Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bumiputera Bandung: Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid
23 Oktober 2022 10:16 WIB
Tulisan dari Pipit Nur'Aini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indische Partij merupakan organisasi pertama yang bersifat politik murni dengan mempunyai semangat nasionalisme modern. Bagaimana Indische Partij menggadang-gadangkan dirinya sebagai partai politik pertama di Indonesia? Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia. Indonesia dianggap sebagai “national home” bagi semua orang, baik penduduk pribumi maupun penduduk Belanda, Cina, dan Arab yang mengakui bangsa Indonesia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Paham yang dimaksudkan tersebut, merupakan suatu paham yang dikenal dengan Indisch Nationalisme, yang kemudian melalui Perhimpunan Indonesia (PI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) mengubah paham Indisch Nationalisme menjadi Indonesische Nationalisme atau Nasionalime Indonesia. Hal itulah yang menjadikan penyebab bahwa Indische Partij dinilai sebagai satu-satunya partai politik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Indische Partij didirikan di Bandung pada 25 Desember 1912 oleh Douwes Dekker, dr.Cipto Mangunkusumo, dan Soewardi Suryaningrat. Tujuan dibentuknya Indische Partij adalah untuk membangun patriotisme seluruh indiers (orang Indonesia) terhadap tanah air yang telah memberikan lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerja sama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air Hindia dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka dari belenggu penjajahan. Sikap tegas Indische Partij juga tampak dari semboyan-semboyan yang dimilikinya, yang berbunyi “Indie Ios van Holland” (Hindia bebas dari Belanda) dan “Indie voor Indier” (Indonesia untuk orang Indonesia).
Indische Partij yang beranggotakan ketiga tokoh tersebut, ternyata diketahui oleh pemerintah Belanda memiliki unsur radikal. Karena “kedok”-nya diketahui, Belanda mengambil sikap tegas dengan cara membatalkan permohonan dalam perihal pengakuan badan hukum kepada Gubernur Jendral pada 4 Maret 1913. Pembatalan permohonan tersebut menjadi hukuman bagi Indische Partij khususnya bahwa kemerdekaan Indonesia harus direbut, harus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sendiri, oleh penduduk pribumi, dan bukan oleh para koloni.
ADVERTISEMENT
Masih di tahun yang sama, terdapat pula pelaksanaan perayaan 100 tahun pembebasan Belanda dari Prancis. Belanda meminta keikutsertaannya kepada rakyat Indonesia untuk turut memeriahkan acara tersebut. Di lain sisi, pemerintah maupun pegawai koloni di berbagai tempat sibuk dengan mengumpulkan uang untuk memeriahkan acara, sedangkan rakyat dipaksa pula untuk turut serta membiayai perayaan tersebut. Dengan adanya kejadian ini, di kalangan bumiputera Bandung dibentuk sebuah panitia peringatan yang disebut Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid atau Komite Bumiputera. Komite ini bertujuan untuk membatalkan pembentukan “dewan jajahan” dan menuntut penghapusan peraturan pemerintahan No. 111 tentang larangan kehidupan berpolitik. Komite ini juga memprotes pengumpulan uang dari rakyat untuk membiayai pesta peringatan hari kemerdekaan Belanda.
ADVERTISEMENT
Dari ketiga tokoh yang disebutkan diatas, rupanya Soewardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantara turut serta membidani terbentuknya Komite Bumiputera atau Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid. Dari adanya peristiwa perayaan 100 tahun pembebasan Belanda dari Prancis, Ia kemudian membuat tulisan yang berjudul “Als Ik een Nederlander was” (Andai aku Belanda) yang dimuat dalam harian De Express. Dalam tulisannya ini, Ia mengecam Belanda dan mengatakan bahwa bagaimana mungkin bangsa terjajah merayakan perayaan kemerdekaan penjajah. Berikut ini kutipan tulisan dari Ki Hajar Dewantara dalam tulisannya yang berjudul “Als Ik een Nederlander was” (Andai aku Belanda):
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh Si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.”
ADVERTISEMENT
Dengan adanya semangat dalam menuntut penghapusan peraturan pemerintahan No. 111 tentang larangan kehidupan berpolitik sekaligus upaya yang dilakukan oleh Soewardi Suryaningrat dalam membuat tulisan yang berjudul “Als Ik een Nederlander was” (Andai aku Belanda) menjadi salah satu hal yang mengejutkan para petinggi Belanda supaya tidak sewenang-wenang di Bandung maupun di Batavia. Apa yang menjadi kekhawatiran Belanda dalam Komite Bumiputera? Sebenarnya pemerintah Belanda merasa takut akan pemikiran dari Soewardi Suryaningrat yang bisa berfikir tentang orang Belanda dalam konteks kemerdekaan itu. Ditakutkannya, Soewardi mampu mendobrak semangat juang dari para indiers. Dari kenyataan yang ada, hal seperti ini menjadi sangat “tabu” untuk dibicarakan dalam forum umum. Terlebih lagi, dari para anggota Komite Bumiputera dianggap telah berfikir terlalu maju dalam mempermasalahkan kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Agar pemikiran dan pembicaraan persoalan kemerdekaan Indonesia tidak semakin berkelanjutan, pemerintah Belanda berupaya membungkam segala program Komite Bumiputera atau Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid. Pada masa pemerintahan Jan Willem Janssens (Gubernur Jendral Hindia Belanda penerus Daendels yang menduduki masa pemerintah tahun 1811), Ia melaporkan tulisan Soewardi kepada penguasa di Batavia atas kejadian di Residen Bandung. Dengan adanya kejadian ini, tentu saja menjadi kecemasan dan kekhawatiran atas terbitnya penulisan Soewardi yang dianggap berbahaya pada kala itu. Jan Willem Janssens merasa sudah saatnya menindaklanjuti atas gangguan ketidaknyamanan, ketidakamanan, dan ketidak-tertiban di Hindia Belanda. Ditambah lagi, dr.Cipto Mangunkusumo menulis sebuah artikel yang berjudul “Kracht en Vrees” (Daya dan Kekuatan) yang dimuat dalam harian De Express.
ADVERTISEMENT
Dalam artikelnya, Ia menyatakan bahwa jika pemerintah Belanda semakin menekan aktivitas Komite Bumiputera, perlawanan lebih keras justru kian tumbuh dan konsekuensinya Komite Bumiputera terus melanjutkan perjuangannya. Setelah dua hari kemudian, Soewardi mengikuti jejak dr.Cipto menulis di De Express dengan judul “Een voor allen en allen voor een” (Satu untuk semua dan semua untuk satu). Karena kejadian tersebut, ketiga tokoh Indische Partij mulai dilakukan serangkaian penangkapan dan interogasi oleh pemerintah Belanda yang berkaitan dengan kegiatan program Komite Bumiputera dan tulisan yang berjudul “Als Ik een Nederlander was” (Andai aku Belanda).
Pada akhirnya, ketiga tokoh tersebut diasingkan ke Belanda dan mengakibatkan pengaruh besar dalam penurunan kinerja maupun kegiatan di Indische Partij. Indische Partij dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada 4 Mei 1913. Indische Partij kemudian berubah nama menjadi Insulinde. Namun dalam perkembangannya pada tahun 1918, Insulinde juga semakin memburuk dan upaya Douwes Dekker kembali dari Belanda tidak memberikan pengaruh yang berarti. Tahun 1919, Insulinde berubah nama menjadi National Indische Partij (NIP), namun kenyataannya, National Indische Partij (NIP) tidak pernah memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat, malah akhirnya hanya sebuah perkumpulan dari orang-orang terpelajar.
ADVERTISEMENT