Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengkritisi Demokrasi Pascapencoblosan
28 Februari 2024 9:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Oktavianus Daluamang Payong tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan pemilihan umum hampir mencapai final. Hasil perolehan suara pasangan Prabowo-Gibran jauh unggul di atas dua pasangan calon lainnya. Berdasarkan data perolehan hasil sementara real count KPU dengan data suara yang masuk sebesar 77,34%, di posisi pertama Prabowo-Gibran unggul dengan mengantongi 58,85% suara, di urutan kedua pasangan Anies-Muhaimin 24,45% suara dan posisi terakhir Ganjar-Mahfud 16,71% suara (Kumparan.com /27/02/2024).
ADVERTISEMENT
Selain itu data perolehan hasil pelaksanaan Pemilu legislatif pun telah mencapai 64,56% dengan perolehan hasil tertinggi diraih oleh PDI Perjuangan sebesar 16,49 %suara, disusul Golkar 15,1% Gerindra 13,35%, PKB 11,64%, NasDem 9,45%, PKS 7,52% dan disusul partai-partai lainnya (Kompas.co,/27/-2/2024).
Pelaksanaan pencoblosan telah dilakukan dengan damai. Hampir seluruh wilayah di pelosok tanah air telah menetapkan hasil perolehan suara dalam pemilu.
Ini menandakan bahwa rakyat telah berkontribusi dalam mendukung proses demokrasi bangsa. Masyarakat secara sadar telah menentukan pilihannya masing-masing. Pelaksanaan pencoblosan merupakan bukti demokrasi sudah berjalan.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah demokrasi itu dinilai hanya saat pencoblosan? Ini kemudian bisa menjawab kondisi demokrasi bangsa saat ini. Apakah demokrasi sedang mengalami kemajuan atau kemunduran? Apabila mengalami kemunduran, sudahkah masyarakat turut memberi perhatian khusus pada dinamika demokrasi atau hanya keprihatinan kelas menengah ke atas.
ADVERTISEMENT
Sudah banyak laporan yang menggambarkan sempitnya ruang gerak masyarakat sipil. Mulai dari laporan Amnesty International selama tiga tahun berturut-turut sampai laporan penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia yang diluncurkan pada 21 Februari 2024. Begitu pula dengan gambaran kebebasan media, seperti yang dilaporkan Lembaga Bantuan Hukum Pers dalam laporan tahunannya. Ironisnya, justru pembungkaman itu dilakukan kekuasaan yang dipilih secara demokratis (kompas.id/22/02/2024).
Demokrasi Bukan Angka
Dilihat dari jumlah perolehan suara, persentase angka yang diperoleh Prabowo-Gibran sangat besar dan sudah masti akan menang dalam satu putaran. Hal ini menandakan bahwa masih sangat besar dukungan dari masyarakat kepada Jokowi. Masyarakat tetap menginginkan jalan pembangunan Jokowi yang dilanjutkan oleh Prabowo-Gibran.
Namun apabila indeks demokrasi hanya dihitung dari jumlah perolehan suara maka ada sedikit salah kaprah. Pemilu tidak bisa hanya dipahami sebagai angka hasil. Penghitungan hasil pemilu, baik hitung cepat maupun hasil resmi, hanya bisa menyajikan angka, tetapi tidak bisa menjelaskan bagaimana angka itu muncul.
ADVERTISEMENT
Demokrasi bukan angka, melainkan partisipasi politik yang prosesnya harus bisa dipertanggungjawabkan sejak awal penentuan kandidat sampai penentuan hasil. Sejak awal, saat keabsahan pencalonan saja nyata melanggar kepatutan, legitimasi pemilu sudah jatuh. Pemilu punya justifikasi, tetapi tidak legitimasi (Bivitri Susanti, 2024).
Begitu pun sejak pencalonan sampai dengan keluarnya angka kemenangan, banyak hal yang mesti ditelaah untuk mengukur kualitas demokrasi. Angka bisa saja terbentuk dari berbagai faktor kemungkinan: salah input, instruksi mencoblos dari atasan, ancaman untuk mencoblos, politik uang, dan lain sebagainya. Karena itulah, mekanisme pemilu di mana pun di dunia selalu menyediakan forum untuk menyelesaikan potensi kecurangan pemilu, pelanggaran, dan sengketa hasil pemilu (Bivitri Susanti, 2024).
Saat ini sangat susah ditemukan elite politik yang benar-benar mengedepankan adab dalam politik. Kemungkinan melakukan pelanggaran dalam pemilu selalu ada. Politikus seharusnya tidak memanipulasi fakta tingkat pendidikan itu dengan menggunakan cara-cara berpolitik yang tidak membuat pendidikan politik kita lebih baik. Misalnya dengan membuat model kampanye yang hanya mengedepankan gimik di media sosial atau menggunakan politik gentong babi (pork barrel politics) sebagai bujukan untuk memilih.
ADVERTISEMENT
Biasanya elite politik yang mau tampil apa adanya, yang lebih mengedepankan etika dan kejujuran akan kalah dengan elite yang mempunyai sumber daya ekonomi yang lebih. Praktik money politik menjelang pemilu masih marak terjadi dan terkesan ada pembiaran yang dilakukan oleh masyarakat secara khusus bagi para pengawas pemilu.
Mengembalikan Marwah Demokrasi
Demokrasi yang baik adalah demokrasi yang menjadi perhatian semua lapisan masyarakat. Sejalan dengan pandangan (Harris Soche,1985) demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat yang di dalamnya ada porsi bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan, serta melindungi dirinya dari paksaan orang lain atau badan yang bertanggung jawab memerintah.
Jelas bahwa kesadaran akan demokrasi itu bukan datang dari desakan atau dorongan dari atas dengan segala cara tanpa melihat marwah dari demokrasi itu sendiri. Masyarakat punya porsi untuk ikut terlibat dalam proses itu tetapi bukan atas dorongan pihak lain. Secara sadar ikut terlibat dalam pemilu tanpa ada paksaan dari pihak mana pun adalah bagian dari demokrasi yang baik.
ADVERTISEMENT
Elite politik yang apabila melihat demokrasi adalah cara untuk meraih kekuasaan maka akan memilih cara-cara yang instan untuk meraih kekuasaan tersebut.
Demokrasi adalah mengedepankan keadaban dan sebagai alat bagi masyarakat untuk memproteksi kedamaian bangsa. Elite politik yang lahir ari proses yang sehat, yang tidak ada cacat hukum, yang tidak ada tekanan bagi masyarakat untuk memilih maka pintu besar keselamatan demokrasi terbuka di depan mata.
Dengan keterpilihannya pemimpin baru saat ini maka tugas bersama adalah mengawal proses demokratisasi masyarakat. Mengawal para pemimpin agar mengedepankan kepentingan bersama dibanding kepentingan pribadi. Mengawal janji-janji politik selama kampanye agar segera terealisasi dan terus mengontrol jalannya pemerintahan di negeri ini.