Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pengkhianatan Kaum Intelektual
15 April 2023 14:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belum berakhir gonjang-ganjing kasus Rafael Alun yang kemudian menyeret Kementerian Keuangan secara institusi dalam berbagai kasus hedon dan pamer harta para pejabat berakhir dengan panggilan KPK atas dasar indikasi kekayaan tidak wajar.
ADVERTISEMENT
Dunia pendidikan kembali menorehkan luka akademik di hati orang Indonesia. Adalah rektor Udayana yang ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Bali yang ditengarai merugikan negara hingga Rp 441 miliar.
Modus yang digunakan adalah memungut uang terhadap calon mahasiswa baru jalur Mandiri tahun akademik 2018/2022. Modus yang sama dengan kasus rektor Unila tahun lalu.
Ilmuwan Prancis, Julian Benda, dalam bukunya yang berjudul Pengkhianatan Kaum Cendekiawan (1927), mengatakan bahwa tugas utama cendekiawan adalah menjaga moral.
Pemikiran Julian Benda terinspirasi oleh kisah Dreyfus. Pada tahun 1854, diceritakan bahwa Dreyfus, yang merupakan seorang perwira Prancis berdarah Yahudi dihadapkan di pengadilan dan dinyatakan bersalah di mana tuduhannya adalah bahwa sang perwira dituding menjual rahasia militer kepada dinas intel Jerman.
ADVERTISEMENT
Sejumlah cendekiawan kemudian bangkit dan bersatu serta dan mengumumkan sebuah sikap yang tegas dan dikenal dengan istilah “ Manifeste des Intellectuels” yang dimuat kemudian dimuat dalam dalam koran L’Aurore pada 14 Januari 1898. Terbukti di kemudian hari, Dreyfus tidak bersalah. Dia menjadi korban fitnah.
Lebih jauh, Julian Benda menggambarkan fungsi cendekiawan atau intelektual adalah untuk menghasilkan pengetahuan yang bersifat universal dan objektif, serta untuk mempertahankan nilai-nilai moral dan intelektual yang murni dan tidak tercemar oleh kepentingan politik atau ekonomi.
Benda mengecam intelektual yang terlibat secara aktif dalam politik praktis dan mengorbankan integritas intelektual mereka untuk tujuan-tujuan politik.
Menurut Benda, tugas utama cendekiawan adalah untuk mempertahankan otonomi intelektual mereka dan menjaga jarak dari politik praktis, sehingga mereka dapat mempertahankan kebebasan berpikir dan kebenaran ilmiah tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik atau ekonomi.
ADVERTISEMENT
Dua kasus besar yang melibatkan dua orang rektor dalam waktu yang berdekatan yaitu kasus korupsi rektor Unila dan rektor Udayana, tak pelak menimbulkan luka di hati banyak orang. Keduanya juga nyatanya terlibat di area yang sama yaitu penerimaan mahasiswa jalur Mandiri.
Mereka cerdas namun dalam konsep culas. Jalur Mandiri adalah penerimaan mahasiswa yang merupakan wewenang kampus. Banyak motif keculasan yang bisa dilakukan di sana, karena tidak melibatkan pihak Kemendikbudristek dalam penyelenggaraan tes.
Kedua rektor tersebut telah berkhianat sebagai cendekiawan . Motif ekonomi menjadi modus operandinya. Tentu saja bukan Ekonomi karena mereka melarat. Tidak seorang pun yang akan mengatakan bahwa mereka miskin secara ekonomi.
Tidak ada rektor yang miskin hingga saat ini. Rektor justru menjadi orang-orang kaya di lingkungan tempat mereka tinggal. Sudah menjadi rahasia umum, yang menjabat rektor biasanya adalah profesor yang tentu saja sudah makmur secara finansial. Dan semua tahu, para rektor juga kerap terlibat dengan proyek-proyek yang ada di kampus-kampus mereka.
ADVERTISEMENT
Dua orang rektor yang sudah menjadi tersangka tersebut membuktikan bahwa moral cendekiawan biasa merosot drastis ketika berhadapan dengan yang namanya uang. Padahal seorang cendekiwan harusnya berbungkus lumus dengan kebaikan dan kejernihan serta kejujuran, etika dan moral.
Lembaga pendidikan menjadi benteng terakhir dalam menjernihkan perilaku-perilaku menyimpang dan kekacaubalauan di masyarakat. Di kampus-kampus adalah kawah cadrimuka menggembleng mahasiswa calon-calon pemimpin dan juga calon-calon cendekiawan di masa depan.
Masyarakat masih bisa menolelir jika saja perbuatan amoral berlangsung di institusi lain. Namun, ketika itu terjadi di pusat ilmu pengetahuan, maka tentu saja kepercayaan terhadap pendidikan akan tergerus dan jatuh bebas. Ketika rektor melakukan korupsi, maka individu yang melakukan adalah karena jabatannya sebagai rektor.
ADVERTISEMENT
Jabatan rektorlah yang membuat mereka bisa masuk dan membuat jalan untuk melakukan korupsi. Mandat dan kuasa yang ada dalam diri mereka yang kemudian memberikan otorisasi untuk bisa melakukan korupsi. Jelas saja hal ini adalah penyalahgunaan wewenang.
Respons masyarakat jelas kecewa berat terhadap tindakan yang dilakukan oleh dua orang rektor tersebut . Kedua korupsi itu yakni rektor di Lampung dan Udayana, keduanya memiliki satu benang merah yaitu korupsi di jalur Mandiri.
Melihat bahwa kedua korupsi itu dilakukan di jalur Mandiri penerimaan mahasiswa baru, timbul pertanyaan dalam hati banyak orang, bagaimana dengan kampus lain yang menyelenggarakan jalur mandiri? Apakah mereka tidak melakukan penyelewengan? Mengingat semua kampus negeri menyelenggarakan penerimaan mahasiswa baru jalur Mandiri.
ADVERTISEMENT
Sungguh, korupsi yang dilakukan di dunia pendidikan sangatlah disayangkan. Di samping mencederai nilai intelektual, etik dan moral juga akan membuat jalan kampus yang rektornya melakukan korupsi menjadi kampus kelas dunia semakin terjal.
Hampir semua kampus di Indonesia, memiliki visi misi menjadi kampus berskala Asean, Asia dan Dunia di tahun 2030. Tanpa kasus korupsi pun, visi dan misi itu sudah sangat berat untuk diwujudkan apalagi dengan adanya kasus korupsi.
Mengingat kembali apa yang diungkapkan oleh Julian Benda bahwa kaum intelektual itu harusnya menjadi penjaga moral di dunia akademik.
Bukannya menjadi manipulator dan terlebih lagi koruptor. Kampus sebagai lembaga tertinggi dalam dunia pendidikan adalah benteng terakhir dalam mengawal moral. Ketika benteng terakhir itu runtuh, maka kepada siapa dan ke mana lagi kita hendak berharap?
ADVERTISEMENT