Konten dari Pengguna

Kualat Gunung Merapi: Selamat Jalan, Sahabat! (BAB 10 TAMAT)

Didit Galaraka
KKN Desa Penari memang salah satu cerita horor yang menyeramkan. Tapi, cerita lain dari podcast horor demit tidak kalah seram. Simak cerita-cerita horor mencekam lain di collection ini dan jangan lupa subscribe untuk dapat notifikasi story terbaru.
3 Maret 2021 14:38 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Didit Galaraka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kualat Gunung Merapi: Selamat Jalan, Sahabat! (BAB 10 TAMAT)
zoom-in-whitePerbesar
Kualat Gunung Merapi: Selamat Jalan, Sahabat! (BAB 10 TAMAT)
ADVERTISEMENT
“Maksud, Mbok?” aku mengerutkan dahi. Pelukanku kulepas.
“Yoyo yang menyelamatkan kamu dan yang lainnya.” tuturnya begitu lembut.
ADVERTISEMENT
“Yoyo juga sudah berusaha menyelamatkan dua orang kekasih itu. tapi kesalahan mereka terlalu berat.” Lanjutnya.
Jujur, misteri di dalam kepalaku bertambah. Belum sempat kupecahkan misteri yang diutarakan Mbah Wongso, aku sudah diberi isyarat lain oleh Mbok Irah malam itu. Kepalaku rasanya ingin pecah mendengar pernyataan itu. apa yang dimaksud Mbok Irah dengan “kesalahan yang terlalu berat”?
Plak
Seseorang menepukku dari belakang.
“Mas, ngobrol sama siapa?” tanya seseorang yang tak ku kenal.
“ini Mas sam....” aku tidak mendapati Mbok Irah di posisi semula. Dia menghilang.
“Iya Mas, maaf.” Aku bergegas pergi meninggalkan orang yang menegurku tadi. Aku takut disangka orang gila.
Langkahku tertuju kembali ke rumah Mas Irwan. Di perjalanan menuju kesana, ada suara tanpa wujud yang menegurku, “Biar Yoyo yang jawab nanti.” Itu suara Mbok Irah. Sepertinya benar, Mbok Irah bukanlah manusia. Namun, aku tetap tidak mengetahui aslinya, dia itu siapa. Dan ada hubungan apa antara dirinya dengan Yoyo. Mereka terlihat begitu dekat.
ADVERTISEMENT
***
Ketika baru saja aku menjejakkan kaki di depan pintu rumah Mas Irwan, aku dikejutkan dengan teriakan Ega dari kamar lantai atas. Aku bergegas membuka pintu rumah, lalu berlari menuju lantai atas.
Di ruang keluarga hanya nampak Yoyo, Desti, dan Mulki yang terbaring. Sementara yang lain mengerumuni kamar. Aku berlari menghampiri.
Terlihat Mbah Wongso seperti kewalahan menangani Ega. Sesekali Ega berteriak, mengerang, dan tubuhnya mengejang. Lalu pingsan.
“Sama beratnya dia dengan si Yoyo.” Ucap Mbah Wongso berpeluhkan keringat.
“Memang pantas dia mendapatkannya.” Lanjut lelaki parubaya itu.
Mas Irwan sepertinya tidak ingin mengambil resiko. Dia segera meminta kami untuk bersiap dan pulang ke Bandung malam itu juga. Tanpa pikir panjang, kami semua menuruti apa yang diminta oleh Mas Irwan.
ADVERTISEMENT
Semua cerrier kami simpan di atas roof rack mobil. Tali pengikatnya dikencangkan, supaya tidak ada yang terjatuh saat perjalanan.
Aku kembali ke lantai atas untuk membawa Yoyo. Ibang membawa Desti, Kucay membawa Mulki, dan gundil membawa Ega. Kami menuruni tangga dengan penuh kehati-hatian. Aku tidak ingin mencelakakan orang yang sedang dalam keadaan sakit.
Perlahan Mulki, Desti, dan Ega didudukkan di kursi belakang, ditemani oleh Ibang. Setelah itu, baru giliranku mendudukkan Yoyo di kursi tengah, ditemani oleh Kucay. Seperti biasa, Gundil duduk di depan, samping kiri Mas Irwan. Kueratkan sabuk pengaman mobil di tubuh Yoyo. Sehingga tubuhnya tidak akan terlalu tergoncang ketika diperjalanan.
Kami berpamitan dengan Mbak Lies dan juga Niken. Dua bidadari cantik Mas Irwan yang mempunyai rasa empati begitu tinggi. Aku sangat salut pada keluarga ini. Bahkan, di detik-detik terakhir mobil meninggalkan rumah, Mbak Lies terlihat mengusap air matanya.
ADVERTISEMENT
***
Mobil melaju dengan cepatnya. Membelah kegelapan malam, yang langitnya kulihat terselimuti awan mendung. Lagi-lagi, alam mendukung rasa kesedihan ini.
Setidaknya, butuh kurang lebih delapan jam bagi kami untuk sampai di perbatasan kota Bandung.
***
Tak terasa, kami sudah melakukan setengah perjalanan. Mobil masih melaju tanpa hambatan. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Kira-kira, di waktu subuh baru kita akan sampai di Bandung.
Di tengah perjalanan, ekor mataku menangkap bayangan Mulki menggeliat. Mulki terbangun. Aku menoleh ke belakang. Mulki menyandarkan Desti di pangkuannya.
“Gimana, Ki?” tanyaku lembut.
Mulki tak menjawab. Matanya terus berderai, sambil sesekali menciumi rambut Desti.
“kita langsung ke Rumah Sakit aja gimana?” tanya Mas Irwan membelah lamunan.
ADVERTISEMENT
“Siapa yang bayarin, Mas?” tanya Gundil.
“masalah itu gak usah dipikirin. Yang terpenting, nyawa temen kamu, Gun.” Jawab Mas Irwan.
“hubungi orang tua mereka, Dip!” seru Mas Irwan.
Aku segera menghubungi satu persatu orang tua mereka. Dari ketiga orang tua yang kuhubungi, aku sedikit tidak bisa menahan kesedihan ketika aku harus berbicara dengan ibunya Yoyo. Namun anehnya, Tante Yeni—Ibunya Yoyo, terdengar sangat tegar. Bahkan, dia yang terus memberi arahan padaku.
Semua para orang tua bersedia menunggu di Rumah Sakit yang sudah ditentukan sebelumnya. Mas Irwan berencana akan membawa kami ke salah satu rumah sakit yang terdapat di tengah kota.
Mobil melaju semakin cepat. Waktu terasa sangat singkat. Tak terasa, seperti baru saja aku bertemu Mbok Irah di depan angkringan, kini aku sudah berada di depan rumah sakit di Bandung.
ADVERTISEMENT
Mas Irwan memberhentikan mobilnya tepat di depan UGD. Para perawat dengan cekatan menghampiri jendela mobil. Mas Irwan membukakan jendelanya dan meminta kepada mereka untuk membawakan empat kasur untuk menopang teman-temanku.
“Tiga aja, Pak.” Mulki berteriak dari belakang.
“Gue kuat kok.” Lanjutnya sambil menghapuskan lendir yang keluar dari hidungnya.
Tak lama, bantuan datang. Perlahan tapi pasti, kami mengeluarkan satu persatu “korban” dari dalam mobil. Di ruang tunggu, terlihat semua keluarga sudah berkumpul.
Seorang wanita yang terlihat menahan tangis dan lelaki parubaya menghampiri Mulki dan bertanya, “ada apa sama Desti, Ki?”
Langkah Mulki seketika terhenti. Begitupun dengan kami. Kami membiarkan kasur itu didorong oleh perawat-perawat yang akan segera menindak lanjuti.
Mulki seketika terisak, “Tante, ini salah Mulki. Mulki minta maaf.” Tangannya meraih tangan wanita yang ia sebut tante, lalu menciuminya. Sepertinya itu ibunya Desti. Karena dari guratan mukanya, wanita itu ada kemiripan dengan Desti.
ADVERTISEMENT
“Kenapa, ngobrol kenapa?” tanya Tante.
“Mulki ..... Mulki ......” Mulki berusaha keras melanjutkan perkataannya sambil tertunduk malu.
“Kenapa, Nak, kamu kenapa?” tanya Tante lagi.
Suasana hening. Tak ada sahut saling menyahut. Suara yang ada hanya bersumber dari suara kendaraan bermotor yang sesekali melewati gedung rumah sakit itu.
“Mulki ... nidurin Desti di gunung, Tante.”
Apa? apa aku tidak salah dengar? Aku merasa, kepalaku ini seperti dihantam batu besar. Pengakuan Mulki itu bak petir yang menyambar di siang bolong.
Mendengar pengakuan dari kekasih anaknya, Tante seketika terkulai lemas di hadapan Mulki. Sementara Ibang bersiap akan melayangkan pukulannya. Namun, aksinya dapat kuhentikan. Ibang kesal. Sama denganku.
“Sabar, Bang. Bukan saatnya main hakim sendiri.” Aku menahan bahu kekar Ibang.
ADVERTISEMENT
Tante diangkat Mas Irwan dan dibaringkan di atas kursi ruang tunggu.
Aku tiba-tiba ingat dengan perkataan Mbok Irah di sebrang angkringan. Mulki memiliki kesalahan yang begitu besar. Dan ternyata, inilah jawabannya.
“berapa kali elu main sama Desti di gunung?” tanyaku. Bibirku bergetar menahan amarah.
“empat kali, Dip.” Jawabnya tertunduk.
“Bajingan lu ya.” Tatapku nanar.
“elu gak mikir akibatnya apa? lagian, pacar lu itu lagi haid, elu rasain juga. Bangsat lu!” aku mendorongnya. Tak terasa air mataku mengalir perlahan.
“Maafin gue, Dip. Iya gue bangsat. Maafin gue!” Mulki menghampiriku.
Aku menarik kerah bajunya. Aku sedikit meluapkan emosiku melalui kata-kata, “lu lihat kondisi pacar lu sekarang, lu lihat kondisi si Yoyo. Otak lu jangan Cuma lu isi sama selangkangan doang, Cuk!”
ADVERTISEMENT
Mulki hanya tertunduk. Dia tersangka sekarang. Beruntung, kami dipertemukan dengan orang tua Desti. Sehingga mau tidak mau, Mulki terpaksa harus mengakui kebejatannya.
Aku menghela nafas berat.
“Sekarang, kita fokus ke pacar lu, sahabat lu, dan sahabat kita. Mereka masih drop. Perbanyak doa!” seruku menenangkan diri.
Mulki mengangguk. Ia duduk di atas kursi ruang tunggu. Orang tuanya menghampiri. Aku tidak tahu, apa yang selanjutnya terjadi. Itu masalah pribadinya. Yang aku fokuskan, aku hanya ingin melihat semuanya sembuh dan ceria seperti sedia kala.
Aku mengikuti keluarga Yoyo masuk ke area dalam rumah sakit, menuju kamar rawat, mengikuti perawat yang menuntun. Dalam benakku, aku sangat harap cemas dengan kesehatan Yoyo. Berjalan di koridor pun, terasa melayang.
ADVERTISEMENT
Sampailah kami di ruangan yang merawat Yoyo. Ruangan yang hanya diberi sekat gorden antara pasien satu dengan pasien lainnya.
Aku duduk di sebuah sofa yang tersedia di depan kasur rawat. Tubuhku sudah terasa sangat berat. Aku mengingat kembali perkataan Mbah Wongso dan Mbok Irah semalam. Seperti tak ada celah bagi Yoyo untuk hidup. Namun, dalam hatiku yang paling dalam, aku berharap keajaiban. Sangat berharap. Tuhan, kabulkan harapanku ini!
Aku terkulai. Tubuhku sudah terasa sangat berat. Seperti ada beban seratur kilo yang menempel di bahuku. Aku tidak sanggup menopangnya lagi. Aku terlelap.
Dalam tidurku itu, aku bermimpi sedang berada di puncak Merapi, bersama kawan dekatku, Yoyo.
***
“Dip.” Yoyo memanggilku.
“Ehh, Yo. Lu udah sehat ternyata?” aku bahagia melihat kondisi Yoyo yang begitu segar bugar.
ADVERTISEMENT
“Alhamdulillaah. Sehat.” Jawabnya.
“lu tahu kelakuan si Mulki kan? gedek banget gue.” Tanyaku.
Yoyo tersenyum dan mengangguk. Yoyo meluruskan kakinya yang semula ia lipat.
“maafin gue, Dip. Gue gak bisa nemenin lu, kalo lu muncak gunung lagi.”
“Lho, kenapa? Kalo liburan dari Singapura, Lu bisa ke Indo kan? kalo lu gak bisa bayar tiketnya, gue bayarin. Kita muncak lagi bareng-bareng.”
“Bukan masalah itu, Dip. Gue gak bakalan ke Singapura.”
“Terus, Lu mau ke bulan? Bercanda aja lu.” Aku mendorong bahunya. Yoyo tergeserkan sedikit.
Yoyo sedikit tersenyum, “Bukan.... gue disini aja. Kalo lu ke Merapi lagi, baru lu bisa ketemu gue disini.”
Aku melihat ke sekitar. Dan baru tersadar, bahwa tempatku duduk bersama Yoyo, berada tepat di samping puncak Tusuk Gigi.
ADVERTISEMENT
“Maksud lu apaan sih?” tanyaku heran.
Yoyo menunduk. Dia tiba-tiba menangis terisak. Aku mendekatinya dan menyampirkan tanganku di bahunya. Berharap, Yoyo bisa tenang.
“Gue gak bisa nyelametin Mulki sama Desti. Yang bisa gue selametin Cuma kalian berempat. Maaf ... maaf. Sampein maaf gue ke mereka, Dip.”
Tak terasa air mataku ikut berlinang.
Aku memberanikan diri untuk bertanya, “emang apa sih yang sebenernya terjadi, Yo?”
“dari awal kita ketemu Mbok Irah, gue udah tahu bau apa yang dia maksud, tapi gue milih diem aja. Gue takut impian lu pupus. Gue lihat antusias temen-temen juga bagus. Beruntung si Ibang bilang itu bau badan. Jadi, seenggaknya itu mengalihkan perhatian kalian.”
“Emang ... yang dimaksud bau itu bau apaan?”
ADVERTISEMENT
“pertama, bau itu dari darah haidnya Desti. Kedua, bau itu ada di si Ega. Dia emang punya niat buruk di awal.”
Pantas saja, Mbah Wongso menyerah menangani Ega. Sampai-sampai beliau bilang, Ega pantas mendapatkannya.
“kita juga udah berusaha ngelaksanain wejangan dari Mbah Wongso, kan?. Tapi, Mulki ngelanggar itu. dia malah bikin masalah baru. Yang lebih gede.” Yoyo masih terisak.
“dan gue udah berusaha jagain kalian selama pendakian. Gue juga tahu, elu lihat sosok nenek-nenek sama kakek-kakek yang naik di cerriernya Mulki sama Desti, pas kita jalan dari Pos dua ke Pos tiga.”
Aku semakin merasa tertarik mendengar penjelasan Yoyo. Aku beringsut menghadapkan tubuhku.
“Mereka sebenernya ikut jagain kita. Tapi kesalahan Mulki terlalu gede. Jadi mereka menyerah.”
ADVERTISEMENT
“Genderuwo yang elu lihat di Watu Gajah, itu salah satu dari banyak makhluk yang udah ngincer kita semua.”
Aku tersentak. Ternyata Yoyo mengetahui hal itu.
“Gue juga udah marahin si Mulki di tenda. Tapi dia gak ngerti kalo belum ngerasain akibatnya. Makanya, gue ke desa Si Mbah buat cari bantuan lagi. Biar kita gak diapa-apain penguasa Merapi. Tapi disana ...” Yoyo berusaha menghapuskan air matanya yang terus deras bercucuran. Aku hanya bisa tertegun.
“disana, gue ketemu sama salah satu sesepuh. Gue udah mohon-mohon ke dia, biar kita semua selamat. Tapi, dia bilang, gak bakalan ada yang selamat. Kecuali, di antara kita ada yang bersedia jadi tumbal.”
“dan gue ... gue bersedia jadi tumbal itu, asalkan kalian semua bisa selamat. Sesepuh itu bilang gak akan semua selamat. Cuma orang-orang yang gak bersalah yang selamat, dan dia, ngasih kesempatan ke gue untuk nganter kalian sampai basecamp.”
ADVERTISEMENT
“Terus, kenapa Mulki sampe sekarang gak kayak Desti, Yo?”
“itu dia ... itu karena dia sendiri punya penjaga. Penjaga itu yang beberapa kali gue lihat negosiasi sama lelembut Merapi. Makanya, dia masih bisa sadar. Tapi itu Cuma sementara.”
“kalau si Ega, elu tahu masalahnya?”
Yoyo menggelengkan kepalanya lalu berkata, “terlalu rumit. Intinya, dia dicegah duluan sebelum masuk Merapi.”
Yoyo mengangkat kepalanya. Matanya sembab. Pipinya dibasahi oleh air mata. Lalu, ia menoleh ke arahku dan melanjutkan perkataannya.
“Gue... boleh minta satu permintaan sama lu?”
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Gue mohon... Rahasiain ini ke keluarga gue. Dan gak usah bikin plakat khusus pendaki yang meninggal. Pertama, waktu terakhir di Merapi, gue masih hidup. Gue gak meninggal di Merapi. Kedua, gue cuma pengen dikenang sahabat-sahabat gue aja.
ADVERTISEMENT
Yoyo menghela nafas dalam-dalam, “Jadiin kisah gue ini pelajaran, Dip.”
Aku tertunduk lesu. Mungkin ini perbincangan terakhir kami walau hanya lewat mimpi.
“Gue balik... kalau lu ke Merapi lagi, lu bisa kenang perjuangan kita disini. Jagain teman-teman kita... Gue nitip!”
“Ayo kita balik bareng, Yo!”
Yoyo tidak menggubrisku. Dia menoleh ke arahku sambil melempar senyuman. Lalu, dia berbalik dan dengan cepat, melompat ke dalam kawah. Aku berteriak sejadi-jadinya. Sejurus dengan itu, aku mendengar suara gemuruh yang berasal dari kawah. Merapi seperti akan meletus!!
Aku segera berlari menghindari letusan gunung sebisa mungkin. Namun, aku malah tersungkur dan terbangun dari tidurku di sofa rumah sakit.
Terdengar teriakan histeris dari Tante Yeni. Nampak dari sedikit celah gorden yang menutupi, tubuh Tante Yeni membungkuk dan bergetar.
ADVERTISEMENT
Aku segera menghampirinya. Tante Yeni memeluk tubuh Yoyo yang kulihat sudah tak ada respon. Yoyo sudah tiada. Aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Tak terasa air mata keluar menembus sela jariku.
Ternyata memang benar. Mimpiku barusan adalah pertanda perpisahan kami.
Sahabat, tenang disana, Ya.
Kakiku melangkah mundur, dan terduduk kembali di sofa. Lututku lemas menerima kenyataan ini. Namun, bagaimanapun aku harus kuat. Kucoba kembali berdiri untuk mengabari teman-temanku, bahwa Yoyo telah tiada.
Meski lemasnya kakiku tak dapat kutahan, aku berusaha coba menguatkan diri. Aku keluar kamar rawat Yoyo. Kututup pintunya perlahan.
Dari jarak sekitar dua puluh meter dari tempatku berdiri, aku melihat Mulki histeris. Beberapa kali dia menjambak rambutnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Belum habis kesedihanku ditinggal Yoyo, kini aku harus menerima kenyataan pahit lainnya. aku menhampiri Mulki dengan gontai.
**
“Cay, ada apa ini?” tanyaku kepada Kucay yang tertunduk, bersandar di dinding koridor rumah sakit.
“Desti udah gak ada. Dia kehabisan banyak darah. Gimana si Yoyo?”
Aku menahan kesedihanku. Lantas, kuberanikan diri untuk berkata, “Yoyo .... dia juga meninggal.”
Kucay, Ibang, dan Gundil terperanjat. Mereka bertiga langsung berlari menuju kamar rawat Yoyo.
Aku semakin tak bisa menahan isak tangisku sendiri. Mulki masuk ke kamar rawat Desti. Sedangkan aku, hanya bisa bersandar di dinding koridor rumah sakit, meratapi kepergian sahabat terbaikku. Untuk selama-lamanya.
***
Pemakaman Yoyo dan Desti tidak dihadiri oleh Mulki dan Ega. Menurut informasi yang kudapat dari keluarga Mulki, dia mengunci diri di kamar. Sedangkan Ega, masih dirawat di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Diagnosa dokter tentang penyebab kematian Yoyo adalah disebabkan oleh gagal nafas. Namun di balik itu aku mempunyai kesimpulan sendiri. Yoyo berada dalam pelukan Merapi.
***
Sebulan semenjak kepergian Yoyo dan Desti, hari-hari yang kujalani sangatlah hampa. Tidak ada suka maupun canda yang selalu kulakukan bersama Yoyo.
Hatiku semakin hancur ketika mengetahui Mulki dan Ega telah menyusul Yoyo dan Desti pergi ke alam kematian. Menurut keluarga Mulki, semenjak kepergian Desti, keadaannya semakin menurun. Bahkan, mereka sudah berusaha membujuk Mulki untuk berobat ke rumah sakit. Namun Mulki selalu menolaknya dan semakin mengunci dirinya di dalam kamar. Hingga ia tak mau makan.
Hingga akhirnya, Mulki ditemukan tewas dengan mulut bersimbah busa. Mulki bunuh diri? Mungkin saja. Namun sekali lagi aku meyakini perkataan Yoyo di dalam mimpi itu.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan Ega, samar-samar kudengar bahwa dia mengalami pendarahan serius di otaknya. Sehingga nyawanya tidak bisa terselamatkan.
Di samping kepedihanku yang begitu dalam, aku merasa bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup hingga saat ini. Percaya atau tidak, salah satu jembatan yang menyebabkanku masih hidup sampai sekarang ini adalah jasa seorang sahabatku yang bernama Yoyo.
Terima kasih kawan. Tenang disana. Doa kami selalu menyertaimu.
***
Sengatan matahari mengoles kulitku hingga memerah. Cahaya yang masuk melalui celah jendela membangunkan tidurku.
Jam setengah sebelas siang. Angka yang kudapat dari layar Hp. Di layar itu, terdapat notifikasi Whatsapp dari seseorang.
Isi pesan itu berisi, “Ciremai, yuk!”
“Yoyo?” aku belum sepenuhnya tersadar. Setelah kupastikan lagi siapa yang mengirim pesan itu, ternyata ajakan itu berasal dari Kucay.
ADVERTISEMENT
Hampir lupa, dua bulan sudah aku ditinggal Yoyo. Hanya kenangannya yang tertinggal disini. Di dalam hati ini. Biasanya, urusan ajak mengajak itu urusan Yoyo. Namun, kali ini hilang ditelan usia yang terbatasi takdir.
Aku, Kucay, Ibang, dan Gundil kembali melakukan pendakian. Hampa memang. Namun apa daya, ini suratan dariNya.
Bersyukur, di Ciremai aku bertambah teman. Sehingga, sampai di puncak, kami tidak hanya berempat.
Alam Ciremai saat itu seperti mengetahui terpuruknya hati ini. Kurogoh saku dalam-dalam untuk mengambil cetakan foto yang sengaja kucetak sebelum berangkat ke Ciremai.
Itu foto Yoyo. Aku menggengamnya, kurapatkan foto itu di dadaku. Aku menghadap timur yang kuperkirakan, disanalah Merapi berada.
Kutahan sedihku lalu kuberkata dalam hati, “Untuk sahabatku yang berada dalam pelukan Merapi, Ini untukmu.”
ADVERTISEMENT