Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Moralitas Sebagai Sumber Etika Dalam Kepemimpinan
13 Desember 2023 21:01 WIB
Tulisan dari Asman Budiman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) serentak, tinggal menghitung hari. Berbagai jurus dan modus operandi untuk meraup suara masyarakat sudah dilakukan. Pos-pos ronda masyarakat yang dulunya sepi, kini telah menjadi komoditas yang wajib untuk diperhatikan serta dikunjungi. Silaturahim seringkali menjadi alasan, untuk mendekatkan diri dengan mereka agar mendengarkan janji-janji politik yang jarang ditepati.
ADVERTISEMENT
Visi dan misi hanya sebagai symbol dan menggugurkan kewajiban dalam persyaratan administrasi. Setelahnya, tergantung arah telunjuk pimpinan teratas. Mengaku sebagai penyambung aspirasi dan menginspirasi, nyatanya hanya sebagai polarisasi dalam abstraksi politisasi. Wajarlah Richard D Wolff mengatakan, “dalam pemilu borjuis, rakyat tak ubahnya kumpulan domba yang diberi opsi memilih binatang buas mana yang dipersilahkan untuk menyantap mereka”.
Pesta demokrasi sebagai pesta rakyat, hanya sebagai pemanis dalam percaturan dalam meraup keuntungan dari pemilih. Mendahulukan yang subjektif dari pada subtansi dalam proses pemilihan. Memilih seorang pemimpin tidak hanya melihat sejauhmana ketenaran dan penerimaannya terhadap banyak masyarakat. Sebab merakyatnya seseorang tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur seorang menjadi pemimpin.
Paradigma seperti ini justru perlu digugat dan di reparadigma kembali. Saat ini, memilih orang yang populer tidaklah menjadi instrument absolut dalam memilih. Seorang pemimpin ditempah oleh keadaan dan pengalaman agar menjadi sosok manusia yang memiliki pandangan jauh kedepan mengenai konsep dan gagasannya untuk menjadi seorang pemimpin.
ADVERTISEMENT
Realitasnya, objektifitas dalam memilih justru dikalahkan dengan subyektifitas berdasarkan kesamaan suku, agama dan ras seseorang. Cara pandang seperti ini, justru akan membawa kepada kehancuran jika seorang pemimpin tidak memiliki etos nilai dalam dirinya.
Nilai moral dan etika menjadi poin penting untuk dimiliki semua anak bangsa, tidak hanya mereka yang terlibat dalam kontestasi politik, melainkan seluruh lapisan masyarakat dari tervbawah dan sampai kepada elit-elit negara.
Ibnu Khaldun dalam muqadimah menerangkan, keberadaan rasa cinta atau fanatisme terhadap keluarga, golongan, agama dan sebagainya adalah factor yang membuat seseorang bertindak dan melakukan apapun untuk kepentingan golongannya. Konsep kepemimpinan Ibnu Khaldun ini disebut sebagai konsep “Ashabiyah”. Ashabiyah diartikan sebagai semangat golongan atau kelompok. Konsep ini menurut Ibnu Khaldun merupakan kunci lahir dan terbentuknya sebuah negara.
ADVERTISEMENT
Konsep ashabiyah Ibnu Khaldun jika dipahami secara tekstual, akan menghadirkan pemahaman bahwa ia melegalkan politik identitas, berdasarkan kedekatan agama, ikatan darah, suku dan sebagainya. Jauh dari itu, konsep ashabiyah lebih kepada bagaimana kesadaran yang berdaarkan hal tersebut, menjadi factor untuk memajukan sebuah negara atau organisasi.
Etika Yang Mengakar
Apa yang menjadi pikiran Ibnu Khaldun merupakan hal yang telah melampaui zamannya. Ashabiyah yang dijelaskannya memiliki dampak yang baik untuk keberlangsungan suatu negara. Dua poin peting dari ashabiyah Ibnu Khaldun.
Pertama, ashabiyah yang dalam konotasi positif memberikan pemahaman atas pentingnya persaudaraan. Konsep persaudaraan, dalam sejarah Islam telah membentuk kekuatan sosial untuk saling bekerjasama atas dasar kepentingan bersama, dan mendorong terciptanya relasi sosial dalam menopang kemajuan peradaban suatu negara.
ADVERTISEMENT
Kedua, dalam konotasi negative, ashabiyah diartikan sebagai keadaan yang menimbulkan rasa fanatisme dan kesetiaan yang berlebihan terhadap kebenaran tidak berdasar. Konsep inilah yang kemudian tidak dibenarkan dalam system Islam maupun demokrasi yang saat ini menjadi bagian kehidupan bangsa ini.
Islam membentuk generasi mudah tidak hanya dengan meningkatkan pemahaman kognitifnya, juga meningkatkan moralitas dengan memberikan pembelajaran Ahklak. Moral dan etika yang bersumber dari ahklak, adalah kunci membentuk generasi muda yang memiliki karakter terpuji. Olehnya itu, untuk mewujudkan pemimpin yang memiliki moral dan etika, sejak dini diajarkan nilai-nilai kehidupan yang bersumber dari kearifan.
Menghasilkan pemimpin, tidaklah dilihat berdasarkan suku, ras, agama dan sebagainya. pemimpin yang tercipta tidaklah yang berpikiran nativis, melainkan mereka yang mampu memadukan banyak hal, sehingga menghasilkan gaya kepemimpinan yang mampu mengayomi seluruh elemen. Bukan sebaliknya, melegalkan politik primordial, berdasarkan ikatan darah dan berdasarkan teritorial.
ADVERTISEMENT
Politik seperti itu, justru akan membawa kepada kehancuran dan taqlid yang berlebihan. Pikrian tidak akan berkembang, sebab tidak ada dialektika yang terjadi, justru yang ada dialog yang membahas kamu dapat apa, saya dapat apa.
Kepemimpinan Beretika
Ibnu Miskawaih membagi tiga bentuk jiwa manusia yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Pertama yang disebut dengan fakultas berpikir (Al Quwwah Al Natiqoh), yaitu kekuatan jiwa dalam berfikir melihat fakta terhadap kondisi dan situasi kehidupan sosial disekitarnya. Jiwa ini memiliki sifat yang adil, cerdas, berani, pemurah, dan cinta.
Kedua ialah fakultas nafsu sahwiyah yaitu jiwa yang memiliki sifat pengecut, boros, sombong, suka mengolok-olok dan sebagainya. jiwa seperti ini, justru akan membuat manusia melakukan hal-hal diluar dari nilai etika dan moral.
ADVERTISEMENT
Ketiga ialah fakultas amarah atau Al Quwwah Al Ghodhobiyah. Jiwa ini disebut sebagai binatang buas, yang mendorong keberanian menghadapi resiko ambisi pada kekuasaan, kedudukan dan kehormatan.
Ibnu Miskawaih menjelaskan, jiwa yang ada pada manusia jika dikolaborasikan akan menimbulkan keharmonisan terhadap perilkau manusia. Keharmonisan tersebut akan menimbulkan sifat yang lainnya yaitu kearifan (Hikmah), keberanian (syaja’ah), kesederhanaan (iffah), dan keseimbangan (Al Adlalah).
Seorang pemimpin, tidaklah dilihat dari bagaimana ia mampu meyakinkan seseorang, namun dari pada ia harus mampu menjadi teladan, memberikan contoh yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melakukan perbaikan-perbaikan.
Olehnya itu, seorang pemimpin patutlah memiliki kesadaran terhadap nilai agama dan palsafah negara, kecerdasan spiritual dan emosional, menjadi teladan dan memiliki karakter yang luhur berdasarkan nilai-nilai kehidupan kolektif.
ADVERTISEMENT