Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kualat Gunung Merapi: Sebuah Misteri (BAB 9)
3 Maret 2021 14:35 WIB
Tulisan dari Didit Galaraka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Begitu melihat mobil Mas Irwan memasuki kawasan basecamp, Gundil bergegas berlari menghampiri mobil. Tanpa parkir, Gundil memberi isyarat dari jauh untuk segera masuk ke dalam mobil.
ADVERTISEMENT
Tanpa pikir panjang, aku mengangkat tubuh Yoyo untuk dapat segera didudukkan di dalam mobil. Begitupun dengan Ibang dan Kucay. Mereka mengangkat tubuh Mulki dan Desti, lalu mendudukkannya secara bersilangan di dalam mobil.
Yoyo kududukkan di kursi tengah. Tubuhnya begitu lemas. Sehingga sangat sulit untuk didudukkan. Sementara Mulki dan Desti, ditaruh di belakang. Beruntung, dalam kondisi serba tertekan seperti ini, Mas Irwan memasang roof rack—tempat untuk menyimpan barang yang tersimpan di atap mobil.
Sehingga, cerrier-cerrier dapat ditumpuk disana. Dan kami bisa lebih fokus terhadap Yoyo, Mulki, dan Desti yang sedang berada dalam keadaan tidak sadar.
Tak menunggu lama lagi, roda-roda mobil melaju perlahan menuruni area basecamp. Entah kebetulan atau tidak, langit ketika itu mendadak mendung. Seperti mengetahui akan kondisi semua hati yang tengah dilanda harap-harap cemas ini.
ADVERTISEMENT
Bayang-bayang hitam seakan menyelimuti, bersiap menyergap semua harapan. Takut, cemas, dan sedih bercampur aduk menjadi ramuan yang cocok untuk mengoyak setiap perasaan seorang sahabat.
Entah hanya pandangan mata ini yang tersilap kesedihan, sampai-sampai, semua orang yang berlalu lalang terlihat lesu tanpa semangat.
“Teman-temanmu kenapa, Gun?” tanya Mas Irwan kepada Sang Adik yang duduk di sampingnya.
Gundil terlihat kikuk. Dia bingung mau menjawab apa.
”Mereka cuma kelelahan aja mungkin, Mas.” Jawabku sekenanya.
“Kita ke rumah aja dulu. Kebetulan disana udah ada Ega juga, kondisinya gak beda jauh sama temen-temen kamu yang pingsan ini.” Ujar Mas Irwan.
Aku sendiri sudah tidak kaget mendengar kabar Ega sudah berada di rumahnya. Aku memang berniat kesana. Melihat betul-betul kondisinya yang sedang menurun.
ADVERTISEMENT
“Ega itu ... beruntung dia masih hidup.” Perkataan Mas Irwan dibarengi hembusan nafas penyesalan. Ia mengecap.
“Maksud Mas?” tanya Gundil.
“Nanti saja Mas ceritain” jawab Mas Irwan.
Suara mobil menderu mengikuti alunan perasaan. Raut wajah Yoyo sudah nampak sedikit berbeda. Aku mencoba menggoyahkan tubuhnya. Namun, masih tak ada reaksi darinya.
**
“Aaahh ... sssshh” dalam keadaan masih tidak sadarkan diri, Desti mendadak mendesah.
Semua mata terbelalak. Saling memandang satu sama lain. Gundil sampai terperanjat berbalik ke belakang untuk melihat Desti yang bergeliat.
“Des, Des, Hey, lu kenapa?” Ibang menggoyangkan tubuh Desti. Dia terus saja mendesah, lalu terlelap kembali.
Kuusap wajahku. Gigiku beradu. Apa Desti tengah mimpi basah? Maluku tak tertahankan. Aku tak bisa membayangkan jika Mas Irwan seketika menertawakan kejadian itu. Tapi, matanya tetap fokus ke jalanan. Memburu waktu untuk cepat sampai ke rumah. Mungkin juga, ia mengerti dengan perasaan kami.
ADVERTISEMENT
“Aaarrggghh!!!” Mulki seketika terbangun. Dadanya kembang kempis begitu cepat. Wajahnya begitu jelas tergurat kepanikan. Otot-otot tubuhnya mengejang. Matanya memerah. Mulki menangis histeris.
Mas Irwan mendadak menginjak rem. Ia terkejut dengan suara teriakan Mulki. Beruntung, kondisi jalan saat itu sedang kosong.
“Jangan ... jangan.” Mulki memeluk erat Desti yang berada di sampingnya. Semua mata masih tertuju ke jok belakang mobil.
“Ada apa, Ki?” tanya Ibang.
“Jangan perkosa pacar saya!” Mulki semakin erat memeluk Desti sambil terus histeris.
Ada apa ini? mengapa suasana menjadi kacau begini? Apa yang dimaksud Mulki dengan “perkosa”?
Ibang, Kucay, Aku, dan Gundil, masing-masing sudah menanyakan “ada apa” kepada Mulki. Akan tetapi, dia tetap saja tidak menjawab. Mulki masih terus memeluk erat Desti yang masih tak sadarkan diri.
ADVERTISEMENT
Mas Irwan menginjak kembali tuas gas mobil. Mobil berjalan perlahan.
Dalam situasi yang serba membingungkan, aku terus menatap Mulki yang mendekap Desti.
“Ada orang yang gede banget, mau merkosa pacar gue, Dip.” Mulki meracau dengan tatapan kosong. Fokus matanya hilang. Kelopak matanya perlahan menutup. Racauan itu seperti sengaja ditujukan untuk memberitahuku sesuatu.
Ibang menghapuskan air mata dan lendir yang keluar dari hidung Mulki. Aku menempelkan dahiku ke sandaran jok. Berusaha mencerna apa yang dimaksud Mulki.
“Genderuwo kali, Dip.” Mas Irwan membangunkan lamunanku.
“Maksudnya, Mas?” tanyaku seraya membalikkan badan ke arah depan.
“Iya, Genderuwo. Jin yang suka merkosa cewek. Kalian udah jagain Desti bener-bener kan?” tanya orang yang sedari tadi duduk di belakang kemudi mobil.
ADVERTISEMENT
“I...Iya kita udah maksimal ngejagain dia, Mas.” Jawabku gugup.
Tak ada tanggapan lain dari Mas Irwan. Mataku tertuju menatap langit-langit mobil. Bayangan-bayangan tak jelas menghujam kepalaku. Ada apa dengan ini semua? Apa mungkin hal barusan hanya sebuah bunga tidur? Aku rasa demikian. Karena, siapapun dalam keadaan sangat kelelahan, mereka akan bermimpi di luar dugaan.
Mataku melirik ke samping. Tempat Yoyo tak sadarkan diri. Aku memeriksa suhu tubuhnya. Masih sedikit panas. Aku berharap reaksi darinya seperti Mulki dan Desti, sekadar ingin memastikan kalau Yoyo pun sebenarnya baik-baik saja, hanya kelelahan seperti halnya sepasang kekasih yang duduk di belakang bersama Ibang.
Namun, tak ada reaksi dari Yoyo. Tubuhnya hanya bergerak otomatis terbawa haluan mobil.
ADVERTISEMENT
Suasana mendadak sepi. Nafas-nafas terdengar panjang. Suara dengkuran khas Ibang memenuhi seisi ruangan mobil. Aku bergerak dan memastikan. Memang benar, semua sudah terlelap—kecuali aku dan Mas Irwan.
Menyadari aku yang celingukan, Mas Irwan berkata,”tidur aja, Dip! Nanti Mas bangunin kalo udah sampai rumah.”
Kembali kusandarkan kepalaku di jok mobil. Kulirikkan kembali mataku ke arah Yoyo. Namun, tetap tak ada pertanda apa-apa darinya. Hingga pada akhirnya, akupun ikut terlelap.
***
“Dip, bangun!” Mas Irwan membangunkanku. Mataku masih susah untuk terbuka. Sementara di belakang, Ibang memintaku untuk cepat keluar.
“Dip, buruan. Celana si Desti udah banyak banget darah.” Ucap Ibang sembari menepuk-nepuk bahuku.
Aku yang belum cukup tenaga untuk keluar sambil menggotong Yoyo, meminta Kucay untuk mengambil alih keadaan. Kulihat, sepertinya Kucay sudah terbangun dari tadi. Kucay membawa Yoyo keluar mobil. Sementara kulipat kursi tengah mobil untuk memudahkan Ibang membawa Desti ke dalam rumah.
ADVERTISEMENT
Ibang membawa tubuh Desti dengan penuh kehati-hatian. Nampak bercak warna merah di area kewanitaannya sudah meluas.
Gundil melangkah ke tengah mobil untuk kemudian menggotong tubuh Mulki.
“ini bagian gue.” Tegasnya.
Aku mengikuti mereka yang susah payah menggotong tubuh sahabat-sahabatnya yang terkulai. Terlihat dari luar, Mbak Lies menyambut kami dengan ekspresi menohok.
“Langsung bawa ke atas, ke ruang keluarga!” teriak Mas Irwan yang sedikit berlari menghampiri pintu masuk.
Tenagaku sedikit demi sedikit sudah terkumpul kembali. Kunaiki tangga dengan perlahan. Menunggu mereka yang susah payah mengatur keseimbangan. Mbak Lies pun mengikuti kami ke lantai atas.
Gundil membaringkan Mulki di sebuah karpet merah bermotif bunga. Diikuti oleh Kucay yang membaringkan Yoyo, dan Ibang yang membaringkan Desti. Tangan Ibang terkena sedikit darah yang menempel pada celana Desti.
ADVERTISEMENT
Mbak Lies tanpa ampun meminta kami untuk sementara waktu beralih ke kamar terlebih dahulu. Karena katanya, dia akan mengurus dan membersihkan Desti.
“Nak, bawain mama ember yang diisi air!” pintanya kepada Niken yang ternyata mengikuti kami ke lantai atas.
Pemandangan yang membuatku takjub. Mbak Lies mengajarkan sebuah rasa empati tanpa teori. Dia langsung mempraktekannya di depan anaknya sendiri.
Aku terlebih dahulu berjalan menghampiri kamar. Disana, terbaring lagi satu orang yang kukenali dari celana dan tatto di betisnya.
“Ega?” tanyaku pada diri sendiri.
Aku berlari kecil untuk memastikan. Benar saja. Itu Ega. Kondisinya begitu memprihatinkan. Wajahnya penuh luka. Persis seperti apa yang aku lihat, dan apa yang Ibang lihat di mimpinya ketika di Merapi.
ADVERTISEMENT
“Astaghfirullah.” Ibang terkejut ketika baru masuk ke kamar. Ia mendekat dan terduduk sama sepertiku. Ibang menggoyahkan tubuh Ega, berusaha membangunkannya.
“Ga ... Ega. Bangun.”
“dia sebenarnya kenapa, Mas?” aku menoleh ke belakang, bertanya kepada Mas Irwan yang tengah berdiri.
“Tutup pintunya, Mas!” Pinta Mbak Lies dari luar.
Mas Irwan menutup pintu kamar. Namun, setelah itu, pertanyaanku tadi tidak dijawabnya. Mas Irwan masih belum mau menceritakan. Mas Irwan melangkah lalu mengambil posisi jongkok di depanku. Tangannya diletakkan di atas dahi Ega yang sudah banyak luka sayatan itu. Hingga darahnya sedikit membekas di telapak dan punggung tangan Mas Irwan.
“Nanti aja ceritanya, kalian istirahat duluI” Ucap Mas Irwan tanpa membalikkan badannya.
Kami bersandar ada dinding kamar. Tertunduk lesu menatap Ega yang sedang terbaring tak berdaya. Kecemasan yang tergambar dari wajah kami belum juga habis.
ADVERTISEMENT
Mas Irwan mengelap darah-darah itu. Mas Irwan membuka kemeja flanel yang Ega kenakan. Ternyata, Luka Ega sampai ke dadanya. Tangan Mas Irwan meraih kapas yang berada di samping Ega. Memberinya obat luka—semacam betadine, namun berbahasa cina, lalu mengoleskan ke setiap luka yang ada.
Ega tidak terlihat meringis sedikitpun. Aku melihat tubuhnya seperti mayat. Terbaring tanpa reaksi. Sebenarnya apa yang terjadi padanya?
Melihat kondisi teman-temanku ini, tak terlintas sedikitpun dalam kepalaku untuk segera melakukan pemesanan tiket kereta untuk kembali ke Bandung. Aku harus menunggu, hingga kondisi mereka benar-benar pulih kembali. Mungkin satu atau dua hari ke depan, aku tak tahu pasti.
Klek
Tuas pintu memutar, daun pintunya bergerak. Decitannya malah terdengar seperti rintihan orang kesakitan.
ADVERTISEMENT
“Udah, Mas.” Seorang wanita berkerudung menyembulkan kepalanya.
Serentak kami yang ada di dalam kamar beranjak. Berjalan keluar kamar untuk melihat perkembangan. Desti dan Mulki sudah tersadar, meski masih lemas. Wajah mereka tetap pucat.
Yoyo ... aku tidak tahu kapan Yoyo akan terbangun. Tersenyum kepadaku seperti halnya ketika kami meraih kebahagiaan bersama di puncak Merapi.
Aku melangkah perlahan duduk di samping Mulki. Perlu sekali kutanyakan apa yang telah terjadi padanya. Tapi tak mungkin sekarang. Itu akan membuatnya semakin terpuruk.
Sesekali Mulki menatap Desti. Tanpa menoleh sedikitpun, Desti tetap nyaman memegang Mug yang tergantung tali bermerk teh celup terkenal. Pundaknya diselimuti. Niken berada di sampingnya, bersedia menghibur. Tatapan Desti masih kosong. Matanya mengeluarkan air mata tanpa ekspresi.
ADVERTISEMENT
“Ini salah gue, Dip ... ini salah gue.” Mulki seketika terisak. Dia memukul-mukul kepalanya sendiri.
“Gue emang bajingan!” teriak Mulki memekik.
Mas Irwan bergegas menghampiri Mulki. Mengusap pundaknya, berusaha menenangkan. Mulki tetap sesenggukan tak sanggup menahan tangis penyesalan yang tumpah ruah.
“Lu sebenernya kenapa si?” tanya Kucay bingung.
“ngopi dulu yuk! Siapa tahu buat lu agak tenangan dikit.” Ucapku.
Mulki tenggelam dalam kesedihan. Dia tak mempedulikan usulanku barusan.
“ya udah, lu tenangin diri aja dulu. Gue mau ke kamar mandi.” Tegasku.
Aku meminta izin kepada pemilik rumah dan sahabat-sahabatku, untuk pergi ke kamar mandi. Bau yang tak dapat kutahan sendiri, membuatku ingin membilasnya.
Kubawa handuk dan sabun cair dari cerrierku, kemudian aku melangkah menuruni tangga menuju kamar mandi yang terletak di samping gudang.
ADVERTISEMENT
Tidak ada orang di lantai bawah. Sunyi dan sepi menyambutku. Bergegas kulangkahkan kaki menuju tempat pembilasan. Kuputar engsel pintunya. Aku masuk dan terasa kaki ini menginjak lantai basah.
Hanya ada shower yang terpasang di pinggiran dinding. Dan ember kecil berada di bawahnya. Tidak ada bak mandi, ataupun bathub. Segera kubuka katup penutup sabun cair yang kubawa. Kugosokkan ke seluruh tubuh.
Hingga aku merasa cukup, aku segera memutar keran. Gemericik air mengguyur tubuhku. Bau yang tadi tercium sangat, kini menghilang.
Kini, giliranku mengguyur kepalaku.
Air yang menyembur dari shower mendadak keluar pelan.
Lho, apa ini?
Gemericik air yang mengguyur terasa berbeda. Ia kental dan berbau anyir. Kuperiksa dengan tanganku. Kuperlihatkan pada mataku.
ADVERTISEMENT
Aarrrgghh!!
Aku seketika terpelanting ke belakang. Ternyata yang megguyurku itu adalah darah. Kelihatannya masih segar. Darah itu keluar menetes dari lubang shower.
“kenapa, Dip?” aku menoleh ke arah pintu kamar mandi. Terdengar suara orang yang memanggilku dari luar.
“Ini ada da... lhoo.” tiba-tiba darah itu menghilang. Aku mengambil moncong shower, kupastikan darah yang tadi menetes keluar. Namun, di lubangnya tak ada bekas darah sedikitpun. Dan di kamar mandi itu tidak ada darah sebercak pun. Aku sudah memeriksanya ke setiap sudut ruangan kamar mandi, tetap saja aku tidak menemukan darah itu.
Aku segera menarik kencang handuk yang kugantungkan. Segera pula kupakai pakaian yang sudah kupersiapkan sebelumnya.
Sedikit berlari kecil, engsel pintu kembali kuputar. Aku bergegas keluar, kemudian memeriksa siapa yang memanggilku tadi. Aku memeriksa setiap sudut yang terlihat. Tak ada siapa-siapa disana.
ADVERTISEMENT
Sejurus kemudian, aku mendengar suara tanah dicangkul. Terdengar jelas sekali. Pintu tralis besi sebagai akses ke halaman belakang memang terbuka lebar
.
“Ohh. Mungkin itu Mas Irwan.” Pikirku.
Aku berbalik dan bergegas menuju lantai atas. Awalnya kutapaki tangga itu biasa saja, namun, setelah agak berbelok sedikit ke kanan, aku sedikit panik ketika melihat Mbak Lies menangis histeris.
Kupercepat langkahku, bersatu dengan mereka yang berkerumun. Awalnya kukira, Mbak Lies menangis gara-gara salah satu temanku ada yang meninggal. Tapi nyatanya, Mbak Lies menangisi Desti yang sudah kembali mengeluarkan darah segar di area kewanitaannya.
Mulki kembali terkulai. Hawa panas yang bertiup dari sela-sela jendela yang terbuka, mengusap-usap kembali bulu-bulu halus tubuhku.
Kurasa, keputusanku sudah bulat. Kepulangan ke Bandung harus benar-benar ditunda. Dua atau tiga hari lagi, baru kita pikirkan pulang. aku mengutarakan penundaan itu kepada teman-temanku.
ADVERTISEMENT
Dari pengutaraanku itu, ada yang setuju ada yang tidak, terutama Gundil. Ia menolak. Dia tidak bisa menunda kepulangan. Katanya, ada urusan lain yang harus diselesaikan.
Gundil lalu meminta izin kepada Mas Irwan yang duduk di sampingnya untuk mengantar kami pulang ke Bandung esok hari.
Hah, Mas Irwan? Bukannya tadi dia di bawah?
“Mas, bukannya tadi lagi di bawah?” tanyaku heran.
“dari tadi juga Mas disini.” Jawabnya singkat.
Lantas, siapa yang sedang menyangkul tanah di halaman belakang tadi?
Gundil melanjutkan perkataannya. Ternyata, Mas Irwan mengizinkan. Dan memang, sebelumnya mas Irwan sudah ada niatan untuk mengantarkan kami pulang.
“kalo di Bandung, kita jadi lebih enak. Mereka-mereka yang lagi pingsan ini juga jadi lebih deket sama keluarganya, kan?” perkataan Gundil membuatku tersadar.
ADVERTISEMENT
“Cay, si Mulki udah jawab belum?” Aku menoleh ke arah Kucay. Pertanyaanku hanya dijawab Kucay dengan gelengan kepala.
Berarti, Mulki masih berhutang jawaban pada kami. Dia belum menjawab pertanyaan yang dilontarkan Kucay. Apa salahnya? Kurasa, dia tidak salah apa-apa dalam hal ini.
***
Langit sudah gelap. Suara orang-orang yang berlalu lalang di depan rumah Mas Irwan pun semakin berkurang. Aku, Ibang, Kucay, dan Gundil masih termenung. Mbak Lies dan Niken setia berada di samping Desti. Kali ini, darah yang keluar dari dalam tubuh Desti tidak terlihat lagi.
Baru saja, Mas Irwan meminta izin untuk memanggil Mbah Wongso. Aku harap dengan begitu, keadaan sahabat-sahabatku itu bisa cepat stabil.
Sekitar dua puluh menit kami menunggu, Mas Irwan kembali dengan membawa seseorang yang pernah memberi wejangan kepada kami.
ADVERTISEMENT
Sesekali Mbah Wongso menggelengkan kepalanya, ketika melihat kondisi Yoyo, Desti, dan juga Mulki. Bibirnya terus mengecap. Nama Tuhan sudah beberapa kali terdengar berbisik dari mulutnya.
Sedikitpun Mbah Wongso tidak menyalahkan kami karena seperti tidak mengindahkan wejangannya. Dia terus berkomunikasi dengan Mas Irwan seputar langkah pengobatan yang akan diambilnya.
“Kondisi kedua anak ini semakin buruk. Saya akan mencegahnya supaya tidak terlampau buruk. Sehingga kalian bisa pulang dengan tenang. Saya akan berusaha.” Ucap Mbah Wongso sembari menunjuk Mulki dan Desti.
“Untuk dua orang lainnya, saya mohon maaf. Saya tidak bisa tangani mereka.” Lanjutnya.
Aku terperanjat. Yang semula duduk, kini posisiku sedikit berdiri. Apa maksudnya “tidak bisa tangani mereka”?
“Saya mohon Mbah, sembuhin juga Yoyo. Saya mohon!” aku menciumi tangan Mbah Wongso.
ADVERTISEMENT
Mbah Wongso menarik nafas dalam. Lalu ia berkata, “Yoyo, dia anak baik. Tapi harus pergi dengan cara yang kurang baik.”
Mataku terbelalak. Jantungku seperti meledak. Apa maksud dari perkataannya itu? Apa aku harus kehilangan sahabat terbaikku itu? Apa tak akan lagi kutemui senyumannya di setiap kali kami bercanda? Tak sadar, mataku berderai.
Aku beringsut mundur. Menjauhi Mbah Wongso menuju dinding kamar dan meletakkan punggungku disana. Dinginnya dinding itu sudah tidak terasa lagi olehku. Aku memeluk diriku sendiri. Membenamkan diri tenggelam dalam kesedihan bersama tangisanku.
Dalam keterpurukanku, Terasa ada yang menghampiriku.
“sabar, Dip. Mudah-mudahan masih ada jalan buat nyelametin si Yoyo.” Lagi-lagi, di saat-saat seperti ini, Ibang menghibur. Aku sangat tahu. Diapun pasti merasakan kesedihan yang sama. Tapi, mengapa dia bisa terlebih dahulu menghibur dirinya sendiri lalu menghibur orang lain?
ADVERTISEMENT
Kudongakkan kepalaku. Aku melihat Mbah Wongso seperti sedang melakukan ritual penyembuhan untuk Mulki dan Desti. Namun nahas, Yoyo tetap ia diamkan. Mbah Wongso seperti pasrah dengan keadaan Yoyo yang belum tersadar semenjak ia pingsan di basecamp New Selo.
Seperti layaknya Ibang, aku tak ingin larut dalam kesedihan. Air mata ini ingin kuhapuskan. Aku ingin menghibur diriku sendiri. Tapi tidak disini. Tidak dengan keadaan yang seperti ini.
Aku memutuskan untuk keluar rumah. Mencari angin atau mencari makan adalah alasan yang tepat untuk diutarakan. Jika saja, diantara teman-temanku ada yang bertanya aku hendak kemana. Yang pasti, aku ingin sendiri. Melepaskan kesedihan sendiri.
Pikiranku kalut. Langkahku gontai. Serasa melayang. Kulangkahkan kaki menuju angkringan yang tak jauh dari rumah Mas Irwan.
ADVERTISEMENT
Aku segera duduk di sebuah kursi panjang yang kebetulan sedang kosong. Memilih lesu makanan yang tersaji, melahapnya pun dalam keadaan tak bersemangat. Makanannya pun tak habis. Namun tetap kubayar penuh.
Aku berbalik memutarkan badanku menghadap jalan. Siapa tahu, lalu lalangnya setiap kendaraan, membawa setiap kesedihan yang menghinggapi benakku.
Di sebrang jalan, kulihat wanita tua yang sepertinya sudah kukenal, dengan bakul jajanan di punggungnya. Aku sedikit memicingkan mata. Itu Mbok Irah. Tanpa pikir panjang, aku menghampirinya ketika ada celah besar yang memudahkanku untuk menyebrang.
Aku menyalaminya. Tangannya terasa lembut. Aku seperti menyalami nenekku sendiri. Kutatap wajahnya yang sedari tadi memperhatikanku. Matanya sedikit berkaca. Aku tidak memikirkan lagi siapa ia sebenarnya. Kini, aku merasa nyaman berada dekat dengannya. Aku memeluknya.
ADVERTISEMENT
“Dip, kamu harus berterima kasih kepada Yoyo.” Kini Mbok Irah berbicara bahasa Indonesia kepadaku.