Konten Media Partner

Rupiah Melemah, Perajin Tahu di Batang Tak Dapat Untung

5 September 2018 17:51 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rupiah Melemah, Perajin Tahu di Batang Tak Dapat Untung
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
BATANG - Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Tercatat Rabu, 5 September 2018 pukul 17.00 WIB, nilai tukar dolar AS tembus diangka Rp 15.024.
ADVERTISEMENT
Karena anjloknya rupiah, beberapa sektor usaha yang menggunakan produk impor juga terdampak. Seperti industri tahu skala rumahan yang hingga kini menggunakan bahan baku kedelai dari luar negeri.
Gerjito (70). pemilik industri tahu di Desa Kebonan RT 002/RW 004 Kelurahan Proyonanggan Utara Kecamatan Batang mengatakan, harga bahan baku kedelai naik yang sebelumnya Rp 6800 dan kini Rp 7400 per kilogram.
"Kenaikan memang tidak signifikan. Namun kami memerlukan 2 kwintal kedelai per hari untuk membuat tahu. Kalau dihitung kami harus mengeluarkan uang lebih sekitar Rp 120 ribu setiap harinya untuk proses produksi," ucap Gerjito, Rabu 5 September 2018.
Gerjito mengaku, tak menurunkan harga jual tahu ataupun memperkecil ukuran produknya. Pasalnya, jika ia melakukan hal tersebut, para pembeli akan mengeluh.
ADVERTISEMENT
"Mau bagaimana lagi, kalau saya naikan harga pasti pembeli mengeluh. Jadi ya tetap saya jual dengan harga normal diangka Rp 54 ribu perkotak besar," jelasnya.
Dengan melakukan itu, usaha yang dirintis oleh pria 70 tahun tersebut tak mendapat untung alias stagnan.
"Hampir enam bulan terakhir industri tahu di wilayah kami tak memperoleh untung, karena harga kedelai selalu meningkat. Hanya bisa membayar ongkos pekerja dan biaya produksi setiap harinya," tuturnya.
Ia pun berharap, perekonomian segera pulih dan nilai tukar Rupiah stabil agar roda-roda usahanya bisa dijalankan kembali.
Hal serupa dialami, Yuni (50) satu di antara penjual kedelai besar yang ada di Kabupaten Batang. Menurutnya, setiap hari harga kedelai naik di angka Rp 100 per kilogram.
ADVERTISEMENT
"Harga kedelai tak pernah turun dan tak pernah stabil. Harga terakhir tiga bulan lalu di tingkat pengecer mencapai Rp 6.400 dan kini terus mengalami kenaikan," ucap Yuni.
Para pelaku usaha tahu, lanjut dia, kerap mengambil kedelai di tokonya yang terlatak di Jalan Jendral Sudirman. "Dulu ramai ada yang membeli 2 kwintal. Ada juga 50 kilogram setiap harinya, namun karena dolar naik sekarang jadi sepi pembeli," katanya.
Sementara itu, Ketua Tim Pengendalai inflasi Daerah (TPID) Kabupaten Batang, Nasikhin, mengatakan Pemkab Batang kini tengah melakukan pendataan bersama Badan Pusat Statistik (BPS). Kira-kira di sektor mana saja yang terdampak menguatnya Dolar Amerika Serikat (AS) terhadap nilai tukar Rupiah.
"Pendataan tersebut dirasa penting untuk melakukan langkah penanganan jika terjadi inflasi yang disebabkan melemahnya nilai tukar Rupiah," kata Nasikhin yang juga Sekda Kabupaten Batang.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sektor-sektor usaha pengelohan dan industri yang masih mengandalkan bahan baku dari luar negeri dirasa rentan terdampak menguatnya nilai tukar Dolar AS.
"Melemahnya Rupiah merupakan fenomena nasional dan terkait dengan kondisi perekonomian global. Sehingga berdampak pada usaha yang masih mengandalkan bahan baku impor akan sangat berpengaruh. Seperti pengrajin tahu, tempe, tekstil dan produsen obat-obatan yang tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Batang, karena bahan baku masih mengandalkan kedelai impor," jelasnya.
Ia juga menyarankan pada pengrajin tahu untuk memperkecil ukuran produk. Seperti tempe dan tahu, serta inovasi terkiat pengganti bahan baku impor yang kini masih menjadi ketergantungan.
"Memang kedelai lokal belum bisa mencukupi untuk produksi produk olahan dalam negeri. Namun jika ada inovasi terkait penganti bahan baku kami yakin, para pelaku usaha tidak akan terpengaruh adanya penguatan nilai tukar Dolar terhadap Rupiah," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Reporter: Edo/Nugroho
Editor: Muhammad Irsyam Faiz