Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Fenomena Impor Sampah Asing dari Negara Maju
26 September 2022 21:21 WIB
Tulisan dari Parditha Eka Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena ekspor sampah daur ulang dari negara-negara industri ke negara-negara non industri bukanlah fenomena baru, penyelidikan baru-baru ini telah membawa perhatian pada kebijakan arus perdagangan sampah daur ulang yang “tidak terlihat, tidak terpikirkan”.
ADVERTISEMENT
Ekspor sampah daur ulang oleh negara-negara maju ke berkembang dilakukan setiap tahunnya. Arus dagang ekspor sampah daur ulang didominasi oleh negara maju Eropa dan Amerika utara kepada negara berkembang diasia dan Afrika. Karena pada umumnya mengekspor sampah memiliki biaya lebih murah ketimbang mengembangkan infrastruktur daur ulang lokal. Dapat dibayangkan jika pembuatan infrastruktur daur ulang membutuhkan lahan yang luas, alat yang canggih, dan biaya perawatan alat-alatnya. Sedangkan jika mengekspor sampah hanya membutuhkan kotak kargo kosong. Dari dua perbandingan ini dapat dilihat jika mengekspor sampah memiliki biaya lebih murah dibandingkan membuat infrastruktur daur ulang sampah lokal.
Hal ini semakin alamiah terjadi sebagai sebab dari Agenda 21 sebagai aksi global yang komprehensif dan diadopsi lebih dari 178 negara dalam United Nations Conference on Environment and Development. Dalam Chapter 2 Agenda 21 disebutkan upaya upaya yang harus dilakukan untuk mendorong pembangunan ramah lingkungan di negara negara berkembang dan mendorong kebijakan domestik terkait. Salah satu bentuk kerja sama yang bisa dilakukan melalui sektor perdagangan sampah daur ulang sebagai bentuk moral superiority.
ADVERTISEMENT
Riset yang dilakukan oleh Dr Costas Velis dari University of Leeds memperkirakan bahwa 1,3 miliar ton sampah akan memenuhi bumi pada 2040 baik pada daratan maupun di lautan. World bank’s juga turut mengungkapkan 70% sampah dunia akan meningkat pada 2050. Dilansir dalam Global Waste Cleaning Network, meningkatnya sampah dunia juga diakibatkan besarnya urbanisasi yang terjadi pada negara maju karena nilai ekonomi yang lebih sejahtera. Di mana negara maju memiliki 16% populasi dunia dan 34% sampah daur ulang. Sementara negara berkembang memiliki 9% populasi dan 5 % sampah daur ulang.
Setiap tahunnya kapal kotak kargo yang dipenuhi sampah daur ulang negara maju yang sejahtera berlayar dan mengekspornya kepada negara berkembang. Begitu banyak negara maju melakukan kegiatan ekspor dalam rangka mengurangi penimbunan dan menumbuhkan profit tambahan bagi importir. Ekspor dagang sampah daur ulang terus meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade. Ekspor sampah daur ulang juga tidak memiliki pengawasan lebih lanjut akan pengelolaan nya. Tidak dilakukan rekam jejak bagaimana proses eksportir sampah daur ulang ini diproses pada negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, masih sering terjadi ekspor sampah yang menyelipkan sampah tidak dapat di daur ulang kemudian dikirim kepada negara-negara berkembang sehingga alih-alih negara tersebut mendapatkan bantuan pembangunan justru semakin menciptakan penimbunan bagi negara berkembang itu sendiri.
Laporan dari The Guardian, ”Huge rise in US plastic waste shipments to poor countries following China ban” bahwa eksportir sampah tidak mungkin dapat dihentikan karena kepentingan dari negara maju untuk mengurangi dampak dari penimbunan dan lingkungan bagi negaranya. Pada 2018 menjadi titik permasalahan munculnya persepsi ini. Di mana, ketika Tiongkok menghentikan akses eksportir sampah, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Belgia, Italia, Belanda, dan sebagian negara eropa terpaksa mengalihkan ekspor sampah nya ke negara berkembang kawasan asia tenggara seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keadaan semakin diperburuk ketika Indonesia mendapatkan eksportir dagang sampah daur ulang dari Amerika Serikat yang padahal tertera label “recycled from US Environmental Protection Agency (USEPA)" dan industri daur ulang. Namun, nyatanya sampah yang diterima tidak bisa di daur ulang dan bahkan tidak memiliki izin. Sehingga, Indonesia harus reekspor 148 kotak kargo sampah kembali ke Amerika Serikat.
pemaparan Prigi Arisandi sebagai Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) bahwa pengawasan impor limbah Indonesia masih lemah sehingga sering terjadi penyelundupan limbah B3 serta isi kotak-kotak kargo impor yang tidak sesuai spesifikasi. Peningkatan ekspor sampah yang tidak terkendali dan tidak terorganisasi dengan baik menimbulkan berbagai potensi ancaman bagi negara berkembang yang mendapat ekspor tersebut. Sebagai contoh Indonesia mengalami ancaman kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Belajar dari kurangnya pengawasan tersebut, indonesia memperkuat kembali infrastruktur pengawasan dan pengelolaan sampah daur ulang yang diterima. Dilansir atas kerja sama Indonesia Jerman (EKONID) pada 2021 Indonesia terus meningkatkan kapasitas pengelolaan sebagai upaya mendukung kegiatan the German Indonesian Chamber of Industry and Commerce dalam promosi dagang digital tentang pengelolaan sampah.
Sebenarnya Kegiatan perdagangan sampah daur ulang dapat menjadi momentum pertumbuhan ekonomi dan pembangunan baik bagi importir dan eksportir. Namun, perlu diperhatikan bahwa diperlukan suatu kebijakan yang komprehensif dan signifikan melalui berbagai regulasi dan infrastruktur yang juga baik.
Negara-negara berkembang juga perlu bersikap tegas dan mengambil perannya dengan baik melalui penerapan undang-undang yang lebih diperketat terkhususnya pembuangan sampah melalui berbagai seleksi dan pengawasan. Sehingga, negara berkembang mendapatkan profit timbal balik dari perdagangan sampah daur ulang tersebut daripada menjadi penimbun sampah-sampah miliki negara maju yang tidak dapat di daur ulang.
ADVERTISEMENT
Selain daripada itu diperlukan juga pembangunan infrastruktur yang baik untuk pengelolaan terhadap sampah daur ulang berkelanjutan. Begitu Pula negara maju yang seharusnya lebih mampu untuk menciptakan infrastruktur yang lebih baik untuk mengurangi ekspor dagang sampah yang tidak dapat di daur ulang kepada negara-negara berkembang.