Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Cerita Pesugihan: Aku Hampir Menjadi Tumbal Bosku Sendiri
18 November 2020 18:47 WIB
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aku baru saja menyelesaikan pekerjaannya sore itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja bos memanggilku untuk datang ke kantornya. Huft, sisa jam yang bisa kugunakan untuk beristirahat itu harus terbuang begitu saja. Tapi tak apa, mungkin saja bos sedang ingin memberiku bonus, ya kan?
ADVERTISEMENT
Sesampainya di sana, aku mengetuk pintu. “Permisi Pak, ini Bagus,” kataku. Tak lama, bosku menyahut dan segera menyuruhku masuk. Sebelumnya, aku belum pernah memasuki kantor milik bosku ini. Namun aku pernah mendengar rumor kalau di pojok ruangannya selalu ada dupa yang dinyalakan.
Saat aku masuk, ternyata desas desus itu benar. Bau dupa semerbak menghinggapi hidungku. Tak hanya dupa, aku pun sempat melihat ada semacam sesajen yang diletakkan di sebelah dupa. Tak ingin berprasangka macam-macam, aku lalu duduk.
“Gus, setelah ini kamu ikut saya ke rumah ya. Ada barang yang harus diangkut ke pabrik besok. Pak Burhan sedang cuti jadi butuh tambahan orang untuk mengangkut barang-barangnya,” kata Pak Bos.
“Baik, Pak,” balasku sopan untuk menunjukkan sikap pegawai yang baik.
ADVERTISEMENT
Aku lalu menunggu Pak Bos untuk menandatangani beberapa berkas untuk beberapa saat. Setelah selesai, aku langsung membuntutinya dari belakang untuk menuju mobil. Saat aku menaiki kursi penumpang, entah kenapa bau yang ada di ruangannya tadi sama persis dengan bau yang ada di mobil.
“Sebegitu enaknya kah bau dupa sampai harus ditaruh di mana-mana?” batinku. Meski kali ini baunya tidak terlalu menyengat, tapi tetap saja bau itu sedikit membuatku tak nyaman. Pak Bos menginjak pedal dan aku pun hanya terdiam sepanjang perjalanan, begitu pula Pak Bos.
---
Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah Pak Bos. Rumah itu besar, tingkat dua, dan kelihatannya mewah. Saat ini, aku menerka-nerka apakah selera Pak Bos memang sedikit berbeda dengan yang lain.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, rumah besar tersebut tidak dilengkapi dengan penerangan yang memadai, melainkan hanya diberi lampu yang sudah redup. Seruhan Pak Bos kemudian membuyarkan lamunanku. “Gus, ayo sini masuk,” katanya.
Aku lalu mengikutinya dari belakang. “Duduk saja dulu di sini, saya mau memanggil karyawan yang bertugas dulu,” kata Pak Bos. Ia lalu pergi ke dalam rumah sambil berteriak kepada pembantunya untuk mengambilkanku minum. Aku menuruti kata-katanya dan duduk di sofa.
Setelah itu, aku ternyata baru sadar kalau rumah itu juga bau dupa. Mungkin karena daritadi aku selalu menciumnya jadi hidungku sudah beradaptasi dengan bau tersebut.
Atau bisa jadi bau dupa dari kantor Pak Bos dan mobilnya tadi masih membekas di hidung sehingga aku masih menciumnya sampai sekarang. Entahlah.
Saat aku menunggu, aku bertemu seorang anak perempuan yang dibawa pembantu Pak Bos setelah memberiku minum. Kelihatannya sih, anak Pak Bos. Namun anehnya, anak itu tidaklah seperti anak normal.
ADVERTISEMENT
Ia berada di atas kursi roda sedangkan kedua telapak tangannya seperti tertekuk di atas. Kepalanya miring dan mulutnya terus-terusan mengeluarkan liur. Akan tetapi, meski kelihatannya tidak berdaya, anak itu memakai baju yang mewah. Sementara di tangannya ada banyak gelang emas.
Ada rumor yang mengatakan kalau memang ada anak cacat di rumah Pak Bos. Katanya, anak itu sengaja dimanjakan karena tuntutan pesugihan . Rumor ini semakin dilebih-lebihkan setelah mengetahui ada dupa di ruangan Pak Bos.
Tapi setelah melihat anak itu secara langsung, aku malah menjadi prihatin. “Orang-orang itu ngawur! Bosnya diberi cobaan begini kok malah dirumorkan yang tidak-tidak,” gumamku.
Lama menunggu karyawan lainnya, aku jadi ingin kencing. Sementara itu, Pak Bos juga tak kunjung menemuiku di ruang tamu. Aku lalu memutuskan bertanya letak kamar mandi kepada pengasuh anak itu. “Lurus saja, setelah itu belok kanan. Ada pintu di sebelah dapur, nah itu kamar mandinya Mas,” katanya.
ADVERTISEMENT
Aku lalu buru-buru menuju kamar mandi karena sudah tak tahan. Namun, saat aku melewati sebuah pintu kamar, aku mendengar sayup-sayup suara Pak Bos yang sepertinya sedang membicarakanku.
“Tenang saja Ma, aku sudah bawa Bagus. Aku sudah mengecek weton dia dan ternyata cocok sekali. Dia sudah ada di depan Ma. Setelah ini tinggal kita eksekusi saja,” samar-samar Pak Bos berkata kepada istrinya.
Mendengar itu, aku tidak jadi kebelet kencing. Entah apa yang dimaksud “eksekusi” itu, tapi perasaanku benar-benar tidak enak. Tanpa pikir panjang, aku lalu bergegas keluar dari rumah itu. Namun aku dicegat pembantu yang memberi tahu jalan ke kamar mandi tadi.
“Eh, mau ke mana Mas?” tanyanya dengan raut khawatir.
ADVERTISEMENT
“Mau ngerokok sebentar Mbak,” jawabku berbohong. Aku takut pembantu itu juga bersekongkol dengan Pak Bos sehingga aku terpaksa berkata demikian. Aku lalu berjalan hingga sampai di sebuah halte bus. Aku lalu pulang ke rumah dengan hati yang tak karuan.
Ternyata rumor Pak Bos yang menggunakan pesugihan ternyata benar adanya. Sejak saat itu, aku langsung mengundurkan diri dari kantor tanpa meminta persetujuan Pak Bos. Aku tidak ingin diincar sebagai tumbalnya lagi.
Tulisan ini hanya rekayasa. Kesamaan nama dan tempat kejadian hanyalah kebetulan belaka.