Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kualat Gunung Merapi: Pasar Bubrah (BAB 7)
3 Maret 2021 14:27 WIB
Tulisan dari Didit Galaraka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kehadiran lelaki itu menghadirkan rasa penasaran bagiku. Lebih tepatnya, aku sangat penasaran dengan penampilannya yang tak umum.
ADVERTISEMENT
“Maaf, Pak. Darimana mau ke mana ya?” aku membuka obrolan.
“Saya warga sini. Saya mau pulang, tapi sudah kemalaman. Rumah saya di belakang puncak sana.” Lelaki itu menjawab dengan santainya, menunjuk ke arah siluet besar puncak Merapi.
Hah? Emang ada desa di belakang puncak ini? satu pertanyaan besar menghujam di kepalaku.
Tak ada reaksi kedinginan sedikitpun dari raut muka ataupun bahasa tubuhnya. Padahal, dia hanya memakai dua lapis kaos tipis. Kulitnya pun nampak berwarna normal, kuning langsat. Tanpa ada warna ungu yang menandakan darah-darahnya mulai beku oleh hawa dingin.
Luar biasa sekali pria ini. Ilmu apa yang dia pakai, hingga jaket pun tak berguna baginya?
Aku dan Kucay saling memandang. Heran dengan keluarbiasaan pria ini. Kucay sendiri menyebut pria ini dengan sebutan “Mbah”.
ADVERTISEMENT
“Mari, Mbah. Kita ngopi-ngopi di depan tenda aja.” Ajakku dengan segan.
Aku berjalan duluan menuju Ibang dan Gundil. Kucay dan Si Mbah mengikutiku dari belakang. Sayup kudengar, mulut Si Mbah meracau kecil. Bukan mengajak Kucay berbincang. Dia meracau sendiri.
Aku meminta Ibang untuk mengeluarkan kembali peralatan memasak. Dengan cekatan, Ibang meraih cerriernya lalu dengan hati-hati mengeluarkan satu persatu peralatan masak itu.
Aku sendiri mengeluarkan dua renceng kopi hitam manis dari dalam cerrierku. Itu adalah amunisi kami selama disini. Dan tentunya, tidak akan pernah ada rokok tanpa ada kopi di sampingnya. Mereka berdua layaknya dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan.
“Laper lagi, gue.” Tutur Ibang. ”Dil, gue minta mie.”
Ibang merangkak menuju ke dalam tenda. Ia merogoh cerrier Gundil yang tersimpan banyak mie instan dari berbagai merk dan berbagai rasa.
ADVERTISEMENT
Perutku yang semula terasa kenyang, mulai terasa lapar kembali. Sepertinya cacing-cacing di dalam perutku ini terhipnotis oleh Ibang.
“Sekalian, bawa lima aja, Bang! Kita makan-makan disini.” Ucapku.
Aku menoleh ke tempat Si Mbah duduk. Tangannya melingkar di betisnya yang ia tekuk. Tatapannya tertuju kosong melihat ke arah tenda Yoyo. Dari matanya, seperti ada cercahan kesedihan. Nafasnya sesekali berembus kecil. Si Mbah terus saja melamuni tenda Yoyo tanpa bergerak sedikitpun.
“Kenapa, Mbah?” tanyaku membangunkan lamunannya.
“Eng ... gak apa-apa.” jawabnya.
O, ya. Aku teringat sesuatu. Apa Si Mbah ini adalah orang yang dimaksud pemuda yang kutemui di Pasar Cepogo tadi siang? Aku rasa begitu.
Kuraih cerrierku, kuambil ranting jati yang kusimpan di sakunya. Lalu, tak lupa kurogoh koin berlubang kecil, berbentuk kotak di saku celanaku. Kuperlihatkan kedua barang itu kehadapannya.
ADVERTISEMENT
“Apa ini?” tanya Si Mbah.
“Lho, bukannya ini punya Mbah?” tukasku.
Si Mbah lalu merampas koin dan ranting itu dari tanganku. Matanya memicing, dahinya mengernyit. Ia memeriksa setiap detail dari keduanya. Mencium bau dan melihat setiap ukiran dan lekukannya.
“Ohh, ini.” cakap Si Mbah, seperti sudah mengetahui pemilik kedua benda itu.
“Ini milik salah satu pedagang di Pasar ini.” tegasnya.
Si Mbah memberikan kedua benda itu ke genggamanku lagi. Lalu, aku menyimpannya kembali ke tempat semula.
“Apaan itu, Dip?” tanya Kucay penasaran.
“Ah, itu. Emm ... Cuma cinderamata.” Jawabku gugup seraya melontarkan senyum.
“Oh, ya, Mbah. Emang disini betul-betul ada yang berjualan? Kok masih sepi?” tanyaku, sambil kubersihkan debu yang ada di tanganku. Aku penasaran dengan kondisi Pasar Bubrah yang masih tidak ada pedagang satupun saat itu.
ADVERTISEMENT
“Iya, ada. Tapi pasarnya baru buka nanti, tengah malam.” jawab Si Mbah, lagi-lagi dengan santainya.
“Lho, kok masih sepi Mbah?”
Lelaki itu hanya diam seribu bahasa. Tak ada jawaban yang kuharapkan. Matanya kembali beralih menatap tenda Yoyo. Mataku pun mengikuti arah pandangnya. Aku melihat tenda Yoyo yang gelap dan sedikit bergerak-gerak karena diterpa angin.
Sambil menunggu Mie instan yang tak kunjung matang, mataku masih menatap tenda Yoyo. Siapa tahu, Yoyo terbangun dari tidurnya dan keluar tenda menghampiri kita semua.
Tak menunggu waktu lama, harapanku terkabul. Mulut tenda yang kulihat beberapa meter di depanku itu, seperti ada tangan yang berusaha membukanya dari dalam. Perlahan kain parasutnya mulai terbuka. Sedikit-sedkit mulai terlihat, dua pasang kaki dalam keadaan lemas. Mulki dan Desti sudah tertidur pulas.
ADVERTISEMENT
Tangan yang berusaha membuka mulut tenda, terus menuntun resletingnya agar terbuka penuh. Dalam keadaan setengah jongkok, Yoyo berusaha keluar tenda. Ia sedikit merapikan kupluknya lalu menutup pintu tendanya kembali.
Yoyo berjalan cepat ke arah kami. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri. Asap yang keluar dari hidung dan mulutnya nampak putih.
“Mbah.” Sebelum mengambil posisi duduk, Yoyo melempar senyum pada Si Mbah. Lalu, ia duduk di samping Si Mbah.
Mata Si Mbah memeriksa Yoyo dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia seakan tersadar sesuatu.
“Yoyo? Ini rombongan kamu?” tanya Si Mbah sembari menyampirkan tangannya ke pundak Yoyo.
Yoyo menganggukkan kepala. Tak heran bagiku. Banyak yang Yoyo sudah temui di Merapi ini. Sehingga, sedikitpun aku tidak menaruh curiga terhadap sikap Yoyo kepada Si Mbah tadi.
ADVERTISEMENT
Mereka cukup akrab. Layaknya kawan lama yang bertemu kembali setelah beberapa tahun dipisahkan oleh ruang dan waktu. Senyum terlukis di antara keduanya.
“Kopi apa Mie, Yo?” tanya Ibang sembari menumpahkan Mie ke wadah agak besar. Itu memang untukku, Ibang, Gundil, dan Kucay. Sementara untuk makan Si Mbah, Ibang mengambil nesting miliknya sebagai tempat penyajian mie dengan porsi yang lebih sedikit.
“Kopi aja, Bang. Udah kenyang gue.” Jawab Yoyo.
“Wokee.” Jawab Ibang menyanggupi.
Mie instan sudah tersaji di depan mata. Ibang masih berkutat dengan nesting berisi air yang ia taruh di atas kompor portabel. Selagi menunggu mendidih, Ibang memberikan Mie milik Si Mbah, lalu beringsut sedikit siap menyantap Mie yang sudah tersaji dalam wadah.
ADVERTISEMENT
Kami lebih baik seperti ini. Untuk membangun kebersamaan, hal sederhana seperti ini sangat perlu untuk dilakukan. Satu wadah untuk bersama. Tadi pun begitu. Hanya saja, wadah ini sekarang tersaji Mie, bukan nasi dan lauk pauk.
Ibang mondar-mandir memeriksa kondisi air yang ia masak. Setelah mendidih, baru ia seduh kopi yang sebelumnya sudah ditaburkan kedalam gelas plastik.
Yoyo menyambut bahagia kopi yang ia pesan. Tangannya merogoh saku celananya dalam-dalam. Seperti mencari sebuah kepingan harta di dalam tanah. Ternyata, Yoyo mengambil sebuah rokok dari sakunya itu.
Sial, dia mendahului kami.
“Yo, emang di daerah sini ada desa?” tanyaku sembari lahap menyeruput beberapa helai Mie Instan yang nikmat ini.
“Ada.” Jawabnya singkat. Kepulan asap rokoknya membubung. Sehingga hampir tak dapat dibedakan antara asap rokoknya, dengan asap dari karbon dioksida yang keluar dari setiap hembusan nafas kami. Hanya saja, lebih pekat.
ADVERTISEMENT
“Gue lanjut ngopi di tenda aja. Bahaya kalo si Mulki sama Desti ditinggal berdua.” Masih dengan rokok dan kopi di tangannya, Yoyo meninggalkan kami.
“Mari, Mbah.” Ujarnya.
Dia melangkah kembali menuju tendanya. Karena khawatir asap rokoknya berkumpul di dalam tenda, kulihat Yoyo sempat membenamkan bara api rokoknya ke dalam pasir tepat di depan tendanya.
Rokok itupun mati seketika. Puntungnya ia taruh di saku jaketnya, lalu dengan menunduk mundur, ia masuk tenda lalu melontarkan senyum dan melambaikan tangan ke arah Si Mbah.
Masih terdapat sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku masih tak habis pikir. Di daerah segersang ini terdapat sebuah desa? Desa yang kata Si Mbah terletak di puncak Merapi ini, selamat dari letusan beberapa tahun lalu? Aku mengerutkan dahi. Berusaha keras menerima pernyataan dari Si Mbah. Namun, otakku buntu. Aku sama sekali tidak menemukan jawaban.
ADVERTISEMENT
Kulihat sekali lagi perawakan Si Mbah dari ujung rambut, hingga ujung jari-jari kakinya. Aku dapat memastikan. Dia memang manusia. Tapi, mengapa penampilannya senekad itu? Padahal, aku yang manusia normal pun, memakai jaket berlapis disini. Dan dengapa dia mengaku terdapat desa di area segersang ini?
Mulut berhias kumis tebal itu terus lahap memakan mie yang kami beri.
***
Hahahaha.
Kami semua terperanjat. Hampir saja semua kuah mie rasa soto yang kami santap, tumpah ruah. Semua mata tertuju kepada Si Mbah. Aku yang duduk tepat di sampingnya, dapat melihat bahunya naik turun dengan cepat.
Aku memandangi teman-temanku. Kami semua bermain mata, saling mempertanyakan ada apa dengan lelaki ini.
Belum selesai dengan rasa terkejut yang kami dapat, kami kembali dikejutkan dengan tangisan lirih dari Si Mbah. Aneh. Tadi ketawa, sekarang menangis.
ADVERTISEMENT
Hal itu membuat kami sedikit beringsut menjauhi Si Mbah. Aku memberi kode mata kepada Ibang supaya membereskan peralatan masak sekenanya. Tanpa memperdulikan nesting yang sedang dipegang Si Mbah.
Si Mbah kembali tertawa dan berkata, “Kalian ini orang baik. Besok, kalian mampir dulu ke rumah saya, Ya? Kalo saya gak bawa orang baik seperti kalian, ibu saya bisa marah.”
Dadaku seperti dijejali balon, lalu ditiup hingga meledak. Mendengar pernyataan seperti itu, membuatku ingin segera masuk tenda lalu mengunci pintunya rapat-rapat.
“Ehhehe, Mungkin bisa diwakilin Yoyo.” Ucap Gundil dengan ekspresi senyum yang dipaksakan.
Ibang yang sekenanya merapihkan peralatan masak, pelan-pelan memasuki tenda. Diikuti oleh Kucay dan Gundil. Diluar, hanya menyisakan aku dan Si Mbah.
ADVERTISEMENT
Keringat dingin mulai membasahi keningku. Ludah yang beberapa kali kutelan, terasa berat sekali. Aku tak pernah merasakan setakut ini.
“Kami, duluan masuk tenda ya, Mbah. Sudah pada ngantuk.” Ucapku dengan terbata-bata.
Untungnya, Si Mbah mengizinkan. Hati ini terasa lebih lega ketika aku baru saja memasuki tenda. Kemudian, tergesa ku tutup resleting pintu tenda rapat-rapat.
Untuk lebih meyakinkan dan memberi kami kenyamanan, di balik mulut tenda itu, aku sumpal dengan empat cerrier sekaligus.
Di dalam tenda, suasana sangat sunyi. Tak ada candaan yang terlontar, tak ada lawakan yang biasa tersaji. Semua diam dibalik sleeping bag-nya masing-masing.
“Cay, gimana caranya elu bisa ketemu dia?” tanyaku tepat berbisik di telinganya.
“gue juga gak ngerti, Dip. Tiba-tiba aja dia ngehampirin gue di belakang tenda.” Jawabnya.
ADVERTISEMENT
Aku melirik Ibang. Kali ini, Sang Jawara pun sepertinya takluk. Ibang menyelimuti dirinya sendiri dan menghadap ke belakang tenda. Mungkin, ia belum mempunyai jurus penangkal, jika dirinya dibawa ke alam gaib oleh Si Mbah.
***
Udara malam semakin terasa kedap. Kulirik, semua temanku sepertinya sudah terlelap. Beruntung sekali mereka, dapat tidur dengan mudahnya. Aku merasa sendirian.
Ketakutanku semakin menjadi. Ketika kudengar, di luar tenda Si Mbah masih meracau sendiri. Kadang tertawa, kadang pula menangis. Darahku terasa semakin mendesir ke atas ubun-ubun. Jantungku berdegup kencang. Sialnya, aku belum juga mengantuk.
Selain mendengar racauan tak jelas dari lelaki aneh yang baru kukenal itu, telingaku menangkap suara-suara lain. Di luar, situasi begitu ramai.
ADVERTISEMENT
Sedikit keberanianku kembali muncul. Aku bergeser sedikit ke dekat mulut tenda untuk mencari tahu, apa yang sedang Si Mbah racaukan.
Tiba-tiba, ada tangan yang mencengkram pinggangku dengan kuat.
“Mau ngapain, lu?” tanya Kucay berbisik keras.
“Gue kepo sama Si Mbah.”
Ternyata, Kucay belum tertidur. Ibang dan Gundil serentak membuka bagian sleeping bag yang menutupi wajah mereka.
“minta bantuan si Yoyo aja. Siapa tahu dia bisa nge-handle.” Usul Ibang sangat bagus. Tapi, aku tak berani jika harus keluar tenda.
“Ya udah, gue aja yang kesana.” Timpal Kucay.
Kucay terbangun bergegas membuka sleeping bag-nya. Ia mengambil nafas berat. Lalu memindahkan cerrier-cerrier yang menyumpal mulut tenda. Dengan cepat, Kucay membuka resleting penutup pintu tenda. Kemudian, dengan sedikit berlari, ia menghampiri tenda Yoyo.
ADVERTISEMENT
Aku hanya bisa melihat Kucay menepuk-nepuk pinggiran tenda milik Yoyo. Dia mencoba membuka tenda itu, lalu dengan cepat menutupnya kembali.
Kucay berdiri. Dia berputar melihat ke sekeliling, lalu hilang dari pandanganku. Dari dalam tenda ini, aku hanya bisa berdoa, supaya Kucay segera menemukan bantuan.
Bermenit-menit kemudian, Kucay kembali berlari ke arah tenda ini. Buru-buru masuk lalu menyumpal kembali mulut tenda. Dengan nafas tersengal dan suara yang tergesa-gesa, Kucay berkata, “Yoyo, Mulki, Desti. Gak ada.”
Pernyataan Kucay membuat Gundil dan Ibang terduduk seketika.
“Tadi juga gue udah minta bantuan pendaki lain. Tapi, mereka semua juga pada takut.” Tandasnya.
Bagaimana ini? bagaimana jika Si Mbah tiba-tiba memaksa kami untuk sowan ke rumahnya?
ADVERTISEMENT
“coba telpon pihak basecamp!” seru Kucay.
Ide yang bagus. Aku segera mengambil ponselku. Segera kucari nomor kontak pihak basecamp.
Nah ketemu. Tanpa pikir panjang lagi, segera kutekan tombol berwarna hijau yang tertara dalam layar.
“Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan.” Suara lembut operator menyela memutus hubungan panggilanku.
Benar saja. Kulihat, batang-batang sinyal yang terlukis di pojok kanan atas ponselku itu hanya terisi satu. Kadang tidak ada sama sekali. Terus kucoba menghubungi pihak basecamp, tetap saja suara wanita pegawai operator itu yang menyela.
Awalnya harapan itu mulai tumbuh, kini kembali sirna. Kami semua panik. Sumpalan cerrier di mulut tenda, kami tambah dengan sepatu yang dirapatkan di atasnya.
Langkah terakhir yang bisa kami tempuh adalah hanya memaksakan diri untuk tertidur. Mungkin, Si Mbah tidak akan berani mengajak kami ke rumahnya jika kami dalam keadaan terlelap.
ADVERTISEMENT
Semua mengatur posisinya dengan baik. Kembali menutupi sekujur tubuh dengan sleeping bag. Semakin larut malam, semakin banyak pula aku mendengar suara dengkuran teman-temanku itu. Mereka bertiga sudah terlelap. Kecuali aku. Di samping aku tetap tidak bisa tidur, aku tetap ingin menjalankan amanah yang diberikan pemuda yang kutemui di Pasar Cepogo.
Aku menunggu tengah malam tiba—untuk memberikan titipan koin berlubang kecil dan ranting jati. Sayup kudengar, suara racauan Si Mbah perlahan mengecil hingga akhirnya hilang, disusul suara gemuruh yang membuatku terkejut.
Suara Si Mbah benar-benar menghilang. Akhirnya, aku bisa bernafas lega. Aku bergeser sedikit menuju mulut tenda untuk mengintip dari celah resleting. Benar, lelaki itu sudah tidak ada. Nesting bekasnya pun ia simpan dengan rapih, tepat di depan pintu tenda.
ADVERTISEMENT
Sejurus kemudian, aku kembali dikagetkan oleh sebuah suara. Namun, kali ini bukanlah suara Si Mbah. Melainkan suara gamelan jawa yang begitu jelas memekik telingaku. Dilengkapi dengan suara kidung jawa yang membuat bulu halus di belakang leherku ini berdiri seketika.
Rasanya hanya merinding. Bukan takut layaknya ajakan Si Mbah tadi. Sehingga, dengan yakin aku mengambil koin dan ranting itu lalu bergegas keluar tenda. Di luar, memang sudah terdapat banyak pedagang yang menjajakan makanannya. Di antara mereka, ada yang mendirikan lapaknya tepat di samping tenda pendaki lain.
Aku melangkah tanpa sepatu. Pasir-pasir itu ingin menelan langkahku. Langkahku tergopoh-gopoh.
Beberapa meter aku melangkah, aku merasakan hal yang sangat ganjil.
Kapan pedagang-pedagang ini mempersiapkan lapaknya?
ADVERTISEMENT
Aku berputar melihat sekeliling. Ternyata, pedagang-pedagang itu sudah sangat bersiap menjajakan dagangannya. Pedagang-pedagang itu berwajah pucat pasi. Suara gamelan yang masih kudengar, tidak hanya membuatku merinding. Akan tetapi, menambah nuansa seram yang sangat pekat.
Pikiranku berkecamuk. Dijejali pertanyaan-pertanyaan yang merujuk kepada jawaban yang dapat aku simpulkan sendiri.
Setan.
Inikah Pasar Setan? Aku harus mengembalikan benda-benda ini ke tangan setan?
Aku mengurungkan niatku. Aku berniat akan menggeletakkan benda-benda ini begitu saja, berharap si Bapak pedagang yang diaku ayah oleh pemuda yang kutemui itu mengetahui keberadaan benda-benda ini.
Aku memutar badanku. Melangkahkan kakiku untuk mencari tempat yang cocok. Namun, seseorang menghadangku.
Itu Si Mbah. Aku berusaha kabur dari terornya. Akan tetapi, cengkramannya begitu kuat mencengkam lenganku.
ADVERTISEMENT
“Ayo, Ikut saya!” Si Mbah membentakku. Aku tidak bisa melepaskan genggamannya yang begitu kuat. Aku panik. Sejadi-jadinya.
“Gak usah takut, Saya akan ngantar kamu ke pemilik benda-benda itu.” Suaranya melembut. Seperti tidak pernah membentak sebelumnya.
Aku pun tidak lagi berontak. Aku bisa dengan baik mengikuti langkahnya.
Aku melihat ke sekeliling pasar. Di salah satu lapak yang mencuri perhatianku, aku melihat sebuah transaksi dari seorang anak muda yang berpakaian biasa saja dengan pedagang yang menjajakan dagangannya di dalam beberapa kantong plastik berwarna hitam.
Aku terus memantaunya. Dan tanpa kusangka, anak muda itu ternyata membeli kaki dan tangan manusia yang sudah dipotong-potong. Aku mendadak merasakan mual. Seketika aku teringat dengan bingkisan hitam yang kujumpai di jalur pendakian.
ADVERTISEMENT
Daripada mual berkelanjutan, aku memalingkan pandanganku ke punggung Si Mbah.
Beberapa saat setelah aku melihat transaksi menjijikkan itu, Si Mbah mempercepat langkahnya. Ia menghampiri salah satu jongko pedagang yang mejanya dalam keadaan miring. Salah satu kaki meja pedagang itu rapuh.
Si Mbah lalu menarik tanganku. Seperti memberi kode untuk segera memberikan kedua benda aneh yang kubawa.
Tanganku gemetar memberikan kedua benda itu. Di balik wajahnya yang pucat pasi, raut pedagang itu terlihat ramah sekali. Sama seperti pemuda yang menitipkan barang itu tadi siang.
“Ohh, ini dari anak saya, ya.” Ucapnya seraya tersenyum.
Tanpa menunggu lama, pedagang itu memakai ranting jati yang semula kubawa sebagai kaki meja, menggantikan kaki meja yang sudah merapuh itu untuk mengokohkan lapaknya berjualan.
ADVERTISEMENT
Lalu koin itu, si pedagang hanya memasukannya ke dalam saku jas yang ia kenakan.
“Makasih ya, Dek.” Ucap syukur pedagang itu.
Tak ingin terlena keramahan pedagan itu, aku lantas berlari menuju tenda Yoyo. Kali ini, aku tidak dihadang oleh Si Mbah. Dia membiarkanku berlari begitu saja.
Langkahku sempat terhenti. Ketika sudut mataku menangkap satu orang yang kukenal. Aku meliriknya pelan. Itu Ega. Keadaannya sudah terpasung. Dia menjadi dagangan para lelembut disana. Entah itu sukmanya atau benar raganya, aku tidak dapat memastikan. Ega meminta maaf kepadaku dengan suara lirih.
Tanpa pikir panjang, aku kembali mengambil langkah seribu untuk meminta bantuan Yoyo, menjelaskan semua ini.
“Yo, Yo, bangun Yo!” aku merusuh tenda Yoyo.
ADVERTISEMENT
Aku berjongkok di depan mulut tenda seraya menepuk-nepuk kain parasutnya.
Lama tak ada jawaban, aku berinisiatif membuka tenda dengan segera.
Setelah mulut tenda menganga lebar, aku dikejutkan dengan Mulki yang sedang membetulkan posisi jaketnya.
“Bukannya nyahut, Lu. Mana si Yoyo?” ketusku.
“Emm ... gak tau, Dip. Tadi katanya ada urusan keluar dulu.” Jawab Mulki terbata-bata.
Tanpa menutup kembali pintu tenda, aku bergegas berlari menuju tendaku. Pasir yang menelan setiap langkah kakiku, membuat lariku sedikit terasa lebih berat.
Aku merusuh kembali di dalam tendaku. Kucay, Ibang, dan Gundil terbangun seketika.
“Lu kenapa?” tanya Kucay sambil mengucek matanya.
Pertanyaannya tidak langsung kujawab. Pintu tenda kembali kurapatkan. Cerrier dan sepatu kami menjadi alat untuk menyumpal kembali.
ADVERTISEMENT
Aku mendekatkan telunjuk ke mulutku.
“Ssstt. di luar, ada pasar setan.” Bisikku dengan penuh kehati-hatian.
Ibang terperanjat. Ia mengambil sikap seakan hendak memeriksa keluar tenda. Namun, Kucay menahannya.
“Pantesan. Daritadi, sebenernya kita denger suara kaya orang-orang jualan di luar.” Timpal Kucay yang diamini oleh Ibang dan Gundil.
“Ya udah. Kita paksain tidur aja. Palingan pagi-pagi juga udah gak ada.” Ucapku berusaha mendinginkan suasana, di balik hati yang sedang ditimpa ketakutan yang sangat.
Syukurlah, teman-teman satu tendaku itu menyetujui usulku. Mereka menarik kembali sleeping bag. Begitupun denganku. Aku ingin malam panjang ini segera berlalu. Berganti pagi bersambut mentari yang indah.
Aku berusaha memejamkan mataku. Masih sayup kudengar, suara gamelan yang sudah mengecil dan suara keramaian pasar, menghiasi langit Pasar Bubrah.
ADVERTISEMENT
Baru pertama kali aku mengalami hal ini. bersanding langsung dengan mereka yang tak kasat mata. Sebelumnya, aku sedikit skeptis—tidak percaya dengan keberadaan pasar setan di setiap gunung. Namun kali ini, detik ini, aku mengalaminya secara nyata.
Kepalaku mulai terasa berat. Kelopak mataku tak dapat lagi kubuka lebar-lebar. Rasa kantukku ini sudah sangat tidak tertahankan.
Disela-sela keadaanku yang masih berada di antara sadar dan tidak sadar, telingaku menangkap suara lirih yang berasal dari luar tenda.
“Bang Dipta ... maafin gue, Bang.” Ucap suara itu dengan nada datar.
Rasa kagetku sudah terkalahkan oleh rasa kantuk. Aku menyadari itu adalah suara Ega. Namun, raga ini sudah lemas tak berdaya. Hingga akhirnya, aku terlelap menunggu pagi. Aku ingin melupakan setiap penggalan kejadian yang kualami malam ini.
ADVERTISEMENT
Selamat malam, Pasar Bubrah!