Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Arti Cancel dan Perilaku Cancel Culture
13 Desember 2023 5:36 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Pengertian dan Istilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kata "cancel" merupakan istilah yang secara luas digunakan dalam budaya populer, terutama di media sosial, untuk menggambarkan tindakan membatalkan atau menolak seseorang, sesuatu, atau suatu ide secara publik.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini melibatkan ketidaksetujuan atau kekecewaan terhadap perilaku, pernyataan, atau pandangan yang dianggap tidak etis, kontroversial, atau tidak mendukung nilai-nilai tertentu.
Lantas, apa sebenarnya arti cancel dan bagaimana bentuknya? Ini ulasannya.
Apa Arti Cancel?
Istilah "cancel" berasal dari frasa "cancel someone" yang seringkali digunakan di platform media sosial untuk menandai bahwa seseorang atau sesuatu telah kehilangan dukungan atau popularitas mereka di mata publik.
Ini bisa terjadi karena tindakan atau pernyataan yang dianggap merugikan, menyinggung, atau tidak dapat diterima menurut standar yang dipegang oleh kelompok tertentu.
Dalam konteks media sosial , tindakan "canceling" sering dilakukan dalam bentuk kampanye boikot, penarikan dukungan finansial, atau bahkan pemutusan hubungan sosial terhadap individu, merek, atau entitas yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini seringkali berakar dari kekuatan kolektif di platform online, di mana suara-suarapun dapat menjadi alat untuk menentukan nasib seseorang atau sesuatu.
Mengenal Cancel Culture
Di tengah gelombang informasi dan interaksi yang semakin meluas di dunia digital, fenomena "cancel culture" atau budaya pembatalan telah menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan.
Seakan menjadi refleksi dari kekuatan massa dalam ranah online, cancel culture tidak hanya sekadar semboyan, melainkan juga menjadi manifestasi dari eksklusi sosial terhadap individu, institusi, atau ideologi tertentu.
Cancel culture bukanlah fenomena baru; namun, popularitasnya meroket di era media sosial. Jejak pertamanya dapat ditelusuri pada awal tahun 2010-an di Twitter, ketika mulai munculnya gerakan boikot dan penolakan terhadap figur publik atau merek tertentu.
ADVERTISEMENT
Sejak itu, fenomena ini telah meluas dan bermetamorfosis, menemukan landasan di platform-platform digital yang memperkuat suara kolektif.
Meskipun tujuannya seringkali untuk menyuarakan keberatan terhadap perilaku atau pandangan yang dianggap tidak etis, cancel culture juga mendapatkan kritik karena potensi penyalahgunaannya.
Beberapa memandangnya sebagai sensor atau bentuk penghakiman yang tidak adil, yang dapat membatasi kebebasan berekspresi dan menghambat dialog yang konstruktif.
Cancel culture sendiri merupakan fenomena yang kompleks dan terus berubah seiring dengan evolusi media sosial dan budaya online. Namun, pada intinya, istilah "cancel" mencerminkan upaya untuk menarik dukungan, mengisolasi, atau menolak seseorang atau sesuatu sebagai respons terhadap tindakan atau pandangan yang dianggap tidak dapat diterima menurut standar yang berlaku dalam kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Dampak Cancel Culture
Sementara ada yang memandang cancel culture sebagai alat yang efektif dalam menyuarakan keberatan terhadap perilaku atau pandangan yang dianggap tidak etis atau tidak mendukung, ada juga kekhawatiran terkait dengan potensi penyalahgunaannya.
Banyak yang khawatir bahwa cancel culture dapat menjadi bentuk sensor yang membatasi kebebasan berekspresi atau bahkan memicu penghakiman yang tidak adil.
Salah satu dampak utama dari cancel culture adalah polarisasi yang semakin tajam di masyarakat. Ketika suara yang terdengar semakin keras, tercipta celah yang lebih besar antara kelompok yang berseberangan, menghambat dialog dan pemahaman yang lebih mendalam.
Cancel culture menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika sosial di era digital. Meskipun memiliki potensi untuk memperjuangkan keadilan dan akuntabilitas, dampaknya yang kompleks juga menuntut kewaspadaan dan pendekatan yang bijak dalam menghadapinya.
ADVERTISEMENT
Penting untuk tidak hanya menyuarakan ketidakpuasan, tetapi juga membangun ruang diskusi yang inklusif, memahami konteks, dan mengedepankan dialog untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam.
(APS)