lulus, Masykur memilih jalan pintas. Dia memutuskan untuk menggunakan jasa calo SIM yang menurutnya sangat mudah dijumpai di sekitar tempat ujian.
“Mau enggak mau saya nembak, saya ngurus ke calo, dan enggak sampai sehari sudah jadi,” ujarnya.
Konsekuensinya, Masykur harus mengeluarkan uang lebih banyak dari seharusnya. Jika mengurus secara resmi dia cukup mengeluarkan biaya sekitar Rp 150 ribu, karena menggunakan jasa calo dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 450 ribu. Untuk SIM A jauh lebih besar lagi, menurutnya biaya yang dipatok calo antara Rp 650 ribu sampai Rp 800 ribu.
ADVERTISEMENT
“Ini kan sama saja, regulasi yang susah dalam mengurus SIM ini membuka peluang untuk para calo, membuka peluang untuk pungli,” kata Masykur.
Masykur juga mempertanyakan kenapa untuk mengurus dokumen-dokumen penunjang seperti surat keterangan sehat dan psikotes harus dilakukan di satu tempat yang telah ditunjuk oleh kepolisian. Ketika pertama membuat SIM misalnya, dia membawa surat kesehatan dari puskesmas. Namun oleh pihak kepolisian ditolak, dan diminta untuk melakukan tes ulang di tempat yang ditunjuk oleh mereka.
Padahal, surat kesehatan yang dia bawa juga dikeluarkan dari instansi resmi. Apalagi ketika menanyakan ke petugas yang ada di tempat yang ditunjuk oleh kepolisian, ternyata hanya lulusan SMA yang notabene tak punya lisensi untuk membuka praktik layanan kesehatan.
ADVERTISEMENT
“Kenapa saya harus ke sana (tempat yang ditunjuk kepolisian)? Sedangkan yang menentukan saya sehat atau tidak itu kan dokter,” ujarnya.
Gagal Berkali-kali, Berujung Diarahkan ke LPK
Hal serupa disampaikan oleh Mugi, yang juga seorang warga Bantul. 2017 silam, dia mendampingi anaknya untuk membuat SIM di Polres Bantul. Semua tahapan telah dilewati dengan baik, sampai akhirnya selalu menemui kegagalan ketika melakukan ujian praktik mengendara.
“Praktik sampai tiga kali gagal,” ujar Mugi.
Tiga kali gagal, petugas kemudian menyarankan Mugi dan anaknya untuk ke sebuah Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) untuk menjalani pelatihan berkendara. Dia juga mengaku beberapa kali ditawari untuk menggunakan jasa calo, namun dia menolak karena ingin memberikan contoh yang baik kepada anaknya.
Mugi akhirnya mengikuti saran petugas untuk mengikuti pelatihan di sebuah LPK yang ditunjuk. Namun realitanya, ternyata di sana anaknya tak benar-benar diberikan pelatihan berkendara.
ADVERTISEMENT
“Di LPK itupun saya hanya tanda tangan untuk kehadiran latihan, kemudian ada bukti bayar sudah ikut di LPK, kemudian langsung foto, SIM jadi,” lanjutnya.
Perjalanan mencari SIM itu membuat Mugi sempat berdebat dengan anaknya sendiri. Pasalnya, Mugi berniat untuk mengedukasi anaknya dengan mengikuti prosedur yang legal, namun realitanya ternyata banyak kejanggalan yang dia temui.
Ujian SIM Mesti Lebih Realistis
Kesulitan dalam membuat SIM juga dialami oleh Kunto Wisnu Aji, seorang warga Jogja yang pertengahan Desember kemarin baru saja membuat SIM untuk kedua kalinya setelah SIM A maupun C miliknya terlambat diperpanjang. Ada beberapa hal yang dia soroti, salah satunya juga tentang alasan kenapa dia harus membawa dokumen keterangan sehat dan tes psikologi hanya dari lembaga yang telah ditunjuk oleh kepolisian.
ADVERTISEMENT
Padahal, materi pemeriksaannya sendiri menurutnya sangat sederhana, seperti melihat angka untuk mengecek kesehatan mata. Sedangkan untuk tes psikologi hanya berupa mengerjakan soal-soal yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan kondisi psikologis seseorang ketika berkendara.
Menurut Aji, banyak juga materi-materi di dalam ujian SIM yang tidak realistis dan tidak perna dijumpai ketika berkendara di jalan. Misalnya berkendara secara zig-zag, berkendara membentuk angka delapan, atau mengerem secara mendadak dalam jarak yang sangat dekat dengan garis finish.
“Dari Polri (bisa lebih) merealistiskan materi ujian praktik ini supaya bisa benar-benar dipraktikkan atau mendapatkan output yang nyata di lapangan dalam hal berkendara,” ujar Kunto Wisnu Aji. (Widi Erha Pradana / YK-1)