Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Semua Terhubung Dalam Tiga Kerangka Waktu
10 April 2025 9:16 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Petrus Polyando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Petrus Polyando
9/4/2025

Adagium latin nil novi sub sole (nihil sub sole novum) sebenarnya mengajarkan kita bahwa tidak ada yang baru di bawah matahari. Maknanya adalah yang diperbuat akan diperbuat lagi, yang pernah ada akan ada lagi, yang pernah terjadi akan terjadi lagi. Ini sebagai refleksi penting terhadap setiap peristiwa sosial maupun peristiwa alam.
ADVERTISEMENT
Ajaran pengkotbah ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi akibat dari keterhubungan hidup (the connectedness of life) yang tidak pernah terputus. Bisa ditafsir sebagai pengulangan dari segala sesuatu pada tiga kerangka waktu yakni masa lalu, masa kini dan masa datang. Siklus ini mencerahkan soal hakikat kesementaraan dari segala sesuatu, semuanya mewaktu, silih berganti.
Sebagai makhluk menyejarah seperti dikatakan filsuf jerman Wilhelm Dilthey (1833-1911), memahami setiap perubahan sosial maupun peristiwa alam dengan menghubungkan berbagai macam peristiwa ke dalam sebuah pola merupakan sikap bijak manusia. Ini bukan hanya petunjuk menyongsong situasi serupa, tetapi sebagai kesadaran mutlak anasir berakal demi memelihara peradaban. Kesadaran dimaksud terkait hukum alam yang selalu berjalan dengan kemutlakannya dan perilaku manusia yang terus berkembang demi melangsungkan hidup.
ADVERTISEMENT
Sejarah selalu berulang.
Peristiwa-peristiwa sejarah, meskipun berbeda konteks, namun kelak berulang dengan pola atau tema serupa di masa depan. Paham ini memandang sejarah bak siklus yang terus berputar, serupa dengan konsep "da capo" dari Nietzsche (1844-1900), yaitu pengulangan abadi ke hal yang sama.
Filsuf Karl Marx (1852) melanjutkan pernyataan Hegel bahwa semua peristiwa dan tokoh besar dalam sejarah terjadi, bisa dikatakan, dua kali. Marx menambahkan: pertama kali sebagai tragedi besar, kedua kali sebagai lelucon menyedihkan. Ringkasnya sejarah selalu mengulang dirinya sendiri: pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon.
Para tokoh sejarah membuktikan pengulangan sejarah tidak harus tragedi ke lelucon seperti klaim Karl Marx, tetapi bisa juga tragedi ke tragedi. Jadi, substansinya adalah pengulangan pola dari peristiwa ke peristiwa di dalam tiga kerangka waktu.
ADVERTISEMENT
Agar kita dapat merespon setiap peristiwa dengan tepat, maka hal utama yang dibutuhkan adalah pemahaman total terhadap gejala yang muncul. Ini membutuhkan interpretasi kerja akal pikiran yang membentuk hubungan-hubungan antar peristiwa. Pada konteks ini pendekatan sejarah menjadi sarana efektif menemukan keterhubungan pola suatu peristiwa. Ini mengingat tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang vakum sejarah.
Mau tak mau, menguasai sejarah merupakan langkah positif mengetahui dan memahami serta merekonstruksi setiap peristiwa secara jelas, agar timbul sikap kritis dan antisipatif terhadap hal baru.
Beberapa gejala dan fakta perihal pengulangan peristiwa dapat disimak dan dianalisis dari uraian berikut.
Pertama; Peristiwa sosial berulang misalnya perang dunia yang menimbulkan pengaruh global terhadap seluruh aspek kehidupan sosial. Terdapat kesamaan peristiwa perang dunia pertama dan kedua yakni skala konflik besar dunia dengan melibatkan banyak negara besar. Kemudian wabah penyakit menular, yang menyebar ke berbagai negara dan membahayakan nyawa manusia seperti sampar (1720), kolera (1820), flu spanyol (1920) dan corona (2020). Semua terjadi berselang 100 tahun dan menimbulkan dampak sosial yang signifikan, bahkan mampu mengubah perilaku manusia dalam interaksi sosial.
ADVERTISEMENT
Kedua; Peristiwa ekonomi yang tampak berulang seperti resesi ekonomi, krisis moneter dan krisis ekonomi. Krisis tersebut membuat jutaan orang kehilangan pekerjaan dan mempengaruhi stabilitas perekonomian berbagai negara. Data krisis ekonomi berulang seperti Krisis Kredit 1772, The Great Depression 1929-1939, Krisis Minyak OPEC 1973, Krisis Asia 1997 dan Krisis Keuangan 2007-2008, termasuk Krisis Ekonomi COVID-19. Kesamaan pola dari krisis-krisis ini adalah pergerakan industri ekspor-impor terhambat, aktivitas bisnis berkurang, terjadi inflasi, peningkatan pengangguran dan kemiskinan, hingga membuat pergerakan ekonomi dunia melambat.
Ketiga; Dalam konteks politik pemerintahan, siklus berulang dapat ditemukan dari peristiwa perubahan sistem pemerintahan. Di zaman Romawi kuno, Polybius (200 SM–118 SM) seorang ahli sejarah mendeklarasikan ajaran cyclus theory, yang menjelaskan bahwa pemerintahan akan selalu berubah dari satu sistem ke sistem lain dalam siklus yang berulang. Terbentuknya suatu sistem pemerintahan akibat dari sistem sebelumnya, dan sistem terakhir merupakan penyebab dari sistem berikutnya. Jadi, peristiwa pemerintahan akan berlangsung terus dan dapat terulang kembali dalam siklus alami, yaitu kemunculan, kemakmuran, dan kemunduran.
ADVERTISEMENT
Praktik pengulangan peristiwa pemerintahan ini, di masa Yunani Kuno mengikuti ajaran Platon dan Aristoteles, berlangsung dalam enam sistem antara lain monarki, tirani, arsitokrasi, oligarki, polity dan demokrasi. Pada masa Romawi Kuno, Polybius mengulang enam sistem di atas namun istilah polity digunakan sebagai demokrasi konstitusional dan okhlokrasi sebagai yang terburuk dari demokrasi.
Keempat; Hal praktik politik pemerintahan modern, pengulangan dapat ditunjukan dalam beberapa fakta unik. Misal, peristiwa runtuhnya rezim pemerintahan Soekarno (orde lama) dan Soeharto (orde baru) dilatari gelombang aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat. Kedua peristiwa tersebut memiliki kesamaan pola, yakni berakhirnya rezim pemerintahan diawali demonstrasi.
Kelima; Hal kejayaan negara, di masa lampau nusantara pernah mengalami kejayaan dalam siklus tujuh abad. Pada tujuh abad pertama (abad-7M), kejayaan terjadi di masa kerajaan Sriwijaya. Setelah Sriwijaya runtuh, nusantara kembali berjaya pada tujuh abad berikutnya (abad-14M), ketika masa kekuasaan Raja Majapahit. Masa kejayaan nusantara dari dua kerajaan ini tampak sama pada periode tujuh abad. Ini kemudian menguatkan prediksi akan tiba kejayaan pada tujuh abad ketiga, tepatnya abad ke-21. Saat ini, kejayaan itu sering dikaitkan dengan Indonesia Emas 2045.
ADVERTISEMENT
Poin-poin di atas tentu masih minim, diantara melimpahnya fakta peristiwa politik, sosial, dan ekonomi di masa lampau yang masih luput dari tinjauan. Namun, keseluruhan terasa cukup menyadarkan kita untuk memahami secara komprehensif setiap gejala terkini. Peristiwa-peristiwa tersebut patut membangkitkan sikap sadar penuh dan paham total yang akan melatih intuisi menjadi pribadi antisipatif dan mawas diri, agar yang buruk tidak terulang.
Peristiwa terkini.
Saat ini, ada sejumlah gejala politik pemerintahan, gejala sosial maupun gejala ekonomi yang mengkhawatirkan dan tampak mengulangi rezim orde baru. Gejala politik pemerintahan misal terkait akan kembalinya rezim sentralistik-otoriter yang membungkus diri dalam demokrasi.
Steven Levitsky & Lucan A Way (2002), menyebutnya sebagai rezim competitive authoritarian, dengan karakternya yakni rezim sipil dengan lembaga demokrasi formal sebagai cara utama memperoleh kekuasaan, namun terjadi praktik kecurangan dalam pemilu, pelanggaran kebebasan sipil, penyalahgunaan sumber daya negara dan media sehingga sangat mendistorsi lapangan permainan. Kekuatan oposisi terhambat oleh lapangan permainan yang tidak seimbang dan membahayakan sehingga tidak ada persaingan yang adil.
ADVERTISEMENT
Karakter di atas, mencerminkan persis realita saat ini, seperti partai politik berlomba masuk kabinet, tidak ada ruang bagi kekuatan oposisi, sebagian kelompok masyarakat sipil diajak bergabung ke istana, pers tidak lagi kritis terhadap kekuasaan, parlemen dikuasai partai pendukung pemerintah, daerah semakin tidak otonom dan kampus menjadi alat legalisasi kebijakan.
Hal lain yang tidak kala merisaukan adalah kembalinya dinasti politik serta maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Rezim demokrasi yang dipromosikan akan menghadirkan sirkulasi elit secara terbuka, justru hanya berperan menguatkan legitimasi elit yang tersedia. Suara rakyat hanya sekedar mengukuhkan otoritas sejumlah elit demi mengamankan kepentingan pribadi dan kelompok.
Di sisi lain, masuknya polisi pada berbagai kementerian atau lembaga non kementerian, disertai perubahan UU-TNI menjadi indikasi pengulangan pola dwi-fungsi ABRI. Polisi yang secara geneaologi dibentuk untuk menyelenggarakan urusan keamanan, ditempatkan dalam berbagai jabatan sipil yang semestinya mutlak diisi kalangan profesional ASN.
Perihal gejala sosial, bisa dideskripsikan dari tingginya tingkat kesulitan masyarakat, tingkat kerawanan sosial dan tingkat kesenjangan masyarakat. Faktor penyebabnya memang berasal dari internal maupun eksternal, namun kondisinya menyerupai orde sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, gejala ekonomi yang tampak mengulang masa silam adalah ancaman krisis moneter dan krisis ekonomi. Ini mulai tampak dari ancaman PHK masal dimana-mana, anjloknya indeks harga saham gabungan, merosotnya nilai tukar rupiah, daya beli masyarakat menurun, muncul seruan ramai-ramai tarik uang dari bank. Ini memang dipicu oleh perang dagang dan kebijakan tarif Presiden Donald Trump terhadap sejumlah negara. Namun demikian, kondisi tersebut mirip dengan pola krisis di masa silam dan tetap saja mengkhawatirkan berbagai negara.
Di antara gejala yang dipresentasikan, tentu masih banyak yang terlewat dari kajian. Terlewat bukan berarti terlupakan begitu saja peristiwa sejarahnya. George Santayana (1905) mewanti-wanti itu bahwa "Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya." Yang pasti, semua yang tersaji maupun yang terlewat mengarah pada ancaman nyata terhadap stabilitas demokrasi.
ADVERTISEMENT
Timbul pertanyaan kritis, akankah terulang masa kelam itu? Bagaimana dengan siklus kejayaan tujuh abad yang memberikan harapan? Siklus mana yang akan tiba sekarang? Mengapa terulang kembali?
Menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dipahami dulu pernyataan Sydney J. Harris seorang jurnalis Amerika yang hidup dari tahun 1917-1986, bahwa "Sejarah berulang dengan sendirinya, tetapi dengan penyamaran yang licik sehingga kita tidak pernah mendeteksi kemiripannya sampai kerusakan terjadi." Sebagai pemimpin masa depan Bumi, kita tidak dapat membiarkan hal ini.
Ungkapan ini meneguhkan klaim pengkotbah di awal sekaligus mengingatkan bahwa selalu ada pengelabuan pola yang sulit ditemukan. Dan tampaknya ini lebih mungkin mengindikasikan pengulangan peristiwa tragedi ke tragedi yang berpotensi menghadirkan kembali masa kelam itu. Dengan sendirinya siklus kejayaan sulit terwujud, jauh dari harapan.
ADVERTISEMENT
Potensi pengulangan tragedi ke tragedi, sejatinya berhubungan dengan dominasi pengendalian jiwa manusia. Sejauh individu masih terbelenggu oleh nafsu dan kehendak, maka level orientasi kebahagiaan diarahkan pada kenikmatan akan kepemilikan materi (epithumia) dan kepuasan diri (tumos). Dalam ajaran Platon sifat epithumia dan tumos ini semestinya dikendalikan oleh nalar atau logisticon.
Sebab itu, bila elit penyelenggara negara belum selesai dengan dirinya, dan masih mengorientasikan jabatan untuk memenuhi hasrat dan kehendak pribadi serta mementingkan kelompoknya, maka sangat sulit untuk meraih kejayaan. Betapapun melimpah kekayaan alam yang bernilai tinggi, akan sulit dikelola dengan baik sehingga memberikan kemakmuran bagi rakyat sejauh nalar belum mampu mengekang hasrat dan kehendak. Dengan kata lain, ketika batin belum bebas dari belenggu materi, maka yang terjadi adalah saling menunggu kesempatan. Akhirnya Siklus pun berulang.
ADVERTISEMENT
Manusia membuat sejarahnya sendiri, namun ini tergantung pada suasana batin. Batin yang terbelenggu selalu mewarisi dendam terhadap kondisi langsung dari masa lalu, sehingga mendaur-ulang tradisi buruk. Batin yang belum mampu melepaskan diri, sangat membebani otak untuk berjuang mengubah diri demi mendapatkan posisi baru. Dan ini menjadi peluang melampiaskan emosi yang terpendam. Maka terjadilah panggung sejarah baru dengan penyamaran yang terhormat yang mengulang peristiwa lampau.
Pada akhirnya kita dapat memahami bahwa memang pengulangan sejarah itu ada dan akan terus ada. Namun, siklus tragedi dapat terulang manakala diri manusia dikendalikan oleh nafsu ego dan kehendak diri. Sebab itu, selalu melatih kesadaran diri untuk tidak kaget melihat suatu peristiwa dan membiasakan akal mengendalikan nafsu dan kehendak. Bila semua terkendali oleh akal, maka niscaya sulit terjadi pengulangan tragedi yang merisaukan. Paling tidak pengulangan itu mampu diprediksi oleh akal yang telah menjangkau secara komprehensif dampaknya.
ADVERTISEMENT