Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Bandung dan Asa Asia-Afrika
31 Maret 2019 20:40 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Pangky Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sahabat, dalam tulisan kali ini penulis ingin menyoroti sekelumit kisah tentang sejarah diplomasi Indonesia dan dunia. Khususnya, di era ketika negara Indonesia tercinta ini menjadi suara bagi tergugahnya kesadaran berbangsa yang merdeka dan berdaulat melalui Konferensi Asia-Afrika.
ADVERTISEMENT
Dan tentunya momen bersejarah ini, menurut penulis, tidak bisa dilepaskan dari kisah sebuah kota, Kota Bandung. Ya, apabila kita berbicara tentang sejarah Kota Bandung, kita harus berbicara tidak hanya dalam konteks Kota Bandung sebagai sebuah kota yang merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat, ataupun kota yang berada di dataran tinggi Priangan. Namun, juga berbicara peran kota Bandung dalam tautan sejarah diplomasi Indonesia.
Tanggal 18–24 April 1955, sejarah telah mencatat penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Gedung Merdeka, Bandung. Konferensi yang dihadiri oleh perwakilan dari 29 negara Asia dan Afrika, termasuk 5 orang kepala Negara, merupakan ajang pertemuan pertama bagi Negara-negara bekas jajahan di Asia dan Afrika, untuk membangun solidaritas dan kesadaran bersama, dalam rangka menggapai kemerdekaan serta untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Gaung Dasasila Bandung yang merupakan hasil utama KAA masih bergema hingga saat ini untuk mendasari kerja sama Negara-negara di kawasan tersebut.
Mengapa untuk kegiatan sepenting KAA diselenggarakan bukan di Ibukota Negara, Jakarta, tetapi di Bandung?
ADVERTISEMENT
Pemilihan Kota Bandung menjadi lokasi tuan rumah KAA, tidak lepas dari beberapa faktor. Salah satunya adalah ketersediaan infrastruktur sarana dan prasarana pendukung penyelenggaraan konferensi berskala internasional, terutama gedung pertemuan yang mampu menampung jalannya konferensi, serta hotel-hotel untuk akomodasi delegasi. Pada masa Kolonial, Bandung memang sempat dicanangkan menjadi Ibukota, menggantikan Batavia. Karenanya pada masa itu telah dibangun sejumlah gedung pertemuan yang mampu menampung sejumlah besar hadirin serta hotel-hotel berskala internasional.
Gedung Merdeka, venue penyelenggaraan KAA, sebelumnya dikenal sebagai Gedung Pertemuan Societet Concordia, sebuah perkumpulan eksklusif bagi kalangan elit pada masa Kolonial Belanda. Berawal dari sebuah bangunan sederhana di tahun 1895, Gedung Merdeka pernah beberapa kali mengalami proses renovasi, pada tahun 1920-an dan awal 1940-an. Termasuk renovasi yang dilakukan oleh arsitek kenamaan C. P. Wolff Schoemaker yang mengubah gedung tersebut menjadi bergaya art deco dan oleh A.F. Aalbers yang mengubah sayap kiri gedung menjadi bergaya international style.
ADVERTISEMENT
Di lokasi yang cukup berdekatan dengan Gedung Merdeka pula, terdapat 2 hotel yang cukup representatif untuk tempat menginap para delegasi. Hotel Preanger dan Hotel Savoy Homann. Kedekatan jarak kedua hotel tersebut dengan Gedung Merdeka, memungkinkan dilakukannya prosesi jalan kaki bersejarah (historical walk) para delegasi KAA dari hotel tempat menginapnya menuju ke Gedung Merdeka, venue KAA.
Kota Bandung juga dipilih karena lokasinya berada di dataran tinggi Priangan, sehingga memiliki iklim yang lebih sejuk daripada mayoritas kota besar Indonesia lainnya yang berada di tepi Pantai. Iklim yang sejuk dianggap akan lebih sesuai untuk mengakomodasi para delegasi asing yang akan mengikuti KAA.
Presiden Soekarno, yang mengetahui hal-hal di atas, secara personal memilih Bandung sebagai kota tuan rumah KAA. Selain hal-hal di atas, kelihatannya ada alasan lain dari Presiden Soekarno untuk memilih Bandung sebagai lokasi tuan rumah KAA.
ADVERTISEMENT
Presiden Soekarno pernah tinggal untuk waktu yang cukup lama, bahkan menempuh perkuliahan di Technische Hogeschool yang kini bernama Institut Teknologi Bandung. Di Bandung pulalah beliau mendirikan organisasi Algemene Studie Club yang kemudian di tahun 1927 menjadi Partai Nasional Indonesia. Pada tahun 1930, Presiden Soekarno menyampaikan pembelaannya (Pledoi) di hadapan Pengadilan Kolonial Landraad Bandung berjudul 'Indonesia Menggugat'. Pledoi ini kemudian menjadi dasar perjuangan pergerakan melawan kolonialisme dan imperialisme. Di tahun 1933, Bung Karno menyusun risalah 'Mencapai Indonesia Merdeka' yang mencantumkan visi dan misi Indonesia Merdeka.
Nampaknya alasan pemilihan Bandung sebagai lokasi KAA oleh Presiden Soekarno juga dilandasi alasan sentimentil. Bagi Indonesia, Bandung telah menjadi lokasi lahirnya ide konsepsi pergerakan kemerdekaan Indonesia. Terlihat jelas Bung Karno ingin mengulang dan menjadikan Bandung sebagai mercusuar sinar yang menghasilkan ide solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk menuju kemerdekaannya.
Meskipun penyelenggaraan KAA telah terjadi 64 Tahun yang lalu, namun peran penting Bandung dalam diplomasi Indonesia masih sangat relevan pada masa kini. Bandung kembali menjadi tuan rumah dua Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diselenggarakan dalam rangka memperingati 50 Tahun dan 60 Tahun KAA, pada tahun 2005 dan 2015. Pada KTT tersebut, kembali didengungkan dukungan bagi bangsa-bangsa yang hingga kini belum memperoleh kemerdekaannya, serta menegaskan kembali komitmen untuk memajukan kerja sama diantara bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk kesejahteraan bangsa Asia-Afrika.
ADVERTISEMENT
Pada masa sekarang ini, Bandung memiliki sejumlah peran penting untuk melestarikan semangat yang telah dihasilkan oleh KAA. Gedung Merdeka, tempat penyelenggaraan KAA, telah dikembangkan menjadi sebuah museum oleh Kementerian Luar Negeri RI, bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Setempat untuk melestarikan dan memperkenalkan sejarah serta nilai-nilai yang dihasilkan oleh KAA kepada generasi muda.
Sahabat, Bandung juga memiliki posisi yang sangat strategis untuk tetap mempelopori people to people contact, maupun business to business contact dari Negara-negara Asia-Afrika. Bandung telah membuat sejumlah kesepakatan sister city dengan beberapa kota, termasuk kota-kota di Asia. Salah satu program kegiatan yang diharapkan di masa mendatang, Bandung juga dapat menginisiasi kesepakatan sister city dengan negara-negara di Afrika, sehingga dapat benar-benar mengilhami nilai luhur KAA.
ADVERTISEMENT
Selain memfasilitasi hubungan diplomasi baik untuk first track diplomacy maupun second track diplomacy, ternyata Bandung juga merupakan kampung halaman dari sejumlah putra-putri terbaik bangsa Indonesia yang merupakan aktor pelaksana diplomasi Indonesia. Bandung dengan sejumlah universitas ternama telah berhasil menelurkan sejumlah besar ahli hukum internasional dan hubungan internasional, termasuk diantaranya Mantan Menlu RI, Prof. Mochtar Kusumatmadja yang merupakan salah satu tokoh utama di belakang proses negosiasi Konvensi Hukum Laut PBB 1982.
Terakhir sobat, Bandung mungkin bukanlah kota yang terbesar di Indonesia, namun peran sentral kota pegunungan ini dalam diplomasi Indonesia di masa lampau, saat ini dan di masa yang akan datang, tentunya akan semakin cemerlang. Kota kecil ini akan tetap menjadi figur penting dan menentukan, Sa eutik geu mahi (Sedikit namun bermakna).
ADVERTISEMENT