Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
A Friend in Need, Is A Friend Indeed
3 April 2023 13:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya mendapat japri seorang teman lain kampus yang lumayan bergengsi di Indonesia bagian timur. Teman itu lagi menyelesaikan disertasi. Dia banyak cerita tentang banyak hal yang dijalani dan dirasa sangat berat.
ADVERTISEMENT
Sebagai orang yang pernah di posisi itu, saya bisa maklum walaupun saya yakin semua orang memiliki cerita haru biru sendiri ketika menyelesaikan proses ini terlebih ketika tidak punya uang. Bukan rahasia lagi, uang adalah magnet terbaik membuat banyak orang mendekat.
Namun, saya berusaha membantu sebisanya walaupun hanya mendengar unek-uneknya. Saya teringat cerita betapa sebuah sms menyelamatkan hidup seseorang yang sudah bersiap gantung diri dan tiba-tiba dia mendengar bunyi sms dan ketika dia cek itu adalah sms temannya yang sekadar menanyakan kabarnya.
Membantu orang zaman sekarang memang bukan perkara gampang. kita semua diburu-buru dan diuber-uber kesibukan yang tidak ada habis-habisnya. Sehingga rasanya meluangkan waktu satu atau dua jam untuk orang begitu sulit.
ADVERTISEMENT
Jangankan meluangkan waktu, sekadar membaca dan membalas japri orang juga begitu sulit. Bahkan, ada yang cuma menjawab "OK". Butuh dua hari untuk memperoleh jawaban itu.
Sebenarnya ada satu hukum ketertarikan, dalam bermedsos, bahwa kecepatan jawaban chat, sms, DM, panggilan adalah tergantung seberapa dekat dan penting orang itu di hati kita.
Saya sendiri mengusahakan untuk menjawab japri, SMS, ataupun DM orang secepatnya walaupun mereka menjawab DM saya kadang-kadang mirip kura-kura yang lagi keseleo, sangat lambat. Namun, saya tidak mempermasalahkan, karena saat ini orang-orang yang mengirim chat saya adalah memang orang-orang di lingkar satu saya.
Teman itu kemudian bercerita panjang lebar betapa orang-orang yang dekat dengannya satu persatu meninggalkan dia yang sedang dalam posisi berat dan sulit. Tidak ada yang mau sekadar sharing info atau memberi semangat juga jawaban-jawaban atas banyak pertanyaannya. Padahal mereka adalah sohib-sohib dan bestie-bestie yang di awal-awal kuliah berjanji untuk saling bantu sampai selesai.
ADVERTISEMENT
Saya cuma bisa menghibur bahwa itu adalah seleksi alam. Orang datang dan pergi adalah sudah suratan takdir. Di dunia, sudah hukum alam: ringan sama dijinjing, berat pikul sendiri. Bahwa semua orang hanya akan bertepuk tangan ketika kita sudah berhasil.
Memang secara psikologi akan sangat berat ketika menganggap beberapa orang sebagai sahabat dan di saat-saat sulit kita sama sekali tidak dianggap. Saya sendiri ketika mengerjakan disertasi mengebalkan diri atas semua tragedi-tragedi ditinggalkan pas susah-susahnya.
Saya menyarankan untuk banyak-banyak sujud dan berdoa, jangan menangis sama manusia, mereka hanya akan melotot dan memandangi. Harga diri jatuh, dan tidak ada yang peduli.
Menangislah pada pemilik alam. Kalau tidak ada bahu untuk bersandar masih ada sajadah untuk sujud. Jangan jadikan Allah alternatif terakhir, setelah ditolak semua manusia baru mau mengetuk pintu tuhan.
ADVERTISEMENT
Tuhan bukan ambulans yang bisa kita cari disaat darurat saja. Terdengar klise memang, tapi apakah saya harus menyarankan untuk sujud sama manusia? Saya sudah mengalaminya jadi bukan sekadar teori.
Semua orang bahkan menganggap saya sudah berhenti dan tidak akan bisa selesai, karena saya menghilang enam semester dan tiba-tiba saya promosi Doktor. Dashyat bukan kekuasaan Allah? Saya mengalami banyak cobaan hingga harus melewatkan enam semester tanpa melakukan apa-apa, hanya membayar uang semester juga tidak pernah cuti.
Di proses-proses susah itu, apa ada yang sekadar peduli? Tidak ada. Namun saya memaklumi, demikianlah orang-orang juga sibuk mengurusi hidupnya masing-masing. Sehingga sebenarnya mungkin kita bukan ditinggalkan namun itulah model kehidupan zaman now yang serba sibuk dan terburu-buru.
ADVERTISEMENT
Menghadapi teman yang putus asa memang agak sedikit menguras emosi, bagaimanapun dia memilih saya untuk sekadar curhat, mungkin karena sudah demikian sumpeknya menghadapi kecuekan mereka-mereka yang dianggap teman-teman bestie—istilah gaul untuk teman akrab.
Saran saya, buktikan bahwa dia masih bisa selesai dengan tanpa bantuan orang. Bahwa demikianlah hidup, sudah harus seperti itu. Singkirkan romansa-romansa yang tidak perlu dan bahkan mengganggu.
Berhenti pakai medsos, nanti selesai wisuda barulah kemudian posting keberhasilanmu, buktikan bahwa cukup kita dan diri kita yang tidak menyerah maka hambatan apapun tidak akan terlalu besar untuk kita taklukkan.
Bahkan bukankah presiden Amerika, Franklin Roosevelt juga harus menghadapi penyakit polio waktu berumur 39 tahun ketika mencalonkan diri, tidak banyak orang yang ada di sisinya ketika dia sakit nanti setelah terpilih ratusan orang bahkan jutaan mengelu-elukan.
ADVERTISEMENT
Cerita itu saya dapat di kelas kepemimpinan di Amerika dulu waktu mengikuti kursus leadership. Sehingga tidak perlu meletakkan tangan di bahu orang-orang yang tidak sudi.
Saya menunggu cerita keberhasilan teman itu nanti ke depan. Saya yakin dia akan bisa menalukkan semua hambatan dan gangguan-gangguan psikologi yang menyertai hari-hari beratnya menyelesaikan disertasi. Dan semoga hari itu segera menjadi kenyataan.
Entahlah. Apa masih ada persahabatan seperti kutipan syair di atas yang dipopulerkan oleh Katon Bagaskara. Kita memang tidak bertanggung jawab atas hidup orang lain. Namun sekadar membalas chat juga tidak memerlukan waktu 24 jam. Juga tidak butuh tenaga yang besar untuk melakukanya.
Semoga kita semua bisa menjadi sebab seseorang bangkit bukan jatuh. Kebaikan sekecil apapun tetaplah kebaikan yang mungkin saja bisa menyelamatkan hidup seseorang dari kehancuran. Sehancur apapun dunia, semoga kita tidak bosan menjadi orang baik.
ADVERTISEMENT